
Bab 6. Mengapa Selalu Bertemu Dengannya?
Sang surya memancarkan sinarnya, begitu cerah hingga membuat keringatku bercucuran saat bekerja. Begitu pula dengan bapak. Aku ingat ini hari Selasa, waktunya kajian untuk warga putri di majelis.
“Ini hari Selasa, Nduk. Jadwalnya mengaji?” tanya bapak.
“Iya, Pak. Kan, dua pekan sekali. Selasa kemarin udah libur, jadi sekarang berangkat,” jawabku.
“Ya udah, istirahat. Segera siap-siap sana!”
Begitulah bapak yang selalu mengarahkan kami agar menjadi hamba yang taat. Aku segera mengakhiri pekerjaanku dan beranjak mandi.
“Allaahu akbar! Allaahu akbar!” Terdengar lantunan azan dari bapak yang ternyata sudah tak ada di rumah, padahal aku tidak melihat keberangkatan beliau. Mungkin beliau berwudu di tempat wudu masjid.
“Bapak sudah berangkat, to, Bu?” tanyaku pada ibu yang berada di dalam kamar, usai mandi.
Namun, tak ada jawaban. Aku pun masuk kamar, ternyata ibu sedang tertidur pulas. Barangkali wanita yang telah melahirkanku itu kecapaian karena tugas rumah seharian.
“Kalau begitu, aku salat sendirian saja, kasihan Ibu,” gumamku seraya memakai mukena.
Selesai salat, aku segera bersiap ke kajian: memakai krim wajah murahan, mengenakan jilbab sekaligus penutup muka, tak lupa kaos kaki juga.
Usai berpamitan pada bapak dan ibu, aku mengambil sepeda dan menaikinya. Jarak ke majelis sebenarnya dekat, sehingga hanya satu menit sampai. Mas Bams menata tikar yang akan digunakan untuk kajian, padahal biasanya aku yang menatanya.
“Assalaamu’alaikum,” salamku pada Bu Nunik, ibunya Mas Bams, sembari menjabat tangan beliau.
“Wa’alaikumussalaam,” jawab Bu Nunik.
Kami pun duduk di tikar yang sudah dibentangkan oleh Mas Bams. Rasanya serba kikuk jika harus ada pria itu di sini.
Ia berjalan mendekati Bu Nunik lalu bertanya, “Aku tinggal gak papa, Bu?"
Jantungku berdetak kencang saat lelaki itu berdiri tidak jauh dari tempatku duduk.
“Iya gak papa. Kan, udah ada temannya. Nanti juga tambah peserta kajiannya,” jawab Bu Nunik.
Untung saja Mas Bams segera pulang dengan motornya. Jika tidak, mungkin aku akan salah tingkah terus.
Beberapa saat kemudian, kajian segera dimulai dengan membaca ayat Alquran secara urut satu per satu. Jika ada salah tajwid, maka peserta yang duduk di dekatnya harus membetulkan supaya menjadi benar. Tiba giliran ibunya Mas Bams yang masih terbata-bata, sehingga aku harus bersabar dalam membenarkan bacaan beliau sampai selesai.
“Ini ‘laa’-nya panjang,” ucapku membetulkan.
Aku jadi membayangkan jika menjadi menantu Bu Nunik dengan menerima ajakan ta’aruf itu, apa bisa membetulkan bacaan ayat Alquran beliau sehingga menjadi benar dan fasih? Akankah ada kesempatan itu? Ah, tapi, kan, anak beliau bukan kriteriaku.
Entah mengapa aku tidak tertarik pada Mas Bams, padahal sering kepo terhadap kehidupan pria itu. Mungkin karena selisih usia yang begitu jauh, karena kriteria lelaki idamanku itu yang masih muda, sekitar usia 25 tahun. Bisa lebih sedikit atau kurang dari itu. Selain itu, inginnya yang salat lima waktunya di masjid seperti bapak, bukan perokok dan rajin mengaji. Mungkin Mas Bams tidak merokok, tetapi umurnya?
Aku sadar dari lamunan karena pembacaan ayat Alquran sudah selesai. Kini berganti dengan acara inti yaitu penyampaian tausiah oleh Ustaz yang mengajar sesuai jadwal yang sudah ditentukan.
“Assalaamu’alaikum,” salam Ustaz yang masuk ke ruangan kajian.
Kami menjawab salam. Ustaz pun membuka kajian, menanyakan absensi kehadiran peserta, lalu mulai menyampaikan materi berupa ilmu agama yang menurutku selalu menarik dan menjadi pedoman untuk diamalkan dalam kehidupan. Aku menyimak kajian dengan saksama, mencatat poin-poin penting dan ayat Alquran yang mendasarinya. Kadang, salah seorang Ustaz juga menunjukku untuk membaca ayat tersebut dan artinya.
Setelah satu jam pelajaran, kajian pun ditutup dan kami semua pulang.
**
Pagi ini entah mengapa badanku rasanya capai sekali, mungkin karena beberapa hari terakhir terlalu banyak bekerja dan kurang istirahat.
Hari itu adalah jadwal acara donor darah di majelis, aku mendapat tugas menjadi panitia yang mendata peserta donor darah di bagian putri.
Aku pun fokus mendata setiap peserta yang akan mendonorkan darahnya, baik itu warga majelis kami sendiri maupun warga dari cabang kajian daerah lain. Ada yang masih muda sehingga sudah paham mengisi data diri di kertas yang sudah disediakan. Ada juga yang sudah sepuh atau tua sehingga meminta bantuanku untuk menuliskan.
Saat jam istirahat, kami makan siang bersama. Aku mengambil makanan yang tersedia di meja, lalu duduk di kursi tempat mendata peserta, karena bingung tidak ada tempat tertutup untuk membuka cadar. Agak ribet sebenarnya, tetapi tak apa. Lagi pula para peserta donor sudah mulai banyak yang pulang. Ada juga yang baru datang sehingga aku harus menjeda makanku.
Setelah selesai makan, dari kejauhan, kulihat keluarga kakakku, yakni kakak ipar, mertua dan beberapa sanak saudara turun dari mobil pick up lalu masuk ke area majelis. Aku langsung pamit pada teman di sebelahku untuk menjemput keponakan tersayang, Abidah.
“Abidah!” panggilku sembari senyum pada balita mungil itu.
Aku menyalami keluarga kakakku yang perempuan, lalu mengajak Abidah jalan-jalan. Mereka masuk ruangan. Ketika menoleh ke tempat parkir, kulihat Mas Bams sedang duduk dan bercakap-cakap dengan warga putra lainnya. Jadi, dia ikut kerja bakti juga? Ikut donor darah, gak, ya?
Aku pun berjalan menjauh dari majelis sembari menggandeng tangan Abidah. Aku memang tidak berani mendonorkan darah, belum siap fisik karena masih sering lemas dan pusing. Tetapi rasanya senang sekali bisa membantu kegiatan ini agar berjalan dengan lancar.
“Lek, ayo ke sana, menemui Ibu! Aku bosan!” ucap Abidah yang lucu itu, menunjuk ke arah majelis.
Kami pun mendatangi majelis lagi. Aku bertemu lagi dengan Mas Bams. Mengapa harus selalu ada dia?
Usai donor darah, kami bekerja sama membersihkan ruangan lalu mencuci semua peralatan makan yang tadi digunakan. Aku mencuci piring dengan spons, seorang teman perempuan membantu membilasnya. Lalu yang lainnya menata peralatan yang sudah bersih di tempat semula. Ketika sedang sibuk menyelesaikan tugas, tiba-tiba Mas Bams datang ke dapur di antara bapak-bapak yang lain, menyerahkan piring kotor. Aku jadi jengkel, tapi sekaligus berdebar. Untung saja hanya sekali.
Aku pun menyelesaikan mencuci piring dan gelas bersama warga putri lainnya. Setelah selesai, kami mengobrol sebentar, lalu beranjak pulang. Tetapi lagi-lagi Mas Bams masih berdiri dan berbincang dengan warga lainnya di tempat parkir. Mengapa harus selalu bertemu dia, ya Allah? Aku pura-pura tidak melihatnya, lalu mengambil sepeda dan segera pergi.
**
#smacademy #smwriting
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro