Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 52. Musibah yang Menimpa Babe

Entah mengapa, beberapa hari ini, aku menjadi sangat sering buang air kecil. Kata Kak Dina, itu tandanya aku akan segera melahirkan, padahal HPL-nya kurang sepekan lagi. Atas saran Bu Bidan--saat aku dan Mas Bams periksa ke tempat beliau--kami harus ke Puskesmas untuk melakukan tes laboratorium yang meliputi tes gula darah, tes urine, dan sebagainya untuk mengantisipasi adanya penyakit darah tinggi, preeklamsia, diabetes, dan lain-lain.
Memang, aku dan Mas Bams memang belum pernah tes laboratorium. Selama ini hanya USG saja. Dua hari kemudian, Mas Bams mengantarku ke sana, lalu aku menjalani beberapa pemeriksaan. Hasilnya, kadar hemoglobin darah rendah, yaitu 9 gram/dl.
Bu Bidan tampak mencatat resep untukku. “Bu, ini HB-nya rendah. Harus dikejar, ya? Makan hati ayam, jus jambu, dan makanan lain yang bisa meningkatkan HB. Tinggal dua minggu lagi, semoga nanti masih ada waktu, karena kalau rendah, yang dikhawatirkan kalau terjadi pendarahan.”
“Iya, Bu,” jawabku, masih tak menyangka efek tidak pernah cek laboratorium, ternyata sangat berisiko.
“Nanti saya kasih vitamin penambah zat besi. Namun, harus tetap ditunjang dengan makanan, ya? Semoga kalau tiba waktunya, HB Ibu cukup. Mencegah pendarahan itu harus dilakukan, karena yang dikhawatirkan adalah kalau kehabisan stok darah dan tidak ada pendonor, risikonya sangat besar,” saran Bu Bidan.
Aku mengangguk. “Baik. Terima kasih, Bu.”
“Sama-sama.”
Aku keluar, lalu menuju apotek untuk menebus obat. Semua berjalan lancar, dan tidak bayar karena aku pakai BPJS.
“Bagaimana hasilnya, Dek?” tanya Mas Bams yang menunggu di tempat parkir, dekat motor beliau.
“Kadar HB-ku rendah, disuruh makan hati ayam sama minum jus jambu buat kejar jumlahnya, soalnya udah dekat banget sama HPL, supaya nggak terjadi pendarahan pas melahirkan,” jawabku.
“Oh, begitu. Ya udah, yuk, kita cari hati ayam, kalau enggak, jus jambu,” ajak Mas Bams.
Aku senang mendengarnya. “Sekarang?”
Mas Bams naik ke motor, lalu berkata. “Ya sekarang, lah. Jangan sampai dedek kenapa-kenapa.”
Aku mengembangkan senyum, ternyata suamiku sangat penyayang. Kami pun segera mencari warung makan, lalu membeli hati ayam untuk dibawa pulang.
**
Selama dua pekan, aku merasakan apa yang dialami oleh rata-rata wanita yang akan melahirkan. Kontraksi semakin sering, buang air kecil berulang kali, sakit pinggul, dan lain-lain.
Siang ini, aku masih kuat untuk menyapu dan mencuci piring, karena hanya sebentar untuk menyelesaikannya. Setelah itu, aku hanya berbaring di kasur karena saking tidak tahan dengan rasa sakit di hampir seluruh tubuh, sampai malam tiba. Saat salat pun hanya mampu duduk, seperti yang kulakukan selama beberapa bulan ini.
Usai Salat Magrib dan makan malam, aku duduk bersandar di sofa, sambil mengelus perut.
“Bu, ini gimana, Bu? Kencang banget, Bu,” keluhku pada Ibu yang duduk di sampingku.
“Sabar, ya, Nduk. Memang begini, namanya orang hamil,” nasehat beliau, sambil terus mengelus perutku yang sakitnya pindah-pindah.
“Assalamualaikum,” salam Mas Bams, sambil membuka pintu.
Kami menjawab salam beliau. Ibu pindah ke kursi lainnya, memberi tempat untuk Mas Bams.
“Kenapa, Dek?” tanya Mas Bams, sambil duduk di sampingku.
“Ya begini, Mas. Biasa tiap habis Magrib, kayaknya dedek kita lagi menendang-nendang. Sampai kencang banget, seperti kontraksi gitu,” jelasku.
Mas Bams pun membaca surah Ar-Rahman sambil mengelus perutku.
“Keburu lapar, nggak, Mas?” tanyaku khawatir, melihat wajah suamiku yang lelah setelah seharian bekerja.
Beliau menggeleng, sambil terus memperdengarkan ayat-ayat Allah untuk dedek di perut. Setelah selesai surah Ar-Rahman, beliau mengganti bacaan dengan surah lain yang sudah hafal.
Aku mengembuskan napas panjang, sambil memandang ke arah perut. “Astagfirullah, astagfirullah.”
Hanya zikir yang terus terucap dari mulutku, agar mengurangi kata-kata keluhan atau menggerutu. Aku sadar kalau hamil itu harus ikhlas agar mendapatkan pahala dari Allah, tetapi praktiknya sangat sulit untuk dilakukan. Butuh kesabaran ekstra untuk tidak mengeluh sama sekali, atau jika terpaksa, kadang dengan diam sambil mengeluarkan air mata.
“Bagaimana, Dek? Sudah mendingan?” tanyaku.
Aku mengangguk. “Alhamdulillah. Makasih, Mas.”
Terdengar azan berkumandang. Mas Bams segera pergi ke masjid. Ibu dan aku mengambil air wudu. Kami berdua salat berjamaah. Ibu yang mengimami salat, sementara aku sebagai makmum hanya mampu duduk.
Usai Salat Isya’ dan berzikir, Mas Bams pulang. Aku melipat mukena, lalu mengambilkan makan malam dan minuman untuk beliau, seperti biasa.
“Enak, Mas, sayurnya?” tanyaku.
Mas Bams mengembangkan senyum di sela-sela makan. “Enak, kok. Kamu yang masak?”
Hatiku senang kalau beliau suka. “Iya. Syukurlah, kalau jenengan suka.”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu sambil mengucap salam. Aku dan Ibu langsung memakai jilbab. Mas Bams menyelesaikan makannya, lalu minum.
“Wa’alaikumussalaam. Iya, sebentar,” jawabku, sedikit mengeraskan suara.
Mas Bams membuka pintu, ternyata yang datang itu seorang pria yang merupakan tetangganya Babe dan Ma’e. Lebih tepatnya, tempat tinggal tetangga itu dekat dengan rumahnya Mas Bams.
Mas Bams keluar, lalu mereka berbicara di teras. Setelah selesai, orang itu pulang, dan suamiku masuk rumah.
“Ada apa, Mas?” tanyaku.
“Babe dibawa ke Puskesmas, Dek,” ucap Mas Bams, mengagetkanku.
Aku mengerutkan dahi. “Kenapa? Masuk angin?”
“Tadi Babe lagi main bulu tangkis di gedung dekat sini, ganda putra. Jari tangan beliau kena pukulan raketnya teman yang di samping beliau, nggak sengaja,” jelas Mas Bams.
“Ya Allah, innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Terus?” Aku panik.
Ibu juga bereaksi khawatir. “Berdarah?”
“Jarinya ada yang patah, katanya. Tentu saja keluar darah. Aku mau menyusul beliau, sekarang lagi diantar ke Puskesmas. Dicek dulu keadaannya. Kalau parah, nanti dirujuk ke rumah sakit. Semoga saja tidak sampai dirujuk. Doakan, ya, Dek,” jawab beliau.
Aku mengangguk. “Iya, iya. Hati-hati, ya, Mas. Jangan lupa bawa jaket sama dompet. Mm, jenengan nggak menginap di sana, kan? Ada yang lain yang bisa temani Babe? Soalnya ....”
“Iya, paham,” potong Mas Bams. “Kamu sudah merasakan tanda-tanda mau melahirkan, kan? Aku harus siap siaga untuk itu. Nanti lihat situasi. Semoga aku bisa pulang.”
“Baiklah, Mas. Semoga Babe baik-baik saja.” Aku menghela napas berat, lalu mengembuskannya kembali.
Mas Bams bersiap-siap. Setelah itu, aku menjabat dan mencium punggung tangan beliau.
“Assalamualaikum,” salam beliau, sambil keluar dari rumah.
Aku dan Ibu menjawab salam.
“Jadi nggak bisa tidur, Bu,” kataku, pada Ibu.
“Nonton TV dulu, Ibu temani,” ajak beliau.
Kami pun menonton sinetron di TV. Hanya saja, pikiranku tidak fokus ke sana, karena khawatir dengan keadaan Babe, juga dengan diriku sendiri.
Bagaimana kalau besok aku mau melahirkan, lalu Mas Bams tak ada di rumah? Itu sangat merepotkan sekali. Ya Allah, hamba mohon, mudahkanlah semua urusan kami. Allaahummasfiihi allaahummasyfiihi, Babe, batinku khawatir, sambil men-scroll semua sosial media, barangkali ada kabar terbaru dari para tetangga.
Beberapa menit kemudian, aku merasa bosan, lalu beranjak ke kasur untuk mencoba tidur. Lama sekali netraku untuk bisa terpejam, karena overthinking.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro