Part 10
Malam pertama tarawih di Majelis. Terlihat penuh para jamaah, karena memang Masjid dan Mushola lumayan jauh letaknya. Jadi, beberapa tetangga lebih memilih untuk tarawih di Majelis.
Hingga selesai, semua berjalan dengan lancar. Ada rasa haru dan bahagia karena bisa dipertemukan lagi dengan bulan yang mulia ini.
Usai tarawih, banyak anak-anak yang mulai tadarus. Anak-anak yang baru diwisuda kemaren, juga terlihat ramai di Majelis untuk tadarus. Aku dan teman-teman memilih untuk santai dulu di rumah Titin, sambil menyantap gorengan. Itu karena masih panjang antrian tadarusnya.
"Ran, tadi aku ketemu mbak Sita–kakaknya Dimas– pas aku mau beli gorengan. Aku sapa, tapi enggak mau jawab apa-apa. Sombong banget orangnya," kata Rizka membuka pembicaraan.
"Masa sih, Riz. Mungkin enggak dengar kali pas kamu sapa," jawabku.
"Ya kali, Ran. Jarak cuma beberapa meter enggak dengar. Kan, kamu tahu sendiri suaraku kayak radio rusak. Enggak mungkin kalau enggak dengar, lah!" jawab Rizka sedikit emosi.
"Eh, tapi emang Mbak Sita itu beda ya. Enggak kayak Ibunya. Judes banget kalau Mbak Sita, mah. Padahal ibunya lembut banget," sambung Nana.
"Kamu enggak takut, Ran? Kalau emang kamu sama Dimas jodoh. Terus punya kakak ipar yang modelnya begitu?" tanya Nana.
"Sudah ah! Baru juga mau mulai puasa, kenapa sudah ghibah, sih! Kita serahkan saja semua sama Allah. Lagian, kita juga enggak bakalan tahu jodoh kita nanti siapa. Yang penting kita jalani saja dulu. Urusan jodoh apa enggaknya, itu urusan yang di atas," jawabku penuh penekanan.
"Eh sudah, yuk. Itu sudah mulai sepi kayaknya yang tadarus. Mungkin sudah pada balik anak-anak tadi. Ayo ah, dari pada kita ghibah terus," ajak Qomah.
"Kalian duluan saja. Nanti aku nyusul. Aku beresin dulu bekas gorengan kita, takut di kerubutin semut," kata Titin.
"Aku bantuin ya, Tin," tawarku.
"Enggak usah, Ran. Cuma sedikit, kok. Kamu duluan saja sama yang lain," jawab Titin.
Akhirnya aku dan yang lain masuk ke Majelis untuk melanjutkan bacaan Alqur'an yang sebelumnya sudah diberi tanda sama anak-anak tadi. Kecuali Titin dia menyusul.
Saat giliran Nana mulai mengaji, aku dan yang lain menyimak. Membenarkan bacaan jika ada yang salah. Begitu seterusnya, hingga tiba giliran kita semua.
Menyimak Nana mengaji, aku sedikit tidak konsentrasi. Karena dalam hati aku kepikiran terus, apa yang tadi mereka bicarakan mengenai sifat Mbak Sita yang memang terkenal judes.
Aku jadi berandai-andai, jika memang nanti aku berjodoh dengan Mas Dimas, apa aku mampu menghadapi Mbak Sita dengan karakter yang memang seperti itu?
Cukup lama aku melamun hingga tidak sadar ternyata Nana sudah selesai mengaji dan sekarang giliranku.
"Ran, ayo. Sekarang giliran kamu, malah ngelamun. Kamu kenapa sih, tiba-tiba ngelamun gitu?" tanya Qomah mengagetkan dan membuyarkan lamunanku.
"Eh, sudah emangnya, Na? Sebentar banget," jawabku.
"Sebentar apaan? Aku udah habis satu surah. Kamu tuh, yang kelamaan melamun," jawab Nana.
"Ya sudah sini. Tadi kamu sampai mana ngajinya, Na?" tanyaku.
"Kan ... bener ketahuan ngelamun. Sampai enggak tahu sudah sampai surah apa," jawab Nana.
"Ini surat Annisa," lanjut Nana.
Akhirnya aku pun mengaji. Aku selesaikan surah Annisa dengan khusyuk. Setelah mengaji, aku merasakan sedikit lebih tenang. Hatiku juga sudah tidak memikirkan omongan teman-temanku tadi mengenai Mbak Sita.
Saat giliran terakhir Rizka mengaji. Aku tidak sadar, jika di belakangku dengan jarak lebih dari satu meter Mas Dimas dan Mas Arif sudah datang untuk tadarus. Bahkan, sudah menyimak Rizka mengaji. Aku yang khusyuk menyimak sampai tidak mengetahui kedatangannya.
Aku dan teman-temanku sudah selesai mengaji. Sekarang giliran anak laki-laki yang tadarus. Karena memang anak laki-laki biasanya sampai jam dua belas malam baru selesai tadarus. Sedangkan aku dan teman-temanku paling malam setengah sebelas sudah harus pulang.
"Ini, Mas. Dilanjut, kita semua sudah selesai, kok," kata Rizka.
"Eh ... sudah? Kirain belum. Jadi enggak dengar Kirana tadarus," jawab Mas Dimas.
"Hiih, telat! Lagian, siapa suruh kemaleman," jawab Rizka.
Aku memberikan seutas senyum untuk Mas Dimas sebelum ke luar dari Majelis. Mas Dimas pun membalas senyumanku.
"Duluan ya, Mas," pamitku.
"Iya, Ran," jawabnya sambil tersenyum kecil.
****
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh kurang lima belas menit.
Sesaat aku terpaku mendengarkan suara Mas Dimas membaca ayat suci Alqur'an. Suaranya indah sekali. Mahrojul hurufnya tepat, tajwidnya juga tepat. Aku jadi senyum-senyum sendiri mendengarnya.
Saat aku berniat untuk pulang, tiba-tiba sebuah pesan masuk membuat gawaiku bergetar.
[Jangan pulang dulu ya, sayang. Ada yang mau Mas omongin sebentar doang. Enggak lama kok, paling sepuluh menit. Tunggu saja di rumah Titin.] Begitu bunyi pesan dari Mas Dimas.
[Oke, tapi jangan lama-lama ya, Mas. Sudah malam soalnya.]
Setelah menunggu kurang lebih lima menit, Mas Dimas datang ke rumah Titin.
"Tin, maaf aku ketemu Kirana sebentar, ya. Ada yang perlu diomongin, enggak privasi, kok. Jadi kalian di sini saja. Lagian juga aku cuma sebentar doang," kata Mas Dimas meminta izin Titin karena sekarang di rumah Titin.
"Santai saja, Mas. Tapi jangan lama-lama. Hehehe," jawab Titin.
Akhirnya Mas Dimas masuk bersama Ikhsan, mereka duduk di ujung sofa panjang milik Titin. Sedangkan aku dan yang lain duduk lesehan di bawah menggunakan karpet.
"Ran, sepertinya habis lebaran ini Mas mau merantau ke kota. Kemaren Ibu bilang, katanya Majikan Ibu mau masukin Mas ke Pabrik Garment miliknya," kata Mas Dimas.
"Mas, juga sudah pamit tadi sama Abah dan Umi. Biar nanti kalau Mas ke Kota, ada yang gantiin Mas buat bersih-bersih Majelis bantuin Ikhsan. Kata Abah dan Umi boleh, walaupun mereka sedikit keberatan," lanjut Mas Dimas.
"Kok, mendadak banget sih, Mas? Tapi ya sudah, enggak apa-apa. Sudah saatnya juga Mas bantuin ibu, apalagi sudah jelas pekerjaannya," jawabku.
"Dibilang mendadak sih, sebenarnya enggak juga. Karena sudah sering Mas bilang sama Ibu, pengen kerja ke kota bantuin Ibu. Biar bisa renovasi rumah juga dan Ibu baru ngizinin sekarang," jawabnya.
"Ya sudah, Mas. Aku sih, tidak masalah. Malahan seneng dengernya. Mudah-mudahan, Mas betah di sana. Bisa bantu Ibu juga," jawabku sedikit menghibur.
"Waahh, Kirana mendadak mellow nih mau ditinggal merantau. Masih lama kali, Ran. Baru juga mulai puasa," ledek Nana sembari tertawa.
"Ih apaan sih, Na. Biasa saja kali. Lagian kita juga berpisah untuk sementara, bukan untuk selamanya. Iya kan, Mas?" tanyaku pada Mas Dimas.
"Iya dong, Ran. Doakan Mas biar betah, Mas akan giat menabung biar bisa bantu Ibu renovasi rumah dan bisa melamar kamu," jawabnya sambil tersenyum.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya, begitu juga dengan teman-temanku.
Ada perasaan sedikit aneh di dasar sana. Kenapa begitu mendadak Mas Dimas ingin merantau ke kota. Ah, Kirana tadi kan sudah dibilang tidak mendadak. Hanya aku saja yang sepertinya belum siap untuk menjalani LDR.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya aku pun pulang karena sudah jam sepuluh lewat lima menit. Aku diantar Mas Dimas dan Ikhsan.
Dalam perjalanan menuju rumahku, kami saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, sampai juga di rumahku.
"Makasih ya, Mas, San. Sudah ngantar aku pulang," kataku
Ikhsan hanya terseyum dan mengangguk.
"Sama-sama. Ya, sudah masuk sana. Bawa kunci cadangan, kan?" tanya Mas Dimas.
"Iya nih bawa, Mas. Ya sudah, aku masuk dulu. Assalamualaikum," kataku.
"Wa'alaikum salam," jawab mereka dengan kompak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro