Bab 7. Bapak Jatuh Sakit
Dua tahun berlalu. Aku sudah tidak terlalu memikirkan Mas Bams, juga malas untuk kepo terhadap kehidupannya. Terakhir, hanya percakapan singkat dengan temanku yang pertama kali memberi tahu tentang Mas Bams yang mengajak ta’aruf pada suatu sore saat kajian rutin belum dimulai.
“Mbak Alia belum mau nikah? Kasihan, loh, ditunggu Mas Bams!” ucap teman perempuan tersebut.
“Belum, Mbak. Memangnya beliau gak coba ta’aruf dengan perempuan dari cabang majelis daerah lain?” tanyaku.
“Gak tahu, Mbak. Katanya Mas Bams itu orangnya agak pemilih, memang. Terakhir aku dapat kabar, dicariin calon sama ibunya, tapi belum cocok,” jawabnya.
Setelah percakapan itu, aku tak pernah mendengar kabar lagi dari Mas Bams. Mungkin pria itu juga sudah melupakan penolakanku atas ajakan ta’aruf-nya. Aku lebih fokus bekerja, menabung dan berusaha tetap istikamah mengaji.
Aku dan bapak tetap bersemangat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, akhir-akhir ini, wajah beliau tampak lesu dan badannya lemas. Beliau bilang, sekarang mudah capek, mungkin karena sudah tua. Suatu hari, beliau jatuh sakit dan hanya bisa berbaring di kasur.
“Aku pijat, ya, Pak?” tawar ku.
“Iya.” Bapak pun tengkurap.
“Bagian mana yang sakit?"
“Di sini,” jawab bapak sembari menunjuk bagian punggung, “Ya Allah, astagfirullah, astagfirullah ....”
Begitulah bapak, ketika merasa kesakitan, maka mulut beliau tak pernah lepas dari berzikir kepada Allah.
“Baik, Pak,” ucapku, mulai memijat bagian punggung.
Selang beberapa menit, beliau sudah tidur. Aku pun beranjak ke ruang tamu, tetapi tak ada yang bisa ku kerjakan, karena tak mengerti lanjutan menjahit yang kemarin.
“Nduk!” panggil ibu dari dapur.
“Iya, Bu.” Aku langsung menuju dapur.
“Bapakmu mau sarapan apa? Coba tanyakan.” Nada bicara ibu terdengar khawatir.
“Bapak sedang tidur, Bu,” jawabku pelan, takut mengganggu.
“Oh, ya udah.”
Aku mengambil sapu dan mulai membersihkan halaman, lanjut menyapu dan mengepel lantai rumah. Setelah selesai, baru aku mencuci tangan dan sarapan karena perut mulai lapar.
“Nduk! Alia!” panggil bapak dari kamar, lirih.
Untung saja sarapanku sudah selesai.
“Iya, Pak?” Aku buru-buru menghampiri beliau.
“Tolong ambilkan minum, teh hangat aja!”
Aku memenuhi perintah itu. Beliau hanya duduk sebentar, minum, lalu berbaring kembali.
“Sarapan, Pak. Saya ambilkan nasi, ya?” tawar ku.
“Iya. Sedikit saja.”
Namun bapak hanya makan beberapa sendok dari sepiring makanan yang ku ambilkan, padahal itu juga porsi biasanya beliau makan.
“Gak doyan, Nduk. Lidahnya pahit, mual, mau muntah,” ucap beliau menyerahkan piring berisi makanan yang masih tersisa.
“Ya, Pak. Mboten nopo-nopo⁶. Yang penting sudah terisi nasi sedikit-sedikit,” kataku sembari membawa piring ke belakang.
“Sudah makan, Nduk, bapakmu?” tanya ibu yang baru saja selesai sarapan.
“Cuma sedikit, Bu,” jawabku.
“Coba, ya, Ibu tawarkan obat tolak angin atau apa gitu?”
Aku hanya mengangguk. Ibu masuk kamar, sepertinya sedang menawari obat untuk mengatasi masuk angin. Sepertinya bapak mau sebab Ibu bergegas memakai jilbab dan pergi ke warung.
“Assalaamu’alaikum,” salam ibu, lalu masuk rumah.
“Wa’alaikumussalaam,” jawabku sembari menuju kamar bapak.
Ibu masuk kamar, lalu berkata, “Ini, Pak. Diminum dulu, barangkali bisa lebih mendingan."
Bapak hanya melirik sedikit, mungkin badan beliau terasa sangat lemas.
“Ambilkan air hangatnya dulu, Bu,” perintah bapak.
Ibu pun menuruti beliau dan beliau mau duduk sejenak untuk minum obat warung tersebut.
“Gimana, Pak?” tanyaku?
“Ya alhamdulillaah. Terasa hangat di badan. Tapi, kok, jadi kembung di perut, ya?” Bapak keheranan.
“Mungkin karena belum pernah minum, Pak,” tebak ibu.
“Iya. Namanya juga sakit, sedang diuji oleh Allah.”
“Apalagi, Pak, yang sakit?” tanyaku.
“Bagian kaki, Nduk, sama tolong kerokan aja bagian punggung, soalnya kalau dipijat rasanya kurang manjur.”
Bapak pun tengkurap lagi. Aku mulai mengerok atau menggosok punggung bapak dengan uang koin dan minyak angin. Setelah beliau merasa mendingan, aku melanjutkan memijat kaki beliau sampai tidur. Sementara ibu beranjak ke kamar mandi untuk mencuci baju.
**
Sore hari menjelang petang, bapak masih berbaring di kasur. Hanya saja setiap waktu salat, kadang beliau memaksakan pergi ke masjid, kadang salat di rumah dengan duduk.
“Coba, Nduk, bapakmu belikan bubur sana!” perintah ibu yang terlihat lelah usai sibuk di dapur untuk memanaskan nasi dan memasak air di api tungku.
“Lauknya apa, ya, Bu?” tanyaku.
“Tahu putih mungkin, Nduk. Yang bukan gorengan,” jawab ibu.
Aku bergegas mandi, lalu beranjak ke pasar menggunakan sepeda. Sampai di rumah, bapak tidak mau makan, hanya minta minum air putih hangat. Bukankah sumber energi itu berasal dari makanan, Ya Allah? Bagaimana ini? Aku hanya bisa menuruti kemauan beliau yakni memijat dan mengerok atau menggosok punggung beliau dengan koin.
Keesokan harinya, bapak bilang kalau sakitnya mulai berkurang, mungkin karena minum obat penghangat badan yang kemarin. Aku dan ibu pun jadi lega mendengar penuturan beliau. Aku yang memijat dan menunggu bapak sehari semalam dengan duduk di sisi ranjang. Lalu, ibu yang mengambilkan air putih hangat. Bapak berangkat ke masjid hanya saat salat Jum’at tadi. Selain itu, beliau lebih banyak salat dengan berbaring di kasur.
Sebenarnya aku sudah berulang kali menawari beliau untuk cek ke mantri terdekat yaitu tenaga kesehatan yang membuka praktik di rumahnya, atau ke Puskesmas. Tetapi apalah daya, bapak bersikukuh ingin menyembuhkan penyakit beliau secara alami, karena kami menganggap hanya masuk angin seperti biasa yang bisa sembuh dengan istirahat.
“Pak, aku telepon kakak, ya? Biar diantar ke Puskesmas atau ke mantri?” tawar ku.
“Gak usah, udah mendingan, kok, badannya,” jawab bapak.
“Ya udah, tapi bapak harus makan,” kataku.
“Perutku kembung, Nduk. Mau muntah rasanya.”
Aku hanya bisa diam. Sebenarnya juga khawatir terjadi apa-apa pada beliau. Ingin rasanya mengajak bapak periksa ke dokter bila tak ada perkembangan. Tetapi bapak selalu saja menolak. Mungkin lebih tepatnya, tidak begitu percaya dengan obat karena berasal dari bahan kimia. Setiap ba’da salat lima waktu, aku mendoakan untuk kesembuhan bapak dengan mata berkaca-kaca, memohon supaya beliau diberi kesabaran dalam menghadapi ujian sakit itu.
Setelah selesai mengerok punggung bapak, bapak pun tidur. Aku keluar dari kamar, menuju ruang tamu.
“Piye⁷, ya, Nduk? Bapakmu, kok, gak mau makan. Gak mau berobat,” keluh ibu yang juga duduk bersamaku.
“Ya gimana, Bu. Bapak tetap bersikukuh seperti itu.”
Malam pun tiba. Aku tidur dengan duduk, supaya mudah terbangun jika bapak minta dipijat atau dikerokin. Bergantian jika ibu yang memijat, aku tidur. Kami semakin merasa sedih dan khawatir.
**
Catatan kaki:
6. Mboten nopo-nopo: tidak apa-apa.
7. Piye: bagaimana.
#smacademy #smwriting
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro