Bab 32. Mahar Surah Ar-Rahman
Pagi-pagi sekali, aku sudah mandi sebelum Salat Subuh. Usai melaksanakan kewajiban dua rakaat, adik ipar Kak Dina sudah datang, namanya Kak Yunda.
"Sudah makan belum?" tanya Kak Yunda.
"Belum, Kak," jawabku.
"Makan dulu sana. Nanti segera kudandani," pinta Kak Winda.
Aku segera mengiyakannya, lalu sarapan. Setelah itu, aku duduk di depan cermin di kamar.
"Dilepas dulu jilbabnya," kata Kak Yunda yang sudah siap dengan peralatan make up miliknya.
Aku menurut. Mula-mula, Kak Yunda mengucir rambutku supaya tidak jatuh ke wajah, lalu mulai memoles wajahku dengan foundation, atau entah apa itu namanya.
Perlahan, tangan Kak Yunda make over wajahku dengan cakap dan hati-hati, tanpa ada yang salah.
"Dulu belajar di mana, Kak, soal make up?" tanyaku.
Kak Yunda masih terus mengaplikasikan make up ke wajahku. "Pernah ikut seminar dulu."
"Oh, gitu." Aku tersenyum memandang bayanganku di cermin yang memang terlihat semakin cantik saja, menurutku.
Setelah riasan sederhana ala Kak Yunda selesai, lanjut dengan membentuk dua jilbab syar'i kombinasi di kepalaku. Warnanya putih semua, tetapi yang satu agak kelabu, yang satu putih cerah seperti diamond.
Awalnya, aku memakai ciput, lalu meminta Kak Yunda untuk memasangkan cadar terlebih dahulu. Setelah itu, Kak Yunda dengan tangan mahirnya mendandaniku dengan kedua jilbab itu, sangat cekatan, cantik dan rapi. Tak lupa sebuah bando dengan mote putih disematkan di jidatku yang sudah tertutup jilbab. Seharusnya mahkota, tetapi sudah tidak ada waktu lagi untuk menyewa.
"Terimakasih, Kak," ucapku seraya berdiri dan memutar badan untuk bercermin.
"Iya." Kak Yunda pun keluar, lalu duduk di ruang tamu untuk minum teh yang sudah disiapkan Kak Dina.
Senang sekali dikelilingi orang-orang baik di hidupku. Semoga ini mengawali rumah tangga yang baik ke depannya.
**
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Separuh jam lagi, acara akad dimulai. Aku, Ibu, Kak Tono, Kak Dina dan bapak-ibu mertuanya, Paman, dua orang saksi pria yang tertib salatnya, Mbah Syahid, kakak keponakan, serta paman-bibi yang merupakan adik Ibu, bersama pemuka dan tetangga pajupat yang laki-laki, sudah selesai sarapan dan bersiap untuk ke KUA.
Aku menaiki salah satu mobil yang sudah disiapkan, bersama Ibu, Kak Dina dan ibu mertuanya dan Abidah.
"Sudah siap semua, ini?" tanya supir yang merupakan tetangga kami.
Kami menjawab sudah, lalu mengucap doa naik kendaraan dan doa keluar rumah.
**
Sampai di KUA, kami semua masuk. Aku duduk di kursi khusus acara ijab kabul, sementara yang lain berdiri. Hanya ada empat kursi tambahan.
Aku juga telah menyematkan cincin di jari manis yang kiri, setelah kemarin sempat meminta izin pada Mas Bams. Kupandangi benda bundar yang indah itu, sembari menunggu pria yang memberinya.
MaasyaaAllaah. Aku belum pernah sebahagia ini, seolah mendapat rumah emas--semuanya terbuat dari emas--sehingga siapa pun wanita menginginkannya, setelah bertahun-tahun terseok-seok mencari sesuap nasi.
Jika diibaratkan, setelah mendapat ujian dari Allah ketika ditinggal Bapak, bagaikan mengalami kekeringan di sebuah gurun pasir lalu datang hujan deras yang mengisi bak-bak mandi dan bejana sehingga para penduduknya tak kehausan lagi dan bisa mandi sebebas mungkin. Bagaikan seorang ibu rumah tangga yang hariannya untuk makan besok tak punya, tiba-tiba ada yang mencukupi kebutuhan makannya selama sebulan, sekaligus diberi ponsel dengan belanjaan di e-commerce yang sudah di-check out semua.
Aku benar-benar sangat bahagia. Namun, rombongan Mas Bams mana? Gelisah sekali menunggu sang tambatan hati.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar deru mesin mobil yang melambat dan berhenti, lalu pintunya dibuka, dari arah tempat parkir. Tidak salah lagi. Mereka rombongan keluarga dan tetangga Mas Bams.
Aku memandang ke arah pintu masuk. Suara langkah sepatu pantofel yang kudengar, diiringi sesosok pria gagah yang muncul. Mas Bams datang dengan penampilan yang membuat hatiku berdesir. Peci hitam ala Presiden Ir. Soekarno dengan bagian samping dekat telinga yang berupa potongan rambut rapi, jas hitam menambah kesan wibawanya dengan kemeja putih bersih di dalamnya, disertai celana hitam panjang. Sudah pasti outfit itu mahal.
Aku terpukau. Jantungku berdetak lebih kencang saat Mas Bams menyalami satu per satu lelaki di ruangan ini, lalu berdiri di antara mereka. Hanya dengan ucapan ijab kabul, jarak sekian jam, yang sebelumnya haram akan menjadi halal.
Keluarga Mas Bams tidak banyak. Bahkan aku tidak melihat Bu Nunik, mungkin acara di tempat beliau sendiri cukup menyibukkan. Hal yang membuatku tersenyum senang adalah para pemuda teman calon suamiku itu telah membawa beberapa ponsel beserta penyangganya, sesuai janji beliau di chat untuk meminta orang lain merekam mahar bacaan Surah Ar-Rahman.
Pak Naib datang dengan membawa banyak sekali dokumen, lalu duduk berseberangan denganku. Paman di tengah dan Mas Bams di sisi kanannya. Semua yang hadir mendekat. Dua orang saksi duduk di kursi yang tersisa. Bapak Mas Bams duduk di kursi yang lain, ditemani bapak mertuanya Kak Dina.
Diawali ucapan basmalah, acara akad dimulai. Kemudian, penyerahan mahar surah Ar-Rahman. Semua kamera mengarah pada Mas Bams yang membuka Alquran. Aku memfokuskan mata pada beliau, karena ini mahar untukku.
"Bismillaah, dengan memohon rida Allah, saya serahkan mahar berupa bacaan Surah Ar-Rahman." Mas Bams mengawali penyerahan itu, dibimbing Pak Naib dengan catatan di sebuah kertas.
Dimulai taawuz, basmalah, kemudian Mas Bams menarik napas dalam. Mungkin beliau grogi. Ayat pertama dilantunkannya, membuat siapa pun yang mendengar di ruangan ini pasti terenyuh.
Aku hanyut dalam bacaannya. Tanpa sadar air mataku keluar, sangat terharu. Tak peduli bila cadarku basah dan make up di wajah hancur. Nada yang mendayu-dayu dari pita suara Mas Bams membuat hatiku semakin mengagumi kebesaran Allah, betapa indah Surah Ar-Rahman ini. Aku memilihnya sebagai mahar, karena tak akan ada yang bisa menilai berapa harga Alquran, sangat jauh lebih berharga dari perhiasan, rumah, mobil atau harta dunia yang lain. Tak ternilai harganya.
Air mataku benar-benar terus mengalir. Suaranya begitu merdu. Suara itu, yang pertama kali membuatku jatuh cinta, atas izin Allah. Dari benci menjadi rindu, setelah istikharah.
Semua ini kuasa Allah. Aku sangat mengagumi suara beliau. Sungguh indah, seindah pagi ini yang akan menjadi kenangan awal kami untuk mengarungi rumah tangga. Lantunan ayatnya mengalir begitu sopan masuk ke dalam telinga siapa saja yang mendengarnya. Aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, hati ini sangat bahagia.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro