Bab 47. Membuka Cadar dengan Rela
"Minum dulu, Sayang.” Mas Bams mencoba menenangkanku.
Aku tersenyum mendengar panggilan itu, lalu mengangkat kepala, mengunci layar ponsel. “Iya, Mas.”
“Insya Allah akan tiba waktunya nanti. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Ada, kok, tetangga sekitar yang menikah berbulan-bulan belum juga punya anak. Setelah lima bulan, baru Allah beri rezeki janin pada mereka,” ucap Mas Bams, begitu bijak.
Aku mengembuskan napas panjang, lalu minum sampai tehku tinggal setengah gelas. “Aku tahu itu, Mas.”
Beliau tersenyum padaku. “Hanya Allah yang bisa memberikan anak pada kita. Bisa iya, bisa tidak.”
“Kalau aku tak jua punya anak, apa Mas akan menikah lagi?” Pertanyaanku terdengar konyol sekali, tetapi tidak menutup kemungkinan itu akan terjadi.
“Entah, Dek. Namun, satu hal yang harus kau tahu, semua orang menikah pasti ingin punya anak,” ucap beliau singkat.
Aku berusaha mencerna kalimat beliau. Artinya beliau mengiyakan pertanyaanku? Hatiku berdebar.
“Ah, tapi juga tangek lamun. Satu saja belum dibahagiakan. Kayak aku ganteng-ganteng o!” Beliau tertawa.
Kedua sudut bibirku terangkat ke atas. “Ganteng, kok, Mas.”
“Ganteng menurutmu, belum tentu orang lain berpandangan begitu,” kata beliau.
“He he. Iya juga, ya. Jadi tenang,” timpalku, kemudian.
“Sedalam apa, sih, rasa cintamu padaku, Dek?” tanya Mas Bams.
“Dalam banget intinya, gak tahu harus menggambarkannya dengan apa. Pokoknya, aku gak rela Mas dimiliki wanita lain,” jelasku.
“Namun, maafkan aku jika belum bisa mencintai sedalam kamu, ya.” Mas Bams mengagetkanku.
“Maksudnya, Mas?” tanyaku
Beliau menarik napas panjang. “Aku mencintaimu sedikit sejak awal menikah, lambat laun bertambah. Semakin bertambah.”
Seketika air mata menggenang di pelupuk mataku. “Berarti Mas gak cinta sama aku? Jadi, istrinya jenengan ini berjuang sendiri, memperjuangkan cintanya? Sedangkan, semua itu tidak berbalas!”
“Bukan begitu, Dek, maksudku,” ucap beliau buru-buru.
Entah mengapa kemarahanku memuncak. Ada rasa sakit yang menyelinap di hati, sesak sekali. Aku berjalan cepat menuju kamar, lalu mengunci pintunya.
“Kamu salah paham, Dek. Maksudku, mencintaimu sedikit demi sedikit. Belum bisa sedalam perasaan Dek Alia padaku!” teriak beliau dari balik pintu kamar.
Aku tengkurap di kasur, membenamkan wajah pada bantal, lalu menangis sejadi-jadinya, menebak-nebak sendiri dalam hati. Mengapa hati ini begitu sakit mendengar pernyataan beliau? Benarkah aku salah paham? Apa karena efek datang bulan?
Kudengar Mas Bams masih berusaha membujukku di pintu kamar. Setelah beberapa menit tak ada sahutan dariku, beliau sepertinya kembali ke ruang tamu.
**
Aku menghidupkan layar ponsel. Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Teringat harus membantu Ma’e dan Mbak Riri mempersiapkan hidangan untuk arisan hari ini, aku mengusap sisa air mata yang telah kering, dan dengan malas beranjak keluar.
“Sudah, Dek, marahnya?” tanya Mas Bams dari ruang tamu.
Aku mengembuskan napas panjang, lalu duduk di samping beliau, meminum sisa tehku tadi yang telah dingin, sampai habis.
“Kamu cuma salah paham, Dek. Maksudku, sekarang aku sudah mencintaimu, tapi belum bisa terlalu dalam,” ucap beliau.
“Iya, Mas. Aku percaya,” kataku singkat.
“Maafkan aku sudah membuatmu menangis. Ada yang lebih penting dari itu semua,” kata beliau.
Aku mengernyitkan kening. “Apa itu, Mas?”
“Kamu ingat, waktu taaruf, aku pernah tanya, jika ada yang wajib dan sunah, akan pilih yang mana?” tanya beliau.
Aku mengangguk. “Arti pertanyaan itu, aku belum paham.”
“Menaati perintah suami itu wajib. Sedangkan memakai cadar, hukum yang diambil oleh para ulama adalah sunah. Nanti, aku mau kamu membuka cadar sebentar, sekadar untuk perkenalan. Setelah semua keluarga besar tahu wajahmu, boleh dipakai lagi,” kata beliau.
Aku diam, mencoba berpikir akan menjawab apa. “Baik, Mas. Insya Allah.”
“Namun, kalau kamu gak mau, aku tidak memaksa.” Mas Bams semakin membuatku bingung. “Lagi pula semua sudah menikah. Paling yang belum, biasanya gak mau berangkat arisan. Tak mungkin ada yang berpikir aneh-aneh, karena kita keluarga.”
“Oke, Mas. Asal Mas menjamin aman-aman saja, insya Allah aku mau,” kataku kemudian.
“Baik. Sekali saja, kok. Untuk arisan selanjutnya, terserah mau kamu pakai atau buka, yang penting semua sudah mengenal dan tak akan beranggapan kamu teroris atau sejenisnya, sebab mereka awam soal cadar. Ini juga untuk dakwah kita kepada keluarga, bahwa wanita bercadar tak seseram fitnah orang-orang di luar sana,” ucap beliau lagi.
Aku mengangguk, sambil berpikir dampak positif jika membuka cadar pertama kali di hadapan keluarga Mas Bams, untuk sekali saja, sebagai perkenalan.
**
Acara yang ditunggu pun tiba waktunya. Semua hidangan sudah siap. Kami duduk melingkar di tikar yang memenuhi ruang tamu di rumah mertua. Ibu duduk di sampingku.
“Assalamualaikum wa Rahmatullah wa barakatuh,” salam seorang ibu, saudaranya Ma'e.
Kami menjawab salam beliau.
“Itu namanya Bulek Ria,” ucap Ma’e.
Aku mangut-mangut.
“Bapak Ibu, Mas-Mbak, adik-adik. Monggo acara arisan hari ini, kita awali dengan bacaan Al-Fatihah bersama-sama,” lanjut Bulek Ria.
Kami membaca surat Al-Fatihah.
“Selanjutnya. Kita ucapkan selamat kepada Mas Bams dan istri, semoga menjadi keluarga sakinah mawadah wa Rahmah. Semoga lekas diberi keturunan.” Bulek Ria membuka arisan dengan doa yang sedikit membuatku baper mendengar kata ‘keturunan’.
Kami semua mengaminkan doa beliau. Mas Bams duduk agak jauh dariku. Jantungku berdegup cukup kencang, memikirkan waktu yang tepat untuk membuka cadar.
“Acara selanjutnya, absensi,” lanjut Bulek Ria.
Absensi yang dimaksud beliau adalah membayar Rp 10.000 untuk kas keluarga, digunakan jika keadaan darurat, seperti ada saudara yang sakit, dll. Semua membayarnya, termasuk Mas Bams.
“Bantu bikin minuman, yuk!” ucap Mbak Riri dari dalam rumah.
Aku yang duduk di dekat pintu masuk ruang tamu bisa mendengar beliau, lalu beranjak menuju dapur. Kami saling membantu menyiapkan minuman, lalu membawa piring-piring berisi berbagai camilan dan kue. Setelah dirasa cukup, kami menyediakan minuman bagi semua yang hadir, termasuk untukku sendiri.
“Monggo-monggo, silakan dimakan dan diminum hidangannya,” ucap Ma’e.
“Geh.” Keluarga besar menjawab dengan kompak.
Semua yang hadir makan dan minum serta mengobrol. Tujuan arisan keluarga ini, selain untuk menabung per bulan lalu mengambil uangnya jika dapat jatah—bergilir sesuai nama yang keluar ketika kertasnya dikocok—, juga sebagai sarana menyambung silaturahmi sehingga kami semua tetap bertemu dalam situasi sesibuk apa pun.
“Dimakan, Nduk,” tawar Ma’e padaku.
“Enggeh,” jawabku seraya mengambil salah satu kue.
Dengan mengucap bismilah dalam hati, aku membuka cadar. Jantung berdegup cukup kencang. Momen makan adalah saat yang pas untuk melaksanakan perintah sang suami untuk memperlihatkan wajah sebagai perkenalan.
“Enak, ya, kuenya?” ucap Mbak Riri seraya memakan kue yang sama denganku.
Aku tersenyum pada beliau. “Iya, Mbak. Enak.”
Detik demi detik berlalu. Ternyata keluarga Mas Bams bereaksi biasa saja ketika mengetahui wajahku. Degupan jantungku sedikit mereda. Inilah yang disebut membuka cadar secara sukarela. Berbeda dengan ujian beberapa tahun lalu saat cadar ini dibuka paksa, dalam artian tanpa meminta izin terlebih dahulu—minimal sekadar tanya dulu.
Alhamdulillah, semua berjalan lancar, batinku.
“Acara selanjutnya yaitu arisan,” ucap Bulek Ria, lalu memanggil nama anggota keluarga satu per satu, termasuk Mas Bams.
Masing-masing menyetor uang arisan sebanyak Rp 100.000. Jumlah seluruh setoran maupun jumlah yang diterima pemenang arisan itu sama, jadi tidak ada riba di sini. Istilahnya saling meminjami secara bergiliran. Bulek Ria mengocok gulungan kertas-kertas kecil di dalam botol plastik yang beliau bawa, lalu mengeluarkan salah satunya dengan hati-hati.
“Bulek Lisa!” seru beliau.
“Wah! Aku yang dapat,” timpal Bulek yang disebut namanya itu.
“Itu Bulek Ria,” ucap Ma’e lagi.
Satu per satu aku mulai mengenal keluarga Mas Bams. Semua ramah, tak ada yang meremehkan keberadaanku hanya karena perbedaan pakaian. Lama-lama aku terbiasa membuka cadar di hadapan keluarga besar Mas Bams yang kini menjadi keluargaku juga.
“Ambilkan apa, Bu?” tanyaku pada Ibu. Barangkali ada makanan yang beliau inginkan tetapi letaknya agak jauh.
“Enggak. Udah kenyang. Enak sekali, ya, camilannya!” puji Ibu.
Aku tersenyum mendengarnya. Mas Bams pernah bercerita bahwa masakan sang Ibu Mertua memang enak dan rasanya juara. Aku juga senang karena Ibu mendapatkan keluarga baru—meski dari besan—yang semoga membuat beliau bahagia dan tak lagi bersedih sepeninggal almarhum Bapak.
Beberapa menit kemudian, acara selesai dan diakhiri dengan makan besar bersama. Satu per satu anggota keluarga mengambil makanan, begitu pula aku. Rasanya sangat leluasa. Jika biasanya aku menyembunyikan tangan di balik cadar untuk memasukkan makanan atau minuman ke mulut saat di tempat umum, sedangkan ini tidak.
Setelah semua anggota keluarga pulang, aku, Mbak Riri, Ibu dan Ma’e bekerja sama mencuci piring dan membereskan alat-alat makan ke tempatnya. Sementara Babe dan Mas Bams menggulung tikar dan memasukkan kursi yang berada di teras ke ruang tamu lagi seperti sebelumnya. Setelah itu, kami pun istirahat.
“Gimana, Dek? Tadi lancar dan aman saja, kan, proses taarufnya dengan keluargaku?” tanya Mas Bams lirih, yang duduk di sampingku.
Aku mengangguk, lalu berkata pelan, “Alhamdulillah, Mas. Semua menerima. Aku pun rela, jenengan bilang, tak akan terjadi fitnah dan aman saja. Keluarga jenengan, kan, keluargaku juga.”
“Alhamdulillah.” Mas Bams tersenyum senang.
“Kenapa, Nduk?” tanya Ma’e.
“Itu, satu per satu anggota keluarga sekarang sudah mengenal dan menerima saya, Mak,” jawabku.
“Oh iya, alhamdulillah.”
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro