Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 42. Kisah Hijrah Mas Bams

"Kamu penasaran soal ceritaku?” tanya Mas Bams saat kami di ruang makan.
Aku mengangguk seraya mengambil dua piring nasi. “Ini, Mas.” Aku menyodorkan sepiring nasi untuk beliau.
Mas Bams menerimanya. “Kisah hijrahku sangat pilu. Dulu, saat kecil, aku pergi ke masjid sendirian. Tiada yang kuharapkan selain karena senang salat berjamaah. Setelah dewasa, lama-lama tahu kalau hal itu wajib bagi pria muslim. Sebagaimana dalam hadis, “Barang siapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada salat baginya, kecuali bila ada uzur.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).”
Aku mangut-mangut seraya mengambil lauk dan sayur, begitu pula Mas Bams meraih lauk sesuai keinginan beliau.
“Juga dalam hadis lain, “Demi Zat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh aku ingin memerintahkan untuk mengumpulkan kayu bakar lalu terkumpul, kemudian memerintahkan untuk salat dan dikumandangkan azan. Kemudian aku perintah seseorang untuk mengimami salat, lalu aku pergi melihat orang-orang dan membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari),” lanjut beliau.
“Karena itulah, aku memilih jenengan, Mas. Salat lima waktunya di masjid.” Aku tersenyum pada beliau, lalu membuka ponsel.
Mas Bams mulai menyuap makan siang beliau.
Teringat sebuah hadis dari internet, yang pernah kuambil tangkapan layarnya di ponsel, aku membuka galeri foto, lalu berucap, “Ini ada lagi, Mas. ‘Seorang lelaki buta menjumpai Nabi SAW. dan dia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki seorang penuntun yang bisa menuntunku berjalan ke masjid.” Kemudian ia memohon kepada Rasulullah SAW. agar diberikan keringanan sehingga dia boleh salat di rumahnya, lalu beliau SAW. membolehkannya. Ketika orang tersebut berpaling pergi, beliau SAW. memanggilnya dan berkata, “Apakah kamu mendengar azan salat?” Ia menjawab, “Iya.” Beliau pun menyatakan, “Maka datangilah!” (HR. Muslim).”
“Iya. Waktu itu, banyak sekali yang menghinaku, 'Buat apa salat? Toh, tidak bikin kita kaya. Bekerja keraslah maka kita akan hidup berkecukupan.’ Begitulah cacian mereka.” Mas Bams menatap lurus ke depan, mengenang masa lalu.
Aku mulai menyuap makanan. Mas Bams meneruskan cerita beliau di sela-sela makan.
“Keluargaku memang bukan orang berada. Setelah bekerja jadi pengrajin alat dapur, kehidupanku mulai membaik. Aku mengenal kajian Alquran dan Sunah melalui radio. Kami pun sedikit demi sedikit berubah jadi rajin salat dan mengaji.”
“Babe juga berhenti dari judi, setelah ikut salat?” tanyaku.
“Iya. Saat kami istikamah mengaji dan tidak lagi mengikuti budaya Jawa yang tidak ada tuntunannya dalam Islam, seperti selamatan orang meninggal 3, 7, sampai 1000 hari, masyarakat mulai tak suka pada keluarga kami. Kami diboikot oleh tetangga satu desa,” jelas beliau.
Aku menghentikan kegiatan makan, lalu minum sedikit. “Maksudnya diboikot, tidak ada yang mau bicara dengan Mas Bams sekeluarga?”
Beliau menyuap satu sendok terakhir, lalu minum. Porsi makan suamiku memang lebih sedikit dariku. “Lebih dari sekadar tidak menyapa, Dek. Mereka tak mau membantu ketika kami kesulitan, biasanya ada yang mau diutangi lalu mendadak jadi tak peduli, lalu dicopot dari gotong-royong RT dan RW. Bahkan sampai tidak diundang dalam bantu-membantu tetangga yang hendak menikah, padahal sebelumnya saling membantu.”
Usai menghabiskan makanan, lalu minum, aku bertanya, “Berapa lama diboikot seperti itu, Mas? Setengah tahun, satu tahun?”
“Bukannya sudah aku kasih tahu, ya, saat taaruf? Dua tahun keluarga kami merasakan diboikot seperti itu. Hanya karena tidak mengikuti budaya Jawa yang bercampur dengan bidah dan syirik, padahal kita tetap bisa hidup bertetangga walaupun berbeda pemahaman. Masih sama-sama salat juga,” jawab beliau.
“O iya, lupa. Jadi, lambat-laun masyarakat di sini mulai mengenal salat?” tanyaku.
Beliau mengangguk. “Iya, banyak yang sudah ikut salat ke masjid, sementara para perempuan di rumah. Namun, mereka memboikot keluarga kami. Berat, tapi harus tetap kami lalui, ujian dari Allah. Satu hal yang kuyakini, seberat-beratnya diboikot saat itu, aku yakin keturunan—anak dan cucu—kelak, tidak akan merasakan hal ini.”
Keningku mengernyit. “Maksudnya, Mas? Aku belum paham dengan kalimat terakhir.”
“Kami harus melalui ujian itu sekarang, selama apa pun itu. Bahkan jika lebih dari dua tahun, insya Allah sanggup. Bila pun aku harus kembali pada Allah karena penderitaan itu, pasti semua akan segera berlalu, sehingga keturunanku kelak tidak akan merasakannya, melainkan memiliki kehidupan beragama yang lebih baik, lebih tenang dan tak akan diboikot lagi,” jelas beliau.
Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Lama, kami saling diam, membayangkan masa-masa sulit itu.
“Ternyata tidak mudah menjadi seorang Mas Bams,” ucapku.
“Memang, Dek. Maka bersabarlah, jika ada hal yang membuatmu tak suka padaku. Itu hanya proses taaruf atau perkenalan, setelah menikah. Kita masih perlu banyak belajar, saling menyeimbangkan diri,” ucap beliau.
Air mataku mengalir semakin deras. Buru-buru kuhapus, lalu minum sampai habis supaya suasana hati lebih netral lagi.
“Aku kerja dulu, ya.” Beliau beranjak dari kursi.
Kuanggukkan kepala, lalu membawa piring kotor ke belakang untuk kubersihkan.
**
Kami pamit pulang pada Babe dan Ma’e usai salat Isya’. Udara dingin menusuk kulit saat aku melangkah keluar, menuju Mas Bams yang sedang menyalakan motor beliau di halaman rumah. Langit gelap sehingga jalanan tak begitu tampak, hanya disinari lampu temaram. Bintang-bintang mulai bermunculan.
“Sudah siap, Dek?” tanya Mas Bams saat aku telah duduk di jok belakang motor.
“Sudah,” jawabku, kemudian mengucap doa naik kendaraan dengan lirih. Begitu pula Mas Bams.
Beliau melajukan motor dengan pelan. Rumah warga sudah agak sepi, hanya sebagian yang duduk-duduk di teras rumah. Sesekali, Mas Bams menyapa mereka.
Alhamdulillah, kini para warga sudah berdamai dengan Mas Bams. Namun, aku masih penasaran, bagaimana ceritanya sehingga mereka bisa menerima keluarga beliau lagi? Apa yang terjadi setelah dua tahun itu? Banyak pertanyaan berkecamuk dalam hati.
Aku merekatkan peganganku pada lingkar pinggang Mas Bams. Jilbab lebarku tidak cukup membuat hangat, karena lupa membawa jaket. “Biasanya kalau di sinetron, yang cowok meminjamkan jaket buat ceweknya, Mas.”
“Korban sinetron! Ha ha. Aku sendiri juga kedinginan, Dek. Lagi pula, hanya beberapa menit sudah sampai rumah, kan?” sahut beliau.
“He he. Iya juga, sih.” Aku menaruh dagu di pundak beliau, nyaman sekali.
Keheningan menyertai perjalanan kami berdua, sebab hari memang sudah malam. Rasanya ingin segera menarik selimut untuk menghangatkan tubuh. Perut sudah kenyang karena tadi aku diharuskan oleh Ma’e untuk makan malam bersama, mau tidak mau. Mertuaku itu memang baik sekali.
Lambat-laun, aku sudah mulai mengenali sifat Babe dan Ma’e. Mungkin, kata orang mertua itu jahat, tetapi tidak dengan beliau berdua. Sejauh ini, komunikasi kami baik-baik saja. Jika ada pekerjaan rumah, aku membantu Ma’e. Percakapan kami juga aman, tidak ada konflik atau saling menyakiti hati, mungkin karena beliau juga orang yang mengaji—mempelajari Alquran dan Sunah—di majelis yang sama, sehingga lebih mudah untuk sefrekuensi. Semoga seterusnya.
“Dingin, ya, Dek.” Ucapan Mas Bams disertai sentuhan lembut di punggung tanganku, membuatku tersadar dari lamunan.
“Eh, iya, Mas,” kataku buru-buru, sedikit kaget karena merasakan dinginnya tangan beliau.
Aku tersenyum, akhirnya kami damai kembali setelah tadi pagi sempat diam-diaman. Indah sekali pacaran malam-malam, sudah halal pula. Sayang sekali, ini hanya berlangsung singkat. Andai bisa berduaan di atas motor sampai besok pagi, tetapi tak mungkin karena badan sudah ingin istirahat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro