Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 49. Virus COVID-19

Beberapa bulan kemudian, masa-masa morning sickness yang identik dengan makan selalu muntah, akhirnya terlampaui. Kandunganku berusia empat bulan. Aku mencoba makan nasi lagi, alhamdulillah sudah tak begitu mual dan makanan bisa masuk ke perut, seperti sedia kala. Sejak awal kehamilan, Mas Bams selalu membelikan susu bumil untukku, bahkan tidak pernah terlambat. Jika habis, langsung dibelikan yang baru. Kata beliau, demi nutrisi si kecil, supaya sehat sampai lahir kelak. Betapa beruntung diri ini memiliki suami seperti Mas Bams. Ya Allah, maafkan hamba pernah membenci beliau yang sedemikian baiknya.
Tiba-tiba, ada kabar bahwa virus baru menyerang dan masuk ke Indonesia, yakni virus COVID-19. Aku jadi waswas untuk keluar rumah, sehingga tak pernah ke mana-mana. Demikian pula Ibu.
“Bismillah, Dek. Doakan aku sehat selalu, ya, karena kewajiban suami mencari nafkah yang mengharuskanku keluar rumah,” pamit Mas Bams.
“Iya, Mas. Semoga Allah selalu melindungi keluarga kita,” kataku.
“Bilang ke Ibu, jika tidak penting, lebih baik di rumah. Jangan lupa cuci tangan sesering mungkin. Assalamualaikum,” pesan beliau.
“Insya Allah. Wa’alaikumussalaam,” jawabku.
Keadaan menjadi mencekam. Semua kegiatan diliburkan: kajian tahsin, kajian majelis dan lain sebagainya yang mengakibatkan kerumunan. Berita di televisi pun selalu menayangkan tentang penderita COVID-19 yang terus bertambah. Jalanan lengang sekali. Jamaah di masjid-masjid disuruh berjaga jarak saat salat.
“Gimana, ya, Bu? Saat lahir nanti, apakah harus swab, ya? Kalau positif, apa disuruh isolasi? Masa pandemi seperti ini, aku jadi takut,” keluhku pada Ibu.
Ibu yang sedang mengganti stasiun televisi dari tayangan berita ke sinetron, menoleh ke arahku. “Iya, kik. Ibu juga jengah dengar berita COVID terus. Kita berdoa saja pada Allah, hanya Dia yang memberi jalan dan petunjuk. Hal paling penting, kita telah berusaha dengan menjaga kebersihan dan selalu di rumah saja.”
“Iya, Bu. Semoga dimudahkan oleh Allah,” kataku seraya mengelus perut yang mulai kelihatan besar, lalu melirik televisi. Bukannya kami tak mau tahu tentang berita COVID, tetapi ingin menghindari stres karena berita yang ada.
**
Hari-hari berlalu begitu lama. Tak ada kegiatan majelis yang biasanya membuat kami terhibur dan insya Allah menaikkan keimanan. Pagi belanja bahan makanan diantar oleh Mas Bams, lalu Mas Bams bekerja. Siang hari, aku membantu pekerjaan rumah semampunya, yang sebenarnya Ibu yang banyak menyelesaikannya. Malam hari tak ada tahsin, sehingga jenuh melanda.
Keadaan ini berlangsung sekitar dua bulan. Menjelang bulan Ramadan, semua masih sama. Tak pernah bertemu tetangga atau saudara, kecuali sangat penting. Aku menghibur diri dengan menuruti keinginan si jabang bayi untuk makan buah semangka, alias mengidam, untuk menaikkan imun tubuh. Beruntungnya, Mas Bams selalu memberi uang belanja lebih, supaya istrinya ini bisa langsung beli sendiri jika menginginkan sesuatu, karena warungnya juga dekat dengan rumah.
Pernah suatu ketika, aku mengidam ayam bakar siang-siang. Alhamdulillah Mas Bams mau mengantarku. Kami pun makan bersama. Kata beliau, mumpung ada uang. Saat pulang, tak lupa membawakan satu bungkus untuk Ibu. Benar-benar suami idaman.
Petang ini, kami sedang beristirahat di ruang tamu.
“Kapan, ya, Mas, aku bisa USG? Sekalian tanya, boleh puasa atau tidak?” tanyaku pada Mas Bams yang sedang berbaring di sofa seraya memainkan ponselnya.
“Bulan ini, insya Allah. Doakan semoga ada rezeki, ya, Dek,” jawab Mas Bams.
Aku mengembuskan napas panjang. “Udah lama juga gak ke bidan, belum dapat vitamin lagi.”
“Vitaminmu habis? Ya sudah, ayo periksa,” ajak beliau.
“Iya, Mas. Kehamilanku masuk bulan keempat atau kelima, menurut jenengan?” tanyaku lagi.
“Bulan kelima kayaknya,” jawab beliau.
Malam harinya, kami berdua menuju rumah salah satu bidan desa bernama Bu Ratih. Beliau memeriksa kandunganku, mencatat sesuatu pada buku dan memberi vitamin.
“Kehamilan Ibu masuk 16 minggu, ya. HPL 27 Agustus 2020,” pesan Bu Ratih.
“Iya, Bu,” jawabku.
“Sudah USG?” tanya Bu Ratih.
“Belum, Bu.”
“Sebaiknya segera USG, ya. Kalau di kota terdekat, ada Dokter Burhan dan Dokter Hari. Bisa dipilih antara beliau ini, nanti minta catatan di sini,” ujar beliau sembari menunjukkan kotak kosong dalam buku kehamilan bersampul merah muda milikku.
“Iya, Bu.”
“USG ini banyak manfaatnya. Mendeteksi kesehatan janin secara lebih jelas dan mengantisipasi jika ada kelainan atau penyakit tertentu. Semoga janinnya baik-baik saja, ya, Bu,” pesan beliau lagi, ramah sekali.
Kami mengiyakan pesan beliau, lalu pamit pulang setelah membayar biaya periksa.
**
Berita COVID-19 membuatku takut untuk periksa. Saat melihat tayangan di televisi, isi beritanya antara lain: jumlah penderita COVID, banyaknya pekerja yang di-PHK dari perusahaan, sekolah via daring dan belum bisa tatap muka, tempat wisata ditutup, dan para pedagang pun menurun penghasilannya. Semua terkena dampak pandemi ini.
“Assalamualaikum,” salam Mas Bams, yang sedikit mengagetkanku.
“Wa’alaikumussalaam. Kaget aku, Mas,” jawabku.
“Memangnya gak dengar suara motorku?” tanya beliau, lalu duduk di sampingku.
“Enggak. Lagi prihatin banyak yang di-PHK,” ucapku seraya menunjuk televisi.
“Lapar aku, Dek,” ujar beliau, seraya menaruh topi dan kunci motor di meja.
Aku langsung mengerti maksud beliau, saatnya makan malam. Segera kuambilkan makanan dan minuman untuk Mas Bams.
Tiba-tiba, ada suara ketukan mikrofon masjid, padahal waktu untuk azan Isya’ sudah berlalu sejak tadi. Jantungku berdebar, biasanya ada kabar duka jika seperti ini.
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Telah meninggal dunia dengan tenang, beliau Bapak Budiyanto, RT 01/RW 01, karena sakit. Almarhum kini berada di rumah sakit, akan dimakamkan sekitar pukul sepuluh malam. Jenazah dimakamkan dengan mengikuti protokol kesehatan. Demikian informasi kami sampaikan. Jika dalam semasa hidup beliau ada salah kepada Bapak/Ibu, mohon maaf sebesar-besarnya,” ucap bapak yang mengumumkan berita menggunakan speaker di masjid.
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Pro kes, Mas.” Aku khawatir.
Ibu dan Mas Bams ikut melafalkan kalimat tarji’.
“Pro kes itu berarti selama ini sakit COVID,” kata Mas Bams.
“Gimana ini? Melayat apa tidak?” tanyaku.
“Jangan, biar aku yang keluar cari informasi. Kemungkinan besar pakai ambulans dari rumah sakit, disalatkan tanpa diturunkan dari mobil, lalu langsung berangkat ke makam. Kita pun tidak diperbolehkan masuk rumah keluarga Bapak Budi,” jelas Mas Bams.
Aku dan Ibu memasang wajah pucat. Kasihan, prihatin, cemas dan takut terhadap situasi ini. Pertama kalinya ada warga yang meninggal karena COVID-19. Ya Allah, berikanlah ketenangan pada hati ini. Semoga semuanya cepat berlalu.
Mas Bams pamit keluar. Aku dan Ibu masih dalam keadaan takut.
**
Entah mengapa, mataku belum juga bisa terpejam, padahal sudah sejak tadi berada di kasur. Ibu sudah terlelap di kamar beliau. Aku menaik-turunkan layar ponsel, barangkali ada kabar yang bisa menenangkanku.
Tanpa terasa, jam menunjukkan pukul sebelas malam. Terdengar pintu diketuk dari luar.
“Assalamualaikum,” salam Mas Bams.
Teringat, aku tadi mengunci pintu rumah. Segera beranjak keluar, membuka pintu dan menjawab, “Wa’alaikumussalaam.”
Mas Bams masuk, lalu mengulurkan tangan beliau. “Belum tidur, Dek?”
“Belum. Cuci tangan dulu, Mas.” Aku mengingatkan beliau.
“Oh iya, lupa! He he.” Mas Bams tersenyum, menunjukkan deretan gigi beliau, lalu pergi ke belakang.
Aku mengikuti Mas Bams untuk membuatkan minuman di dapur, lalu menaruhnya di meja dalam kamar.
“Makasih, ya, Dek “ Mas Bams mengambil minumnya, lalu duduk di tepi ranjang.
“Bagaimana, Mas? Apakah tadi pro kes?” tanyaku, menatap intens pada beliau.
“Iya, Dek. Seperti yang aku bilang tadi. Beliau, Bapak Budi, sakit karena virus COVID-19. Kami, para warga hanya bisa memantau dari kejauhan, tak berani mendekat. Rumah beliau dijaga ketat. Ambulans lewat di depan pertigaan sini, mungkin sempat berhenti di depan rumah almarhum untuk disalatkan, atau bisa juga sudah disalatkan sekalian di rumah sakit,” jawab Mas Bams.
Jantungku berdebar, rasa khawatir semakin menghantui. “Bagaimana dengan USG anak kita, Mas?” Aku mengelus perut yang kian membesar.
“Sabar, ya, Dek. Kita semua berlindung kepada Allah. Yakin bahwa Dia Sebaik-baik pelindung,” nasihat Mas Bams, ikut mengelus perutku juga.
“Aamiin, Mas.”
**
Beberapa hari kemudian, Mas Bams selalu menenangkanku, karena orang hamil itu tidak boleh stres. Aku berusaha untuk tidak terlalu memusingkan jumlah penderita COVID-19 yang terus bertambah, supaya imun tubuh terjaga dan fokus pada perkembangan janin. Berkali-kali meyakinkan diri sendiri, bahwa ada Allah yang selalu melindungi makhluk-Nya. Mas Bams juga tak pernah terlambat membelikan susu hamil. Kami sadar bahwa kekurangan nutrisi bisa menyebabkan bayi lahir cacat. Na’uudzubillaahi min zaalik.
Sore ini, Mas Bams pulang lebih awal. Aku tersenyum senang seraya mengelus perut. Beliau mengucap salam, lalu duduk di sampingku. Awalnya tadi terasa sepi karena Ibu sedang mandi. Namun, sekarang tidak lagi.
“Wa’alaikumussalaam, Mas. Bacakan ayat Alquran, ya, untuk anak kita,” kataku.
Mas Bams membaca surah Ar-Rahman seraya mengelus perutku. Beliau selalu menyempatkan menyapa dedek dengan ayat-ayat Allah. Betapa diri ini semakin dibuat kagum oleh sang imam sekaligus partner hidupku.
“Besok kita USG ke Dokter Burhan, ya,” ucap Mas Bams.
“Oh, sudah ada rezeki, Mas?” tanyaku.
“Iya, alhamdulillah. Tadi jual guntingan pelat. Itu loh, sisa-sisa lembaran aluminium yang per kilonya ada harganya,” jawab Mas Bams.
“Alhamdulillah.” Aku mengembuskan napas panjang, lalu mengelus perut. “Bagaimana, Mas, keadaan COVID begini? Apa boleh keluar? Nanti kalau banyak virus gimana? Aku sangat takut.”
“Bismillaah, ya, Dek. Sehat dan sakit, itu sudah menjadi satu paket dalam hidup manusia. Jangan takut pada virusnya, tetapi takutlah pada Allah. Hal yang paling penting, kita tetap menjaga protokol kesehatan atau pro kes, yaitu?” Ucapan Mas Bams menggantung.
“Mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak dan tidak menyentuh mata atau area hidung,” jawabku, lengkap.
Mas Bams mencubit hidungku. “Tepat sekali!”
“Ih! Jail banget, Mas!”
“Biarin!” Mas Bams tersenyum.
Aku tertawa, lalu berlalu menuju dapur untuk membuatkan minum.
**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro