Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 40. Masa Lalu

"Iya." Mas Bams mengangguk. "Namanya manusia, pasti pernah berbuat kesalahan. Itu dulu, jauh sebelum aku kenal kajian."
Aku melepas genggaman tangan Mas Bams. "Kok, bisa, Mas? Gimana ceritanya?"
"Dulu, masyarakat desa kami penuh dengan kemaksiatan. Rata-rata judi, sih. Desa Dukuh, tempatnya para preman kampung yang terkenal garangnya. Ada sebagian pemuda yang kabur dari rumah, hidup di jalanan dengan naik truk dan mengamen. Tak jarang juga mereka mabuk, jadi anak rusak."
"Sekarang udah gak, kan? Aku masih gak percaya," kataku.
"Enggak. Alhamdulillah banyak yang sudah bertobat kalau sekarang. Kadang saat bus lewat, para pemuda nongkrong buat godain cewek-cewek yang masih sekolah, saking nakalnya mereka. Kalau aku, cuma judi aja, sih. Mau ikut merasakan permainan orang-orang aja, seperti coba-coba gitu. Aku tahu triknya dan sering menang," jawab Mas Bams.
Aku menggeleng berkali-kali. Masih sulit untuk mempercayai beliau, walaupun itu cuma masa lalu.
"Bandarnya aja kalah sama aku, saking aku paham dengan trik-trik perjudian," kata Mas Bams lagi.
"Lama, Mas, kamu terjerumus dalam perjudian itu?" tanyaku.
"Gak lama. Mungkin efek Babe dulu juga berjudi."
"Hah?" Aku tercengang.
"Udah, lupakan aja. Semuanya cuma masa lalu. Kamu pasti juga punya masa itu, yang tidak perlu kamu ceritakan padaku. Manusia itu tempatnya salah dan lupa, bukan?" Mas Bams berdiri.
"Berarti, Mas dan Babe pernah main judi, Mas?" tanyaku.
"Iya."
"Memangnya tidak ada yang mengingatkan?" tanyaku.
"Nanti kuceritakan, tapi aku ke kamar mandi dulu, ya," pamit Mas Bams.
Aku merenung saat beliau sudah keluar dari kamar. Entah mengapa hatiku gelisah, mengetahui Mas Bams pernah berjudi. Sulit untuk percaya, tetapi harus mau memaafkan masa lalu itu. Bukankah setiap manusia memiliki dosa masa lalu? Demikian pula aku.
Mas Bams belum juga kembali ke kamar, padahal aku sangat penasaran bagaimana kisah beliau bisa lepas dari bermain judi. Aku tidur dulu, karena mata sudah mengantuk sekali.
**
Usai salat Subuh berjamaah dengan Ibu, aku menunggu Mas Bams pulang dari masjid.
"Assalamualaikum," salam Mas Bams.
"Wa'alaikumussalaam," jawabku seraya mencium tangan beliau.
Ibu beranjak ke dapur untuk merebus air, sementara aku dan Mas Bams mengambil Alquran. Mushaf yang kumiliki sekarang adalah simbolis mahar pernikahan dari beliau, yang diberikan usai membacakan surah Ar-Rahman.
"Siapa yang baca dulu?" tanyaku.
"Kamu aja, Dek."
Kami berdua membuka Alquran.
"Kalau salah dibenarkan, Mas. Jangan diam saja," ucapku.
"Mau koreksi apanya, Dek? Kamu udah betul semua, walaupun gak disemak," jawab Mas Bams.
"Ya pokoknya benarkan, ya!"
Mas Bams tidak memedulikan permintaanku. Entah mengapa beliau jarang sekali mengoreksi bacaan Alquranku, padahal sangat berharap akan dibenarkan.
"Ya, Mas?" tanyaku sekali lagi.
"Udah benar, Dek." Mas Bams tetap bersikukuh, padahal dalam hati berharap bacaanku akan dibenarkan oleh beliau, sebab aku tidak yakin kalau makhraj dan tajwidnya benar semua, pasti ada yang salah, barang satu atau dua huruf. "Jadi, gak? Ya udah, Mas dulu ya, yang baca."
"Iya-iya, jadi. Aku dulu, dong. Jadi, kok, Mas," ucapku buru-buru.
Aku pun fokus membaca ayat Alquran, sedangkan Mas Bams menyimak seraya sesekali membenarkan bacaanku meskipun sedikit.
"Udah satu ruku', Mas. Giliran jenengan sekarang," kataku.
Mas Bams mulai membaca ayat Alquran dengan irama yang indah serta tajwid yang sempurna. Suara beliau selalu membuatku bertambah jatuh cinta. Sesekali aku memandang beliau, betapa bersyukurnya diri ini memiliki suami seperti Mas Bams.
Setelah Mas Bams selesai, aku baru teringat bahwa beliau pernah bermain judi. Hal itu sedikit mengurangi rasa kagumku pada beliau.
"Tadi malam belum selesai cerita, gimana bisa lepas dari judinya?" tanyaku seraya menaruh mushaf Alquran milik kami berdua di tempatnya.
"Buatkan teh dulu," pinta beliau.
Aku melaksanakan perintah itu, lalu duduk di samping Mas Bams.
"Dulu, ada seorang bapak di desaku yang melihat kebiasaanku berjudi, lalu datang untuk mengingatkan. 'Berhentilah, Bams. Tidak patut ada seorang pemuda yang rajin salat tetapi masih sengaja berbuat dosa.' Itu yang dikatakan beliau, lalu aku tidak main lagi." Mas Bams mengembuskan napas panjang.
"Mudahkah lepas dari judi?" tanyaku.
Mas Bams mengangguk. "Mudah saja, sebab aku tahu itu dosa dan menyadari kekeliruanku. Hanya menunggu bagaimana reaksi orang-orang jika melihatku begitu. Ternyata hanya ada satu tetangga yang peduli."
Aku mangut-mangut.
"Kamu tahu, Dek? Masa kecilku penuh dengan keprihatinan. Orang tidak punya, rumah sangat sederhana, dihina sana-sini sudah biasa. Sampai Simbok mau hutang para tetangga, tidak diperbolehkan, saking mereka tidak yakinnya bahwa kami bisa menyaurnya, kecuali ada satu orang yang bersedia dihutang, yakni penjual bubur."
Aku menelan ludah, prihatin pada keluarga Mas Bams dulu.
"Kami sering diremehkan hanya karena kami miskin. Simbok bekerja sebagai pengeruk pasir yang dijual kepada orang yang akan membangun rumah atau gedung, menggunakan tenaga manual," lanjut beliau.
"Maksudnya?" Aku tak paham.
Mas Bams melirik ke arahku. "Simbok pergi ke jurang bersama teman-teman beliau, lalu menempatkan pasir di tenggok dan digendong di punggung."
"Lalu, naik dari jurang ke jalan raya, juga jalan kaki?" tanyaku.
"Iya."
Aku tertegun pada kesusahan Ma'e mencari sesuap nasi di zaman dulu.
"Makanya, kamu kalau sama Simbok yang akur, muliakan beliau, yang sudah membesarkanku dengan susah payah," pesan Mas Bams.
"Insya Allah, Mas." Aku tersenyum pada beliau. "Babe masih suka judi, dengan keadaan sesusah itu?"
"Iya. Babe kalau dapat uang digunakan untuk judi," jawab Mas Bams.
Tanpa sadar mataku berair.
"Kamu tahu, apa yang kami makan sehari-hari? Kulit singkong pernah, nasi jagung setiap hari pernah, kadang nasi dengan sambal korek saja."
Badanku bergetar, air mataku meluruh.
"Pagi hari, Simbok hutang bubur. Aku, kakak dan adik pun bisa sarapan. Beliau mengeruk pasir sampai mau Magrib. Kalau beliau belum pulang dengan membawa upah, kami belum makan. Upah itu pun digunakan untuk membayar hutang bubur. Begitu terus sampai aku besar," lanjut beliau.
"Ya Allah." Aku semakin sesenggukan.
"Kenapa menangis?"
"Terharu dengan kisah hidup Mas. Setelah remaja, apa masih seperti itu juga?" tanyaku.
"Sudah agak mendingan. Lulus dari SD, aku langsung berlatih pandai aluminium. Tidak lanjut sekolah, walaupun dapat beasiswa karena selalu mendapat peringkat satu, atau dua, kadang tiga di setiap kenaikan kelas, termasuk juga saat Ujian Nasional," jawab beliau.
"Berarti Mas termasuk cerdas, dong," kataku.
Beliau menoleh. "Alhamdulillah. Kamu sendiri?"
"Aku sering dapat peringkat pertama pas MA, pernah peringkat kedua tapi hanya sekali pas pindah semester," jawabku.
"Kamu juga pintar berarti."
Aku hanya tersenyum. "Masih memprihatinkan kehidupan jenengan daripada aku, ya."
"Jauh, Dek. Sesusah-susahnya kehidupanmu, masih susah aku," kata beliau.
"Yang sabar, ya, Mas."
Beliau memegang kedua tanganku. "Sekarang kehidupanku sudah sangat mendingan, aku mensyukuri itu. Kisah kita berdua begitu menakjubkan."
"Masa, sih, Mas. Aku belum percaya kamu pernah berjudi," kataku.
Beliau melepaskan genggaman tangannya. "Bukankah semua orang memiliki masa lalu, Dek?"
Aku diam seraya menunduk, sementara beliau bergegas mengambil kaus pendek, pakaian untuk bekerja. Tak seperti biasanya, kami sedikit membuat jarak pagi ini.
**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro