Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31. Gaun Pengantin

Acara konfirmasi selesai, kami keluar dari ruang KUA. Aku berjalan cepat menuju motor Paman, menyerahkan kebaya untuk calon ibu mertua pada Mas Bams.

"Mas, ini kebaya buat Ibunya jenengan. Minta tolong dipakai nanti pas hari H acara di tempat saya, ya," ucapku pada Mas Bams.

Mas Bams menerimanya. "Nggeh. Terimakasih. Jadi merepotkan, nih."

"Mboten, kok." Aku segera menuju motor Paman dengan detak jantung sudah agak netral sekarang, mungkin karena mulai terbiasa.

Kami pulang. Kudengar suara sepeda motor Mas Bams mengikuti jalanan yang yang dilewati motor Paman.

Sampai di pertigaan, kami terpisah. Paman belok ke kiri, Mas Bams lurus. Aku baru berani menengok ke belakang. Pria itu, insyaaAllaah aku sudah mencintainya sekarang, lahir dan batin. Sebentar lagi, dia halal untukku.

**

Satu pekan kemudian. Aku bercermin, memandang bayanganku yang memakai gamis kebaya syar'i berwarna peach kombinasi biru muda yang cantik, buatan Kak Dina. Tak lupa jilbab warna peach buatanku sendiri--sederhana tetapi tetap anggun. Akhirnya semua jahitan untuk keperluan pernikahan, selesai juga. Kebaya untuk Ibu, Bu Nunik, Kak Dina sendiri, Abidah dan aku.

Aku membeli kainnya sendiri dengan uang tabunganku yang dulu, sementara Kak Dina menggunakan uangnya untuk semua kain coklat dan abu-abu.

"Bagaimana? Bagus gak?" tanya Kak Dina yang berdiri di belakangku.

"Bagus, Kak. Aku suka." Senyuman terus mengembang di pipiku, karena baru pertama kali punya kebaya syar'i.

"Namun, tadi Bude pesan di WA, bagusnya untuk akad dan acara walimah, itu warna putih," kata Kak Dina.

Aku berbalik badan, menghadap kakakku. "Maksudnya?"

"Kita beli lagi, ya, yang putih, sekalian sepatunya. Kakak mau beli jilbab buatku dan Ibu. Beli baju yang sudah jadi aja. Kalau beli kain untuk dibuat dari awal, tidak cukup waktunya. Terlalu mepet," jawab Kak Dina dengan wajah yang sedikit lesu.

"Ya udah, ayo, Kak. Kak Tono bisa mengantar hari ini? Apa tidak sibuk?" tanyaku.

"Bisa, Nduk. Kalau gitu, yang putih nanti untuk akad dan walimah di tempat kita. Terus yang buatan Kakak dipakai ketika acara boyong manten, ya!" saran Kak Dina.

"Oke." Aku pun menuju kamar untuk berganti baju.

**

Aku, Kak Dina, Kak Tono dan Abidah berjalan memasuki sebuah mall. Pasutri dan satu anak itu berjalan ke deretan jilbab, sementara aku menuju deretan gamis berwarna putih.

Lumayan sulit mencari gamis berwarna putih. Kuperhatikan ruangan di sekeliling sebentar. Tadi saat masuk, kami sudah disambut dengan deretan baju anak, jilbab, sepatu, celana dan kaus dengan harga diskon. Di pinggiran ruangan, terdapat beberapa kamar pas serta beberapa cermin. Para karyawan mall sedang berjaga.

Aku menyimpan rapat-rapat uang dalam dompetku. Itu uang panaik yang kuambil sebagian kecilnya, karena memang keluarga menyuruh untuk membeli keperluan sendiri saat rapat setelah malam khitbah itu. Untuk uang walimah dan lain-lain, berasal dari uang Ibu dari tali asih orang-orang saat melayat dulu dan pasti ditambahi keluarga tanpa kuketahui. Maksudku, mereka membantuku dengan ikhlas, tanpa pamrih. Jika tanpa mereka, apalah aku dan Ibu yang hanya orang biasa ini, tak punya apa-apa selain hati dan iman.

Aku mencari dari ujung ruangan sampai ke ujung lagi, yang kucari tidak ada. Aku menghampiri Kak Dina.

"Belum ketemu, Kak. Jilbabnya sudah dapat?" tanyaku.

"Sudah." Kak Dina menunjukkan sebuah kantong plastik bertuliskan nama mall itu.

"Kita ke lantai atas, yuk!" ajakku.

"Iya, sekalian kita beli sepatu."

Kami menuju lantai dua. Aku memilih sepatu yang cocok untukku, lalu menitip pada Kak Dina yang sedang mencoba berbagai macam sepatu, untuk dibayarkan ke kasir.

"Ini uangnya, ya, Kak," kataku seraya menyerahkan beberapa lembar seratus ribuan.

Setelah Kak Dina menerimanya, aku segera menuju deretan gamis. Di lantai atas, pilihannya lebih kompleks lagi: baju orang dewasa, sepatu, sandal, kosmetik, perlengkapan bayi, kain, mukena, jilbab dan lain-lain. Namun, gamis yang kucari tidak ada.

Aku sengaja tidak menyewa gaun dan MUA ke salon, supaya bisa tetap salat Zuhur, sebab rencananya pagi setelah akad, walimah di gedung majelis--sebagai perwakilan rumahku, siang setelah Zuhur, langsung diboyong ke rumah Mas Bams untuk acara di sana. Jadi, aku ingin gamis yang simple supaya bisa tetap salat dan meminta adik ipar Kak Dina untuk mendandaniku dengan riasan sederhana dan syar'i--tanpa cukur alis, tanpa bulu mata palsu, tidak berbahan waterproof, tidak memakai cat kuku dan tidak menor. Dandan boleh saja, walaupun ditutupi cadar, khusus hari pernikahan saja. Itu pun tidak sembarangan dibuka jika ada lelaki non mahram.

Aku memutuskan untuk turun, karena di lantai atas tidak ada gamis yang kuinginkan, syar'i dan tetap elegan. Di lantai bawah, akhirnya aku menemukan gamis yang cukup mewah untuk acara pernikahan. Sepertinya tadi belum lihat.

"Mbak, tolong ambilkan gamis yang ini!" pintaku pada karyawan, karena gantungannya terlalu tinggi untuk kucapai.

Karyawan perempuan itu mengambilkannya. Aku segera masuk kamar pas untuk mencobanya. Lama aku mengamati bayanganku di cermin. Sebenarnya, kurang suka, tetapi waktu sudah mepet. Ya sudah, yang penting pantas untuk acara walimah.

"Yang ini, ya, Mbak," kataku pada karyawan setelah keluar.

"Kasir, ya, Mbak." Karyawan itu pergi meninggalkanku dengan gamis putih di tangannya.

**

Satu hari lagi, tiba waktu acara akad nikahku sekaligus walimahnya. Keluargaku sudah memastikan pesanan catering aman. Undangan juga telah disebar.

Hari ini kerja bakti bersama. Keluargaku yang laki-laki mendekor gedung kajian, sementara yang perempuan memasak untuk oleh-oleh yang nanti dihias sedemikian rupa, lalu dibawa ke tempat Mas Bams. Aku ikut membantu. Sore hari, semuanya selesai.

"Aku mau cek gedung dulu, boleh?" tanyaku pada Kak Dina.

"Iya, sana. Udah selesai semua persiapannya," jawab Kak Dina.

Aku menuju gedung kajian menggunakan sepeda kayuh. Dekorasi sudah selesai dan konsep acara sesuai syar'i, yakni ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan) dipisah dengan dibatasi kain sutrah.

**

Aku dan Mas Bams sepakat untuk ruangan tamu undangan dipisah antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, aku teringat sesuatu.

[Aku boleh minta sesuatu? Sebagai bentuk usaha kita mencari ridho Allah dan mendekatkan diri pada-Nya, seperti kata Pak Naib.

Kita sama-sama berusaha untuk berhenti chatting tidak penting sampai hari akad tiba. Anggap saja tirakat, supaya lebih dekat dengan Allah.] Isi pesanku.

[Alhamdulillaah terimakasih telah mengingatkan, mudah-mudahan Allah mengampuni kekhilafan kita berdua. Bismillaah tidak chatting kalau tidak perlu.] balas Mas Bams.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro