Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 46. Berharap Memiliki Keturunan

Di akhir pekan, tepatnya Sabtu pagi, aku mengajak Ibu untuk pergi ke rumah mertua. Rencananya, kami akan membantu Ma’e memasak untuk acara arisan keluarga pada keesokan harinya. Kami diantar oleh Mas Bams secara bergantian, karena aku tidak bisa mengendarai motor.
“Assalamualaikum,” salamku sampai di rumah mertua.
“Wa’alaikumussalaam. Sini, Nduk.” Ma’e memanggilku dari dapur.
Aku melangkah ke belakang, lalu mulai ikut membantu pekerjaan beliau yang pasti banyak sekali. Di antaranya mempersiapkan bahan untuk makanan ringan dan berbagai macam lauk. Beberapa menit kemudian, Ibu datang.
“Monggo, Bu,” sambut Ma’e.
Beliau berdua berjabat tangan.
“Buatkan ibumu minum, Nduk,” perintah Ma’e.
Aku melaksanakan perintah beliau, yaitu membuatkan Ibu segelas teh hangat. Setelah itu, kami memasak bersama.
“Kira-kira, Mbak Riri mau datang nanti sore apa malam, ya, Mak?” tanyaku di sela-sela membantu Ma’e.
“Enggak tahu. Tadi ditelepon Anto, katanya siang mau ke sini,” jawab Ma’e.
Aku mangut-mangut. Beliau pun mengobrol panjang-lebar. Asyik sekali memiliki mertua yang ramah. Aku dan Ibu hanya mendengarkan, sesekali ikut menimpali.
“Mbak Riri datang jam berapa, Mbok?” tanya Mas Bams yang tiba-tiba muncul dari dapur.
“Katanya siang baru berangkat,” jawab Ma’e.
Aku baru teringat, belum membuatkan minum untuk Mas Bams, lalu beranjak mengambil gelas.
“Kamu nanti jangan kaget, ya, Dek. Seperti waktu taaruf di HP, suaranya keluarga besarku itu keras, kadang gak disaring bicaranya. Jangan sakit hati, kadang mereka hanya bercanda,” ucap Mas Bams.
“Iya. Suaranya kakak dan adik-adikku itu keras semua. Siap-siap ramai, besok. Namun, semua ramah dan berniat mengenalmu lebih dekat,” timpal Ma'e.
“Iya, Mas. Insya Allah.” Aku menyerahkan segelas teh hangat pada Mas Bams, lalu beliau beranjak menuju ruang kerja lagi.
Terdengar azan Zuhur. Aku pun segera mengambil air wudu.
**
Tak terasa, hari sudah sore. Masakan Ma’e sebagian besar sudah selesai. Terdengar deru mobil berhenti di halaman rumah. Aku dan Ibu keluar untuk melihat siapa yang datang.
“Eh, Mbak Riri!” ucapku saat melihat Mbak Riri turun dari mobil.
“Assalamualaikum,” salam beliau.
Aku menjawab salam dan menjabat tangannya. Begitu pula Ibu. Kedua anak Mbak Riri juga menjabat tanganku dan menciumnya. Sementara anak ketiga masih kecil dan malu-malu denganku. Mas Awan memasukkan koper ke dalam rumah.
“Bantu masukkan tas, yuk!” perintah Mbak Riri pada kedua putrinya.
Aku ikut membantu memasukkan tas-tas besar ke dalam rumah. Mas Bams dan Ma’e menyambut kedatangan keluarga Mas Awan.
“Cucunya berkumpul. Alhamdulillah.” Binar bahagia terlihat di wajah Ma’e.
“Iya, Mbok,” jawab Mbak Riri.
Semuanya duduk di ruang tamu. Aku menuju dapur, lalu kembali dengan membawa banyak minuman.
“Alhamdulillah. Adik perempuanku buatkan minum,” kata Mbak Riri senang.
Aku tersenyum. “Iya, Mbak.”
“Maturnuwun, Lek,” kata Putri, anak pertama Mbak Riri.
Aku masih agak canggung dengannya. Wajahnya hitam manis, berperawakan tinggi sedang, dan pakaiannya yang berhijab panjang selalu terlihat fashionable. “Iya. Tadi sekolah?” tanyaku.
“Iya.” Putri tersenyum, manis sekali dilihat.
“Perjalanan lancar, Mbak?” tanya Mas Bams.
“Alhamdulillah lancar. Yang enggak lancar, duitnya.” Mbak Riri tertawa setelah menjawab pertanyaan Mas Bams.
Suamiku ikut tertawa. “Itu, mah, sama saja.”
“Panciku sudah jadi belum?” tanya Mbak Riri. Beliau memang menerima pesanan dan reparasi panci dari tetangga sekitar, lalu mengambil keuntungan dari penjualan itu.
“Kurang satu, Mbak,” jawab Mas Bams.
“Oke. Segera selesaikan, ya. Nanti tak kasih uang. Mau uang?” Mbak Riri menatapku, lalu tersenyum.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan beliau, lalu melirik ke arah Mas Bams. Alhamdulillah, rezeki, ucapku dalam hati.
“Ya mau, Mbak.” Mas Bams balas senyum padaku. “Oke, tak kerjakan dulu, ya.”
Mbak Riri mengangguk. Mas Bams beranjak ke ruang kerja, diikuti Mas Awan yang sepertinya hendak bercengkerama dengan suamiku, karena sudah lama tidak bertemu.
“Anak-anak libur sekolahnya?” tanya Ma’e.
“Tadi sekolah. Sekarang sudah pulang. Hari Senin masuk. Jadi, besok malam mau segera pulang,” jawab Mbak Riri.
Ma’e mengernyitkan kening. “Buru-buru amat.”
“Bapaknya kerja, Mbok. Masaknya sampai mana?” tanya Mbak Riri.
“Udah hampir selesai, tadi dibantu Alia dan Ibu.” Ma’e mengambil satu gelas teh hangat dan meminumnya.
Mbak Riri dan Ma’e bercerita panjang lebar. Aku dan Ibu hanya mendengarkan. Kedua putri Mbak Riri bermain ponsel, sementara anak yang ketiga ikut menonton layar ponsel yang dimainkan oleh kakaknya.
**
“Alhamdulillah, selesai.” Aku menarik napas panjang, mengetahui pekerjaan menggoreng kerupuk di dapur bersama Mbak Riri sudah matang semua.
Ibu, Ma’e dan Putri berada di dapur sebelah Selatannya dapur ini.
“Makasih sudah bantu. Paling nanti malam tinggal masak lauk. Ayamnya sudah dibumbui, kan? Berarti tinggal digoreng,” kata Mbak Riri senang.
Kami berdua duduk di kursi di hadapan kompor gas, lalu minum teh yang kami bawa dari ruang tamu tadi.
“Sudah isi belum?” tanya kakak iparku itu, melirik ke bagian perut.
“Belum, Mbak.” Aku memasang raut muka masam, yang tentu bisa dilihat beliau karena tak memakai cadar.
“Sudah siap punya anak?” tanya beliau lagi.
Aku agak terkejut mendengarnya. Bukankah semua pasangan menikah, pasti sudah siap punya anak? Mungkin ada yang belum siap, tetapi mustahil untuk KB di awal pernikahan, karena belum tentu setelah melepasnya akan mudah mendapatkan anak. Aku hanya mampu membatin.
“Gak usah khawatir, Lia. Rezeki insya Allah ada, asal semangat mencarinya,” nasihat Mbak Riri.
“Iya, Mbak. Insya Allah siap punya anak.” Aku berusaha tersenyum, meski hati merasa getir karena belum juga ada tanda-tanda hamil.
“Ya sudah. Ke belakang, yuk. Sepertinya pekerjaan Simbok belum selesai,” ajak Mbak Riri, yang langsung kuikuti.
**
Pagi ini terasa capek sekali. Mungkin karena kemarin masak-masak yang banyak, lanjut mengaji di majelis cabang pada sore harinya. Aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air.
“Ih, sebel!” ucapku saat keluar dari kamar mandi, menuju dapur.
“Kenapa, Nduk?” tanya Ibu yang sedang menjemur baju di halaman rumah, dekat dapur.
“Gak papa, Bu.” Aku bersungut, berjalan menuju kamar.
“Buatkan minum, Dek,” ucap Mas Bams dari ruang tamu. Beliau biasanya sedang bermain ponsel setelah qiraah.
“Sebentar, Mas.” Aku mengambil sesuatu di lemari, lalu ke kamar mandi lagi. Beberapa menit kemudian, keluar, lalu membuat dua gelas teh hangat.
“Dek?” panggil Mas Bams.
Aku menuju ruang tamu, lalu menyerahkan minuman untuk Mas Bams, dan menaruh yang satunya di meja. “Mas, aku haid lagi.”
“Oh, ya gak papa, Dek,” kata Mas Bams.
“Kok, oh doang, sih, Mas?” tanyaku, semakin kesal.
“Terus gimana?” tanya beliau.
“Ini artinya, aku belum hamil, kan?” Aku balik bertanya, sebab sudah dua bulan sejak menikah, haid selalu datang.
Mas Bams menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. “Sabar, Dek. Mungkin belum waktunya.”
Aku hanya diam, lalu membuka ponsel. Tertarik dengan galeri foto, aku membuka beberapa foto bersama Abidah. Hal itu justru semakin memperdalam kerinduan hati akan hadirnya seorang anak. Kapan Allah mempercayai kami memiliki anak? Sudah dua bulan, haid selalu datang tepat waktu, batinku, sedih.
**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro