Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8. Ujian Terberat dalam Hidup

Hari Sabtu adalah jadwal kajian di sore hari. Kelompok kami mendapat jatah piket hari itu. Bapak mendapat bagian mendatangi rumah-rumah warga kajian kelompok, patungan untuk menjamu Ustaz. Kali ini Bapak tetap bersikukuh berangkat mengumpulkan dana, walaupun sedang sakit.

"Apa gak minta tolong yang lain aja, Pak, untuk mengumpulkan dana? Izin dulu, kan, Bapak lagi sakit," usul ku.

"Enggak usah. Cuma sebentar, kok," ucap Bapak dengan wajah lesu, mempersiapkan kertas dan bolpoin untuk mencatat jumlah uang patungan.

"Sama aku, ya, Pak, mengumpulkannya?"

Bapak pun mengiyakan tawaranku dan segera memakai jaket. Kami segera mendatangi beberapa rumah warga kajian dari kelompok kami. Sebentar-sebentar  Bapak istirahat, duduk dengan wajah menunduk, lalu berdiri lagi, memaksakan diri. Aku membantu sebisaku yakni dengan memanggil pemilik rumah, lalu mencatat jumlah uang di kertas.

"Ini dibelikan apa, Pak, biasanya?" tanyaku setelah uang terkumpul dan kami sampai di tempat parkir pasar desa.

"Biasanya roti, buahnya pisang aja, sama keripik yang asin-asin," ucap Bapak sembari duduk di lantai tempat parkir yang dingin, bersandar di tembok.

Kasihan sekali, tetapi beliau memang orang yang sangat teguh pendirian. Sekali punya tugas, maka harus diselesaikan dan bertanggung jawab.

"Oh, iya. Saya belikan dulu, Pak," pamitku lalu menuju warung yang menjual makanan ringan.

Setelah selesai, aku menuju tempat parkir dan menggantungkan plastik berisi belanjaan di motor.

"Udah selesai, Pak," kataku.

"Iya. Bapak tidur dulu, sebentar." Bapak menundukkan kepala, tidur bersandar tembok yang menutupi dari keramaian, sehingga tak ada orang yang melihat.

Aku pun ikut duduk tak jauh dari beliau, membuka ponsel. Kasihan sekali beliau, tak tega membangunkannya.

Beberapa menit kemudian, Bapak terbangun, mengumpulkan tenaga sebentar, walaupun masih lesu, lalu berdiri. Kami menaiki motor, menuju majelis. Setelah sampai, aku membukakan gerbang majelis.

Aku berjalan membawa belanjaan menuju dapur, membuka kunci pintunya. Sempat kulihat Bapak tidur di atas amben yang berada di teras majelis. Beliau memang mudah untuk tidur di mana saja jika sudah kelelahan.

"Sudah selesai, Pak," kataku setelah mengunci pintu dapur.

Namun, Bapak tertidur pulas sekali. Aku memilih duduk di kursi yang tak jauh dari amben itu.

"Alhamdulillaah," ucap Bapak tiba-tiba, selang setengah jam.

Kami pun segera beranjak pulang.

**

"Bapak izin aja, kan, kajiannya?" tanyaku.

"Iya," jawab Bapak.

"Bapak sudah salat?" tanyaku.

"Udah tadi berbaring, tayamum aja. Gak berani wudu."

"Bapak butuh bantuan apa lagi? Mau makan gak, Pak?" tawar ku.

"Enggak. Udah, kok."

Bapak minta diambilkan minum, lalu Ibu memenuhi perintah beliau. Aku berpamitan untuk berangkat mengaji dahulu.

Sampai di majelis, aku menemui salah seorang teman Bapak di tempat parkir.

"Bapak izin gak berangkat, masuk angin," ucapku memintakan izin.

"Oh, iya."

Kajian kali ini terasa berbeda. Saat absensi pun baru kali ini Bapak dilaporkan izin sakit, yakni masuk angin.

Usai kajian, kami semua pulang. Sampai di rumah aku dan Ibu langsung masuk ke kamar.

"Periksa, yuk, Pak," bujuk ibu.

"Enggak. Mau istirahat dulu," jawab Bapak.

Kami pun keluar dari kamar, tak mau mengganggu beliau. Ba'da Magrib, aku makan sendirian karena Ibu sedang salat. Lalu masuk kamar lagi, membawakan makanan untuk Bapak. Akhirnya beliau mau, walaupun beberapa sendok.

"Periksa, ya, Pak?" tanyaku usai beliau makan.

"Enggak usah!"

Aku sudah putus asa membujuk Bapak untuk berobat. Akhirnya aku keluar kamar. Usai Salat Isya', seperti biasa kami menunggu Bapak dan tidur secara bergantian.

**

Kondisi Bapak semakin parah.

"Aku panggil paman, ya, Pak? Biar diantar ke dokter." Aku merajuk.

Akhirnya beliau mengiyakan. Aku segera memanggil paman yang rumahnya di samping rumah kami.

"Paman, tolong antar Bapak ke dokter. Masuk angin belum sembuh-sembuh," pintaku.

Paman segera menyiapkan motornya.

"Ayo, Mas," ajak pamanku.

Bapak berusaha duduk dengan tenaga yang ada, tetapi tampak kesakitan.

"Tolong, bantu aku," pinta Bapak.

Paman membantu menegakkan badan bapak.

"Ya Allah, gak kuat, gak kuat." Bapak berbaring lagi.

"Gimana, Mas?" tanya paman.

"Udah, gak usah berobat!" Bapak pasrah begitu saja.

Aku kecewa, padahal awalnya sudah senang sekali melihat Bapak bersemangat.

"Alia! Doakan Bapakmu supaya cepat sembuh, insyaaAllaah doa anak itu pada orang tuanya menunjukkan baktimu. Semoga Allah mengabulkan," perintah paman.

Aku mengangguk, lalu Paman beranjak keluar, karena Bapak bersikukuh tak mau diajak periksa.

Aku memijat dan mengerok punggung Bapak seperti biasa, seraya terus berdoa.

**

Kami tidak mendengar Bapak mengerang kesakitan lagi, mungkin sudah mendingan badannya, alhamdulillaah.

Namun, aku dibangunkan oleh Ibu dengan suara yang panik.

"Alia! Alia, bangun!"

Sayup-sayup kudengar suara ibu.

"Bapak, kok, kaku semua ini kenapa, Nduk? Dibangunkan gak bangun," ucap ibu sangat panik dan khawatir.

Aku tak percaya, bergegas bangun dan melihat Bapak yang diam saja.

"Pak, Pak! Bangun, Pak!"

Aku mencoba membangunkan Bapak, mulai panik saat menyentuh tangan Bapak. Dingin sekali, kaku dan tak bisa digerakkan.

"Pak! Bangun!" Aku dan Ibu bergantian memanggil Bapak dengan suara yang begitu keras.

Namun, tak ada jawaban.

"Alia! Alia, bukakan pintu!"

Tiba-tiba ada suara Paman yang menggedor-gedor pintu, sepertinya beliau mendengar teriakan aku dan ibu dari arah dapur yang memang sangat berdekatan dengan kamar Bapak. Aku bergegas membukakan pintu, Paman langsung menuju kamar.

Saat Paman mengecek keadaan Bapak, aku dan Ibu berdiri, berharap akan ada keajaiban bahwa Bapak masih hidup, tetapi paman justru menyuruhku memanggil seorang pemuka agama di desa kami.

"Nanti tanyakan, Bapakmu ini masih ada atau tidak," perintah Paman.

Seluruh tubuhku bergetar, telingaku panas. Kami sangat panik. Aku bergegas memanggil pemuka agama yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggal kami.

"Saya mau minta tolong, cek keadaan Bapak saya itu, masih ada atau tidak?" tanyaku setelah pemuka agama itu membukakan pintu.

"Bapakmu?" tanya beliau tak percaya, bergegas menuju rumah.

"Iya," jawabku sambil mengikuti beliau.

Setelah kami masuk kamar, pemuka agama tersebut mengecek keadaan Bapak. Aku, Ibu dan Paman menunggu, berharap bahwa ini semua hanya mimpi dan masih ada setitik harapan bahwa Bapak masih hidup, tetapi ....

"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Sabar, Nduk, Bapakmu sudah tidak ada."

Seolah disambar petir, setengah tak percaya. Tangisan kami langsung pecah. Paman dan pemuka agama tersebut keluar kamar, hendak mengabari sanak saudara dan tetangga terdekat. Aku dan Ibu langsung duduk di samping Bapak yang terbaring dan kini sudah dipanggil oleh Allah.

"Hu-hu-hu. Bapak ...." Aku tergugu, segera kucium pipi beliau untuk terakhir kalinya.

#smacademy #smwriting

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro