Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2


Akhirnya aku pulang di antar Mas Dimas dan Ikhsan. Memang rumahku tidak jauh dari Majelis. Namun, jarak dari rumah ke rumah tetangga lumayan jauh. Masih banyak pekarangan yang kosong dan ditumbuhi pepohonan, seperti pohon pisang dan buah lainnya.

Sepanjang perjalanan, Ikhsan banyak cerita. Iya, dia memang paling bisa membawa suasana. Ada saja ceritanya yang membuat kami tertawa.

"Ran, boleh Mas minta nomer hp kamu?" tanya Mas Dimas.

"Untuk apa, Mas?" Aku tanya balik.

Aku merasakan gugup bukan main. Jantung pun seakan hendak lepas dari tempatnya saking kagetnya Mas Dimas bertanya.

Entah perasaan seperti apa yang kurasakan saat ini. Baru kali ini aku merasakannya getaran-getaran di hati.

"Enggak apa-apa, Ran. Cuma pengen nyimpen saja. Itu pun kalau boleh,"  balas Mas Dimas lalu tertawa kecil.

"Boleh kok, Mas," jawabku lalu kusebutkan nomerku, Mas Dimas mencatatnya sambil sesekali mengulangi angka yang ditulisnya.

"Sudah sampai, Mas, San. Aku masuk dulu, ya. Makasih banyak sudah nganterin aku pulang."

"Iya, enggak apa-apa. Mas sama Ikhsan seneng bisa nganterin kamu. Ya sudah, cepetan masuk. Mama kamu sudah nunggu, tuh."

"Iya, Mas, Ikhsan. Pulangnya hati-hati ya."

"Sip."

Mas Dimas dan Ikhsan pun berlalu. Aku menatap kepergian mereka dari balik jendela, hingga punggung itu menghilang.

Malam ini aku merasakan ada sesuatu yang beda dengan diriku. Apa sebenarnya yang terjadi pada diri ini? Mungkinkah aku jatuh cinta dengan Mas Dimas? Aaah, buang jauh-jauh pikiran itu Kirana! Sebentar lagi ujian. Jangan berpikir yang bukan-bukan.

***

Tringting!

Sebuah pesan masuk dari nomer baru yang tidak kukenal. Tanpa menunggu lama, aku pun membuka pesan tersebut

[Selamat istirahat ya, Ran. Tidur, sudah malam. Semoga mimpi indah. Dimas]

Ya Tuhan, apa ini? Aku benar-benar dibuat insomnia olehnya. Perasaan apa ini yang berani mengganggu pikiranku.

[Iya, Mas. Makasih banyak, ya. Mas juga istirahat. Hp-nya disimpan, takut ada Abah atau pengawas majelis lewat] Kubalas pesan dari Mas Dimas.

Di Majelis, memang tidak diperbolehkan membawa Hp. Baik murid yang nginap di Majelis ataupun yang lajur, seperti aku ini.

Namun, memang kami membawanya. Dengan catatan, sambil diam-diam. Jikalau ketahuan oleh senior, sebenarnya tidak akan disita. Hanya saja, saat Abah mengajar nanti, kita bakalan disindir-sindir. Hal itu lebih membuat kami malu.

***

Entah aku tertidur jam berapa semalam, hingga akhirnya kesiangan sholat subuh. Pukul setengah enam baru saja bangun. Itu pun karena pintu kamar di gendor-gedor oleh Mama. Semalam sibuk berbalas pesan dengan Mas Dimas.

Usai sholat subuh, seperti Minggu biasanya, kami berlima akan jalan pagi. Pulangnya, beli nasi uduk dan dimakan di rumah Titin.

Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan anak-anak Putra. Di situ ada Mas Ikhsan, Mas Arif, Kang Dani dan Mas Dimas tentunya. Kami saling sapa, sampai akhirnya kita jalan bersama menikmati udara pagi.

Entah mengapa, ada rasa yang beda saat bertatap muka dengan Mas Dimas. Sejak berbalas pesan semalam, aku jadi semakin canggung.

Melihat senyum manis Mas Dimas, membuat hati bergetar. Senyumnya menunjukan giginya yang gingsul. Melihatnya, sudah cukup membuat kenyang perut pagi ini.

Sepulang dari jalan pagi, ritual membeli nasi uduk dan beberapa jenis gorengan pun tidak ketinggalan. Kami makan bersama di rumah Titin, seperti yang biasa kita lakukan.

"Siang nanti kita masak-masak di rumah aku, yuk," celutuk Nana memberikan ide, karena hari minggu ini kami belum tahu akan kami isi dengan acara apa, maka kami setuju saja.

"Eeeh iya betul. Kita masak-masak saja di rumah Nana yang enggak ada orang. Jadi kita bebas bereksplorasi," kata Qomah ikut menimpali.

Kebetulan di rumah Nana, hanya ada Nana dan Mbak Mista–Kakak perempuannya, karena orang tua Nana merantau di kota.

Mbak Mista baik sekali, tidak pernah sinis jika kami ngacak-ngacak dapurnya untuk memasak. Meski sekedar membuat jajanan.

"Kita para cowok boleh gabung, enggak? Kan kebetulan nanti anak-anak cowok mau ke sungai. Mau nyuci karpet yang bakal dipakai dua bulan lagi. Karena lagi musim hujan, jadi Abah minta di cuci sekarang biar enggak buru-buru nunggu keringnya," kata Mas Dimas, yang sontak membuat kami berlima saling pandang.

"Emang enggak dicariin sama Abah nanti, Mas?" tanya Rizka.

"Enggak, Riz. Kan nunggu jemurnya juga lama. Jadi sambil nunggu kering, kita gabung di rumah Nana. Itu juga kalau boleh sih, Riz."

"Aku mah terserah yang lain saja. Kalau yang lain enggak keberatan, ya enggak apa-apa. Nanti datang saja ke rumah aku. Tapi kita ngumpulnya kalau kerjaan rumah masing-masing sudah selesai, Mas" jawab Nana.

Setelah sekian lama berdiskusi, akhirnya kami berlima mengizinkan mereka untuk datang ke rumah Nana siang nanti.

Selesai sarapan nasi uduk di rumah Titin, saatnya kita balik ke rumah masing-masing untuk mengerjakan tugas rumah.

[Sudah jalan ke rumah Nana, Ran? Mas sama yang lain lagi jalan ke rumah Nana, nih]

Pesan singkat Mas Dimas selalu saja membuat jantung seakan hendak lepas.

[Belum, Mas. Aku masih bantuin Mama setrika baju. Sebentar lagi selesai, langsung ke rumah Nana.] Balasku.

[Ya sudah. Mas tunggu di rumah Nana, ya.]

[Iya, Mas.]

Lagi-lagi perasaan macam apa ini? Apa aku jatuh cinta, apa yang salah dengan diri ini? Aahh, sudah lah. Biarkan semua mengalir saja. Aku juga tak ingin berharap banyak kepada Mas Dimas.

Mungkin saja, dia menganggapku tak lebih dari sebatas teman. Sama seperti keempat sahabatku. Kucoba menghibur diri, agar tidak terlalu sakit jika ternyata Mas Dimas hanya PHP saja.

"Ya Allah. Kirana cepat cabut colokan setrikaan! Kamu itu kenapa ngelamun terus, sih. Itu bajunya jadi gosong, Kirana!" teriak Mama seraya berlari ke arahku, karena mencium aroma terbakar.

"Astaghfirullahal'adiim! Ya Allah, Ma. Kirana enggak sengaja." Berapa lama aku melamun, hingga setrikaanku gosong.

Seperti ini kah orang jatuh cinta, sampai lupa segala-galanya. Aku rasa ini berlebihan sekali, sampai membuat Mama panik lihat asap mengepul. Untung saja tak sampai kebakaran.

Setelah selesai semua pekerjaan rumah, aku pamit sama Mama untuk main ke rumah Nana. Sesampainya di rumah Nana, ternyata semua sudah berkumpul. Mereka sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Aku jadi malu karena terlambat datang.

"Assalamualaikum," sapaku di depan pintu.

"Waalaikumsalam." Mereka kompak menjawab salamku.

"Kok, jahat banget sih, kalian. Enggak kabari aku kalau sudah pada kumpul di sini," ujarku dengan nada merajuk.

"Tadinya aku mau kasih tahu kamu, Ran. Tapi kata Mas Dimas, kamu masih bantuin Mama setrika baju. Jadi ya sudah, aku enggak jadi kabari kamu," jelas Qomah lalu tertawa.

Aku di buat kaget setengah mati, mendengar penuturan Qomah. Mas Dimas, kenapa kamu seperti ini? Kurasakan pipi mendadak panas dan merah.

Ehem! Ehem! Ehem!

Titin, Rizka dan Nhana pun bersahut-sahutan, meledek aku dan mas Dimas. Tak ketinggalan pula Mas Arif, Mas Ikhsan,dan Kang Dani. Sepertinya mereka sangat kompak membuat aku malu setengah mati.

"Diiiih, apaan, sih. Kalian mah enggak asik. Orang aku sama Mas Dimas enggak ada apa-apa, kok. Cuma temenan doang. iya kan, Mas?"

Merasa namanya disebut, Mas Dimas tersenyum dan tersipu tanpa membalas atau membelaku. Seakan Mas Dimas setuju dengan ledekan mereka semuanya. Ya ampun, mimpi apa aku semalam. Sudah bangun kesiangan, setrikaan gosong, ditambah dibuat malu seperti ini. Ya Tuhan.

"Iya, iyaaa. Sekarang sih, kita percaya kalian masih temenan, tapi bisa jadi besok sudah jadian. Hahaha," celutuk Mas Ikhsan seraya berlalu menuju kamar mandi.

Sontak semuanya riuh dan sukses menjadijanku bulan-bulanan mereka. Rasa malu tingkat dewa. Ooh, Tuhan. Andai bisa menghilang, aku ingin hilang saat ini juga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro