Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3


Sejak kejadian di rumah Nana minggu lalu, Mas Dimas semakin intens mengirimkan pesan lewat SMS dan menitipkan salam lewat sahabat-sahabatku.

Namun, aku tidak begitu percaya kepada mereka yang menyampaikan salam dari Mas Dimas. Aku anggap mereka hanya menggoda saja.

***

Drama Ratu Bilqis dan burung gagak sukses kami bawakan di acara khotmil Qur'an. Anak-anak yang diwisuda terlihat antusias dan terlihat puas dengan apa yang kami bawakan.

Hingga pada suatu hari, tepatnya malam Jum'at Kliwon. Acara pengajian rutinan di Majelis, Mas Dimas mengutarakan sesuatu yang selama ini mengganggu pikiranku.

Dia mengutarakan isi hatinya yang selama ini dia simpan, serta mengumpulkan sejuta keberanian untuk mengungkapkannya di depanku dan empat orang sahabatku.

"Ran. Ikut aku sebentar, yuk. Disuruh Umi beli gula pasir di tokonya Mbak Nah,"
ajak Titin kepadaku, tanpa berpikir panjang aku pun mengiakan ajakan Titin.

Beberapa saat kemudian, aku dan Titin pun berangkat. Di tengah perjalanan, Titin berbelok arah. Bukannya ke tokonya Mbak Nah, tapi malah menjauh.

"Loh, Tin! Kok, malah ke sini? Bukannya tadi kamu bilang ke tokonya Mbak Nah? Ini mau ke mana, Tin?" tanyaku pada Titin, karena aku bingung, ini bukan arah ke tokonya Mbak Nah.

"Kamu jangan banyak tanya, Ran. Ikuti aku saja," jawab Titin terburu-buru.

Aku tetap berpikir positif, mungkin Titin ada keperluan dan belum sempat memberitahu. Aku mengikuti langkahnya yang semakin cepat.

"Tin, kita ngapain ke sini? Katanya mau beli gula pasir, nanti Umi nungguin loh,"
protesku pada Titin.

"Enggak jadi, Ran. Aku sengaja mengajak kamu ke sini karena ada yang mau ketemu sama kamu. Soal Umi tadi, aku cuma alasan saja biar kamu enggak banyak tanya. Maaf, yah," kata Titin lalu nyengir seperti kuda.

"Ketemu aku? Siapa memangnya, Tin?" tanyaku keheranan.

Door!

Aku dikagetkan oleh ketiga sahabatku, ternyata mereka sudah lebih dulu sampai di sini. Jadi Titin memang sengaja mengajak aku mutar-mutar agar yang lain sampai di sini lebih dulu.

"Loh, kalian ada di sini? Terus nanti Umi nyariin enggak? Ini sebenarnya ada apa, sih? Enggak jelas banget, aku enggak suka!" protesku, karena aku merasa telah dikerjai mereka.

"Santai, Ran. Santai ... Umi enggak bakal nyariin kita. Karena semua persiapan pengajian sudah selesai, jadi kita aman. Anggap saja malam ini kita bolos pengajian," ujar Nana.

Sesaat kami saling diam. Hingga suara sapaan yang begitu aku kenal suaranya menyapa kami.

"Hai, sudah datang?" tanya Mas Dimas.

Aku gelagapan, tak tahu harus jawab apa. Keempat sahabatku saling sikut dan senyum-senyum sendiri.

"Maaf yah, Ran. Tadi Mas yang minta mereka buat bawa kamu ke sini. Ada sesuatu yang ingin Mas katakan sama kamu," lanjutnya sambil tersenyum, sungguh membuat telapak tanganku menjadi dingin dan berkeringat.

"Mau ngomong apa, Mas? Ngomong sekarang saja. Aku enggak bisa kalau harus ngobrol berdua dengan lelaki kayak gini. Aku enggak biasa, Mas," imbuhku.

"Kita enggak berdua, Ran. Ada teman-teman kamu dan juga teman-teman, Mas. Tuh, lihat kan. Mereka lagi makan cemilan. Ya sudah kita duduk di situ yah, Ran biar tidak terlalu jauh dari mereka," katanya.

Ternyata pasukanku dan pasukan Mas Dimas mereka kompak banget buat merencanakan ini semua.

"Ran, Mas enggak tahu harus memulainya dari mana. Mas bingung. Yang Mas tahu, perasaan ini sangat mengganggu pikiran Mas. Setiap malam Mas susah untuk tidur, bayang-bayang senyuman kamu selalu menari-nari di pelupuk mata. Mas enggak tahan Ran, kalau harus menyimpan rasa ini terlalu lama," ujarnya.

"Semakin lama Mas menyimpan rasa ini, Mas semakin tersiksa, Ran. Mas tahu siapa Mas dan siapa kamu, Ran. Mas hanya seorang anak yang dilahirkan dari keluarga yang tidak mampu, keluarga yang sangat sederhana bahkan kekurangan," lanjutnya dengan suara yang terdengar sangat tulus.

"Kamu wanita baik-baik dari kalangan yang bisa dikatakan mampu, kamu wanita terpelajar, sedangkan Mas? Kamu tahu sendiri Mas seperti apa. Sejujurnya Mas malu, mengutarakan ini semua. Mas malu, Ran."

"Lama sekali Mas mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan ini semua sama kamu, hingga Mas putuskan malam ini dengan dukungan teman-teman Mas dan juga tekad yang bulat. Mas minta teman-teman kamu untuk mengatur semua ini, Mas minta maaf kalau akhirnya membuat kamu jadi tidak nyaman dengan semua yang sudah Mas utarakan sama kamu," tuturnya.

Hening ...

Aku bingung harus menjawab apa, perasaanku sungguh tidak menentu, tidak bisa dipungkiri kalau aku pun menyimpan sepucuk rasa untuk Mas Dimas. Mudah-mudahan Mas Dimas tidak mendengarkan debaran jantungku yang sudah tidak beraturan iramanya.

"Mas, tidak perlu berkata seperti itu. Pada dasarnya kita semua sama, Mas. Derajat kita dihadapan Allah itu sama. Mau miskin atau kaya, yang membedakan hanyalah Iman kita kepada Allah," jelasku.

"Kita jalani saja dulu, Mas. Biarkan mengalir apa adanya. Biarkan Allah yang menentukan semuanya. Saat ini aku juga sedang fokus untuk Ujian Nasional, Mas. Aku harap, Mas ngerti ya. Setelah Ujian nanti selesai, Insya Allah aku akan kasih jawaban untuk Mas. Aku pun berharap, apapun jawabanku nanti, Mas ikhlas yah" imbuhku.

Aku tidak tahu apa yang baru saja aku katakan kepada Mas Dimas, semoga saja dia tidak berfikir kalau aku memberikannya harapan palsu.

"Mas mengerti, Ran. Mas tidak meminta untuk kamu jawab sekarang, Ran. Yang penting, Mas sudah ngomong sama kamu sudah lega. Mas harap omongan Mas tadi, tidak mengganggu fokus kamu untuk Ujian yah, Mas di sini bantu doa supaya ujian kamu nanti lancar dan diberikan kemudahan," katanya.

"Aamiin, makasih banyak ya, Mas. Sudah doain aku. Sudah mengerti semua keadaan aku sekarang. Aku harap, Mas enggak marah," jawabku.

"Mana mungkin Mas marah. Mas enggak sanggup marah sama kamu. Melihat kamu tersenyum saja itu sudah mampu membuat Mas bahagia."

"Cieee, cieee. Lupa nih, kalau ngajak kita-kita ke sini juga. Serius banget, sih! Sudah belum ngomongnya, Mas? Gimana,  diterima enggak?" tanya Ikhsan dan Nana bersahutan.

Malu? Iya malu sama mereka semua. Pasti setelah pulang nanti aku bakalan diberondong pertanyaan- pertanyaan sama mereka semua.

Hari sudah semakin malam, kembali Mas Dimas mengantarkan aku pulang untuk yang kedua kalinya. Tidak ada tawar menawar Mas Dimas langsung saja mengajakku pulang ditemani sahabat-sahabatku dan teman-teman Mas Dimas.

"Ran, kenapa ya? Malam ini, sepertinya enggak akan turun hujan, tapi bintang pada ke mana ya, Ran?" tanya Mas Dimas di tengah perjalanan menuju rumahku.

"Enggak tahu, Mas. Padahal enggak mendung ya, Mas," jawabku.

"Karena bintangnya malu sama kamu, ada kamu yang lebih bersinar dari bintang-bintang itu. Makanya bintangnya enggak mau keluar," jawabnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro