Bab 35. Pernyataan Cinta
"Apakah kau mencintaiku, Dek?" tanya Mas Bams.
"Semenjak Kak Dina bilang pada perantara ta'aruf, aku sudah menerima jenengan, saat itulah mulai ada rasa cinta," jawabku, mantap.
"Apa kau ikhlas menerimaku?" tanya beliau lagi.
"Ikhlas insyaaAllaah. Aku istikharah berhari-hari, jawabannya jenengan, Mas. Alhamdulillaah, Allah yang menghadirkan rasa ini. Berminggu-minggu, yang kelihatan itu Mas terus. Aku pernah gak bisa tidur karena Mas. Pertama pas setelah istikharah berhari-hari, kemudian bilang pada perantara itu, tentang penerimaanku," jawabku.
Mas Bams tersenyum, lalu bertanya, "Kemudian, yang kedua?"
Aku menjawab, "Yang kedua, setelah lamaran waktu itu. Bermimpi jenengan sudah berulang kali. Allah Yang Maha Mengabulkan doa. Jenengan itu sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah. Mengajakku ta'aruf dua kali, bukanlah sebuah kebetulan. Yang pertama, saat almarhum Bapak masih ada. Kutebak, mungkin jawaban doanya Mas itu aku. Setelah dapat petunjuk, inilah hasilnya, pernikahan kita."
"Ana uhibbuki fillaah, zaujaty," ucap Mas Bams, lembut.
"Ana uhibbuka fillaah aidhon. Apa yang lebih indah dari mencintai karena Allah? Aku meninggalkan pilihan kedua karena dia belum jelas agamanya, walaupun aku tahu, hartanya berlimpah ruah. Tapi, harta tidak menjamin kebahagiaan. Nyatanya, pamanku bercerai, padahal bibi seorang guru, bahkan mungkin PNS. Bapak selalu menasehati seperti itu, harta dan kemewahan tidak menjamin kebahagiaan," kataku.
"Aku masih biasa saja dalam beragama, Dek. Jangan memujiku berlebihan." Lagi-lagi Mas Bams merendah.
"Pilihlah seseorang karena agamanya. Niscaya engkau akan beruntung. Bismillaah. Aku memilih jenengan karena yakin jenengan baik agamanya dan mampu membimbingku menjadi wanita yang lebih baik," jawabku.
"Aku juga banyak kekurangan, Dek. Namun, aku sangat bersyukur kepada Allah telah mendapatkanmu," kata Mas Bams.
"Barangsiapa memilih akhirat, dunia akan diikut sertakan. Bahkan, Allah memberi lebih dari yang aku minta. Dahulu, aku cuma minta yang salat lima waktunya di masjid dan bukan perokok, nyatanya Mas lebih dari itu," kataku.
Mas Bams mengusap pipiku. "Usia kita, kan, beda jauh, Dek."
Aku tersenyum untuk menyakinkan Mas Bams. "Jangan khawatir, setiap aku memutuskan sesuatu, insyaaAllaah sudah kupikirkan panjang sekali, siap dengan apapun komitmen dan konsekuensi dari keputusanku ini, siap lahir batin menjalani rumah tangga dengan jenengan. Biarkan rasa ini tumbuh dengan sendirinya."
"Semoga pernikahan kita, diberkahi oleh Allah. Sakinah mawaddah wa rahmah, sampai jannah. Berjalan pada jalan yang lurus, berdasarkan Alquran dan As-sunah." Mas Bams mencium keningku.
"Aamiin, ya Allah." Aku memejamkan mata, merasakan kasih sayang Mas Bams.
**
Aku dan Mas Bams saling menyimak bacaan Alquran setelah Salat Subuh, seperti biasa. Ketika hari agak siangan, aku mencuci baju.
Selama beberapa hari ini, aku belum masak, karena sisa lauk sewaktu walimatul 'urs masih banyak dan bisa dipanaskan, sehingga kami bisa langsung sarapan pagi ini. Setelah selesai, Ibu mencuci piring di dapur.
"Dek," panggil Mas Bams.
"Iya, Mas?" tanyaku.
"Kamu nanti harus siap-siap untuk menghadapi keluargaku. Latar belakang keluarga besarku rata-rata masih abangan³⁴. Siap mental, ya. Kamu harus masa bodoh, karena kalau mereka bicara itu, tidak ada yang pelan. Aku minta, banyak-banyaklah bersabar ketika menghadapi mereka. Misi dakwah untuk keluarga besar masih banyak sekali," ucap Mas Bams, serius.
Aku menoleh, memandang beliau lekat-lekat. "InsyaaAllaah. Jika aku sangat bersedih, titik terendahku biasanya menangis di kamar, ketika tak ada orang. Dakwahi diriku sendiri aja belum bisa, mana mungkin dakwahi keluarga. Setiap rumah tangga pasti melalui ujian. Baik yang masih ikut orang tua, atau yang sudah berkeluarga."
"Kamu cerdas, Dek. Sejak kita bicara hal penting di WA, aku merasa cocok karena cara berpikir yang dewasa seperti ini," puji Mas Bams.
"Satu yang selalu aku yakini, ujian Bapak sama Ibu, yang selalu diceritakan ke aku, jauh lebih berat dari ujian yang kualami saat ini. Kadang, mau putus asa, belum bisa bekerja, belum lulus jahitnya, tapi sudah ditinggal Bapak." Aku mengembuskan napas panjang.
Mas Bams mengusap punggungku.
"Namun, aku lihat lagi, sosok ibuku, ibu kita, yang hidupnya selalu dipenuhi ujian. Beliau tetap sabar dan tabah menghadapi semuanya. Mulai dari diajak hidup pas-pasan sama Bapak, padahal beliau anak orang berada. Terus ditinggal orangtuanya, kakek-nenek, lalu mertua, kakek-nenek dari Bapak, terus ditinggal suami," kataku, sendu.
"Apa Ibu sempat sakit, Dek?" tanya Mas Bams.
"Sempat mengalami tekanan darah rendah sampai matanya merah, tetapi alhamdulillaah sudah dikasih obat oleh mantri daerah sini, lalu sembuh. Aku kagum, Ibu bisa setegar itu, kenapa aku tidak? Masih muda dan kuat, banyak yang menjadi perantara pertolongan Allah dan perantara tempat bergantung. Jadi aku harus lebih kuat. Termasuk ujian rumah tangga nanti. Semua kita serahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla," jawabku.
Mas Bams memegang tanganku erat, aku bersandar di pundak beliau.
"Kok, kamu mau sama aku, Dek? Apa tidak malu, aku ini perjaka tua, tidak kaya, wajah juga pas-pasan. Apa yang kamu suka dariku?" tanya Mas Bams.
"Mengapa aku harus malu? Suamiku adalah imam masjid, takmir masjid, rajin isi tahsin, guru TPA, ketua SATGAS. Jangan tanyakan mengapa, kalau mulai sesudah istikharah berulang kali, nyatanya pikiranku gak bisa lepas, isinya jenengan. Aku harus jawab gimana? Kalau masalah harta, keluargaku pun bukan orang berada," jelasku.
Mas Bams bertanya lagi. "Ya sudah. Kamu punya cita-cita apa, Dek, setelah nikah?"
"Bolehkah jika aku mengharapkan suami yang sifatnya dan tanggungjawabnya seperti Bapak? Beliau tidak pernah bolong ke masjid, kecuali darurat. Selalu bertanggung jawab terhadap keluarga, bekerja kadang sampai malam."
Aku menjeda perkataanku, lalu minum sedikit. "Beliau tak pernah main tangan pada Ibu, sebesar apapun kesalahan Ibu. Tegas dalam masalah agama. Selalu semangat belajar, mengejar pelajaran yang beliau belum mampu, seperti pengucapan huruf hijaiyah ketika tahsin."
"Kepribadianku masih jauh dari Bapak, Dek." Wajah Mas Bams lesu.
Aku menyentuh pipi beliau. "Tidak ada yang tak mungkin, Mas. Beliau hanya pandai besi dulunya, tetapi, semangat bekerja. Bahkan, tidak ada acara Boyong Manten saat Ibu diboyong ke Tumang, saking tidak adanya biaya dari Kakek-Nenek untuk mengadakannya. Beliau tidak memiliki cincin untuk diberikan pada Ibu. Hanya Alquran. Sifat Bapak yang tabah dan sabar dalam setiap ujian, selalu menjadi teladan untukku sampai sekarang."
Kulihat Mas Bams mulai menitikkan air mata.
"Aku mencintai jenengan karena agama dan akhlak yang ada pada jenengan. Jika agama dan akhlak itu hilang, maka hilanglah rasa cintaku," ucapku mengakhiri percakapan.
**
Catatan kaki:
34. Abangan: Menganut kebudayaan Jawa yang kental, bercampur dengan syirik, tidak mengenal rukun Islam sama sekali. Atau mengaku Islam, tetapi sengaja tidak pernah salat karena menganggap salat tak ada gunanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro