
Bab 39. Sebuah Kesalahan
Mas Bams senyum-senyum saat melihatku dari kejauhan, datang dengan menaiki sepeda kayuh. Napasku terengah-engah, tetapi senang karena bisa membuat kejutan untuk beliau.
"Assalaamu'alaikum," salamku sampai di rumah mertua, lalu memarkirkan sepeda di teras.
"Wa'alaikumussalaam. Ada apa ini?" tanya Mas Bams.
"Kejutan!" ucapku, lalu mencium tangan Mas Bams.
"Capek, dong, kamu!" kata beliau, masih dengan senyum merekah.
"Iya capek." Aku duduk di ruang tamu.
Beliau berdiri dan memandangku sembari senyum-senyum. "Jauh, lho. Hebat bisa sampai sini, naik sepeda."
Aku membuka cadar, lalu tersenyum. "Dekat, kok, Mas. Cuma, ya, napasku jadi terengah-engah."
"Kalau biasa sepedaan jauh, ya dekat. Tapi untuk ukuranmu, pasti kejauhan, capek," kata beliau.
"Namanya juga mau bikin kejutan! Senang gak?"
"Senang, dong. Disusul istri," jawab beliau.
Kami berdua tertawa.
"Kamu naik sepeda dari rumah?" tanya Bu Nunik, yang kini kupanggil Ma'e. Beliau muncul dari dalam, lalu duduk di hadapanku.
"Enggeh."
"Ambil minum dulu sana," perintah Ma'e.
Aku pergi ke belakang, lalu kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas teh hangat. Ma'e berangkat untuk berdagang bersama Babe. Kini, tinggal kami berdua di rumah ini.
Mas Bams sudah kembali bekerja. Aku pindah, duduk di dipan yang terletak di pojok ruang kerja suamiku itu, dengan membawa minumanku.
Tempatnya luas, baru kali ini aku melihat alat pandai alumunium dan kayu bulat besar untuk tempat duduk saat membentuk sebuah panci atau peralatan rumah tangga lainnya.
Mas Bams senyum-senyum melihat tingkahku kali ini sambil melanjutkan pekerjaan beliau. "Dapat ide menyusul ke sini, dari mana? Di rumah bosan, ya?"
"Ideku sendiri. Iya, Mas. Rasanya, aku gak bisa jauh-jauh darimu," kataku.
"Iya, tapi, kan, kita harus realistis, Dek. Maklum aja jika wanita yang masih muda sepertimu itu suka pacaran, berduaan dan jalan-jalan seperti kemarin. Meskipun kita sudah halal, tetapi aku juga butuh mencari nafkah," jelas Mas Bams, tampak bijak.
"Aku paham, kok, Mas. Tadi kegiatan mencuci udah selesai. Bingung mau ngapain, biasanya jahit, tetapi jahitannya udah dibawa pulang semua sama Kak Dina. Jadi, ya, mending aku nyusul ke sini hehe. O ya, sekalian buatin jenengan kopi, atau teh," kataku.
"Kebetulan ini udah habis kopinya. Ganti teh, ya, Dek. Alhamdulillaah ada istri yang buatin," ucap Mas Bams, lalu tersenyum.
Aku mengambil gelas kosong bekas minum kopi di samping Mas Bams. "Lha iya, kalau aku di rumah, kan, Mas buat sendiri. Ada untungnya juga nyusul ke sini, walaupun capek hehe."
Mas Bams melirik dengan ujung netranya saat langkahku mendekati pintu yang menghubungkan ruang kerja dengan ruangan dalam rumah. "Asal ntar malam jangan minta dipijitin, itu maunya kamu sendiri ke sini."
Langkahku terhenti. "Enggak, lah, Mas. InsyaaAllaah selama bukan sakit atau masuk angin, aku gak akan minta pijit. Kebalik, harusnya aku yang mijitin suami."
Aku membuat teh hangat kesukaan Mas Bams. Suamiku itu memang banyak minumnya, aku mengikuti kebiasaan beliau. Lambat laun, pusing atau lemas yang dulu sering melanda badanku pun hilang, tetapi penyakit maag yang dulu belum sembuh sepenuhnya.
"Ini, Mas," kataku seraya menyodorkan teh.
"Manis seperti saat memandang wajahmu." Kata-kata Mas Bams membuatku tersipu.
Aku duduk kembali, lalu membuka ponsel. Berselancar di sosial media, membalas beberapa pesan di WhatsApp, terakhir menonton video dakwah di Youtube.
Setengah jam berlalu, aku mengantuk, lalu memutuskan untuk tidur di kamar.
**
"Dek, dek." Kudengar sebuah suara, lalu ada yang menggoyang-goyangkan telapak kakiku.
Aku membuka mata, perlahan sadar dari alam mimpi. "Eh, Mas."
"Salat Zuhur dulu," ucap Mas Bams dengan pakaian koko, sarung dan peci yang rapi. Itu menandakan, beliau sudah pulang dari masjid.
Dengan badan masih berbaring, aku tersenyum pada beliau. Pria itu memang semakin hari semakin membuatku jatuh cinta. Aku bangun, lalu mengambil air wudu.
Mas Bams tiduran dan membuka ponsel.
"Bikinin kopi, Mas?" tawarku dari dapur, usai berwudu.
"Iya."
Beberapa menit kemudian, aku masuk membawakan segelas kopi untuk Mas Bams. Beliau pun duduk untuk minum. Tempat salat di rumah mertuaku terletak di dalam kamar, dengan karpet kecil yang dibentangkan menghadap ke barat, di samping dipan tempat tidur.
"Sayang sekali, ya, Mas. Rumahmu besar, tetapi tidak ada tempat khusus salat. Beda dengan rumah Ibu yang meskipun sempit, tempat salatnya tidak bercampur dengan kamar yang menyebabkan tidak bisa berjamaah seperti ini," kataku, kecewa.
Mas Bams setuju denganku. "Iya, Dek. Dulu belum kepikiran. Di belakang rumah ini masih ada tanah milik Babe, warisan Kakek, yang luas sekali. Bisa digunakan untuk Mbak Riri sekeluarga dan Anto dengan istrinya kelak. Tinggal nari duwit e³⁹. Simbok sudah rencana untuk membuat rumah lagi, mungkin untuk beliau sendiri."
Gerakanku yang memakai mukena berhenti sejenak. "Terus rumah ini? Milik jenengan?"
"Iya. Secara tidak langsung, dulu yang bangun aku. Simbok juga tetap ikut andil, sih. Kata beliau, kasihan sama aku yang sudah membangun rumah tetapi ditinggal karena kita harus menemani Ibu yang sendirian. Namun, keadaannya begitu. Bagaimana lagi? Rencananya, kelak kita akan pindah ke sini, insyaaAllaah," ujar Mas Bams, lalu berbaring kembali.
Aku sedikit terperanjat. Pindah ke sini? Meninggalkan rumah warisan itu? Biar kupikir-pikir dulu. "Namun, Ibu mau apa tidak nanti diajak pindah?"
Mas Bams mengedikkan bahu. "Gak tahu juga. Kita harus memberikan pandangan positif pada Ibu, jika pindah ke sini. Ada kajian di masjid sewaktu-waktu, ada tahsin ibu-ibu, atau jika kesepian di rumah bisa main ke rumah tetangga. Kalau di sana, semua pada sibuk bekerja pas siang."
Aku diam. Beliau memainkan ponselnya. Aku segera salat, berzikir dan berdoa. Setelah itu, jadi kepikiran soal ucapan Mas Bams tadi.
"Soal pindah, nanti kita pikirkan lagi, ya. Aku masih menyayangkan rumah warisan almarhum Bapak, Mas. Sebenarnya desaku dan desamu sama-sama agamis, ya," kataku, usai melipat mukena dan duduk di sisi ranjang.
Mas Bams mengubah posisinya menjadi duduk. "Sebenarnya, dulu desa ini cukup parah maksiatnya, Dek. Aku dulu pernah ... merokok juga."
Aku menatap beliau lekat-lekat. "Mas pernah merokok?"
Beliau mengangguk. Aku menghela napas panjang. "Namun, sekarang enggak lagi, kan?"
"Enggak, to. Udah lama."
"Dulu aku pernah ingin sekali menanyakan apakah jenengan merokok atau tidak, saat ta'aruf di WhatsApp. Aku pernah tanya Kak Dina, apakah harus tanya soal itu. Katanya, tak usah, kalau orang yang mengaji di majelis pasti tidak merokok. Kalaupun pernah, pasti sudah taubat," kataku.
Mas Bams berkaga, "Mengapa gak tanya langsung? Tanya aja, gak papa. Aku pernah merokok, dan satu lagi, aku pernah--"
"Pernah apa, Mas?" tanyaku, penasaran.
"Nanti saja aku cerita di rumah. Aku mau kerja dulu."
"Gak makan dulu, Mas?" tanyaku.
Mas Bams menggeleng. Aku membiarkan beliau yang berlalu dari hadapanku, menuju ruang kerjanya.
Aku mengambil makan sendiri, karena Ma'e pernah bilang, kalau di sini anggap saja rumah sendiri. Lapar segera makan, ngantuk boleh tidur asal pekerjaan rumah sudah selesai, atau misal gerah pun boleh mandi. Memang beliau sebaik itu. Ibu mertuaku itu sangat rajin, pagi-pagi sudah memasak lauk sebelum pergi.
Setelah selesai makan, aku mencuci piring. Ternyata sudah banyak piring kotor, mungkin sisa sarapan Babe dan Ma'e tadi sebelum berangkat berdagang. Aku harap, semoga beliau berdua selalu diberi kesehatan dan kelancaran dalam mencari nafkah.
"Sudah kamu cuci semua piringnya?" tanya Mas Bams yang tiba-tiba muncul di dapur.
"Sudah," jawabku. "Mas, aku mau izin pulang sekarang, ya. Kalau nanti malam, gelap, gak berani pulang."
"Gak bareng aku aja nanti?" tawar beliau.
"Enggak, Mas. Nanti sepedanya gimana? Di sana, kan, berguna banget buat pergi ke warung atau beli sesuatu di toko," ucapku.
"Ya udah, hati-hati, ya, di jalan." Akhirnya Mas Bams memberikan izin.
Aku mencium tangan beliau, lalu bersiap bersepeda. Suamiku mengawasi dari teras rumah.
"Hati-hati, ya, Dek. Pelan-pelan aja, gak usah ngebut," pesan beliau.
"Iya, Mas. Siap. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam," jawab beliau.
Dengan menarik napas panjang, aku mulai mengayuh sepeda.
**
Malam hari setelah Salat Isya', aku rebahan di kamar sembari membuka ponsel. Rasanya capek sekali. Mas Bams duduk di tepi ranjang seraya minum kopi buatanku.
"Jenengan tadi mau cerita apa, Mas?" tanyaku.
"Aku pernah punya masa lalu yang buruk, Dek," jawab Mas Bams, membuat jantungku berdetak kencang.
"Apa itu, Mas?" Seketika pikiran buruk memenuhi otakku. Segera kuambil posisi duduk di samping beliau.
"Tapi kamu harus janji, jangan marah, ya?" pinta Mas Bams.
Waktu seakan berhenti. Aku tak tahu apa masa lalu Mas Bams, hingga wajahnya terlihat seperti orang yang baru saja melakukan kesalahan yang besar. Aku tak bisa janji, akan marah atau tidak, membayangkan segala macam dosa yang akan dikatakan beliau.
"Aku pernah--" Ucapan Mas Bams terpotong.
"Pernah apa, Mas?" tanyaku.
Mas Bams menyentuh kedua tanganku. "Kamu tahu, kan, semua manusia pasti punya kesalahan di masa lalu? Kita sebelum hijrah, pasti punya dosa yang pernah diperbuat, entah sengaja atau tidak."
Dahiku mengernyit. "Cepat katakan! Apa itu? Jangan bikin penasaran, dong."
"Aku pernah bermain judi, dulu. Dulu sekali," jawab beliau.
"A-apa?" Aku menelan saliva, jantungku berdegup kencang. "Apa Mas? Kamu pernah berjudi?"
Suamiku mengangguk. Aku sangat tidak percaya melihat wajah beliau yang agamis dan mencerminkan imam yang baik.
"Beneran, Mas? Jenengan gak bohong, kan?"
Mas Bams diam saja.
**
39. Nari duwit e: tergantung budget, tergantung punya uang atau tidak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro