Bab 3. Siapa Lelaki yang Mengajakku Ta'aruf?
Cahaya mentari begitu terik, menembus jendela, masuk ke dalam rumah, memberikan penerangan pada mesin jahitku yang bersahut-sahutan dengan mesin milik Bapak. Suara radio di dapur untuk menemani ibu memasak terdengar sampai ruang depan. Bunyi bertalu-talu berasal dari aluminium yang ditempa menjadi peralatan memasak dari rumah para tetangga semakin memenuhi gendang telinga.
"Nduk², semenjak kamu mengubah penampilan dengan hijab syar'i sebenarnya ada yang berniat mengajakmu ta'aruf, yakni perkenalan sebagai usaha menuju pernikahan," ucap Bapak di sela-sela kesibukan kami menjahit.
Aku bekerja sebagai penjahit, membantu bapak menyelesaikan jahitan.
"Beneran, Pak?" tanyaku tak percaya.
"Iya."
Aku menghentikan pekerjaanku, "Siapa namanya?"
"Ya pokoknya ada," jawab Bapak.
"Terus gimana, Pak?" Aku menoleh ke arah beliau.
"Udah Bapak tolak. Bapak belum mengijinkan kamu untuk menikah, karena masih butuh bantuanmu untuk menyelesaikan jahitan pelanggan," jawab Beliau.
Aku menunggu kelanjutannya.
"Bapak sudah tua, semenjak kakakmu menikah, jadi kewalahan dalam bekerja. Jadi, mengertilah." Jawaban beliau membuatku terdiam.
Beberapa jam kemudian, waktu 'Asar telah tiba. Muazin (orang yang mengumandangkan azan) sudah ada gilirannya sendiri. Bapakku mendapatkan jatah azan untuk Salat 'Asar. Beliau menghentikan pekerjaan, lalu beranjak mengambil air wudu.
Rasa lelah mulai menghinggapi. Aku pun beranjak dari mesin jahit dan duduk di ruang tamu, mengambil ponsel dan membukanya. Siapa, ya, laki-laki yang mengajakku ta'aruf?
"Assalaamu'alaikum," salam bapak yang sudah rapi dengan baju lengan panjang, sarung dan peci, seraya melangkah keluar.
"Wa'alaikumussalaam."
Tak berapa lama, azan khas suara bapak menggema di seantero desa. Aku menjawab satu per satu kalimat azan yang berkumandang.
"Nduk, yang salat Ibu dulu, atau kamu dulu?" tanya Ibu dari dapur yang sedang menyalakan api tungku.
"Bareng aja, Bu. Api tungkunya nanti bisa dinyalakan lagi, kok," ucapku sembari meletakkan ponsel di laci mesin jahit lalu beranjak ke dapur.
Kami bergantian mengambil air wudu, lalu salat berjamaah.
**
Ketua Cabang kajian, Pak Seno, memintaku untuk mengajar TPA yang waktu itu baru pertama kali dirintis. Hari TPA disamakan dengan waktu kajian bapak-bapak dan ibu-ibu, yakni hari Sabtu. Tujuannya supaya ketika orang tua mendengarkan tausiyah dari Ustaz, sementara anak-anak mereka sibuk mengaji juga, sehingga tidak bermain dan mengganggu peserta kajian seperti biasanya. Alhamdulillaah, Allah memberi kesempatan untuk berdakwah, walaupun pakaianku yang paling berbeda dari peserta kajian putri yang lain.
"Mbak, tolong diisi mengenai materi baca-tulis Alquran, ya! Tadi sudah saya beri sambutan, bahwa ini TPA perdana kita," ucap Pak Seno di depan pintu ruang TPA, lalu melenggang pergi menuju ruang kajian.
"Baik, Pak," ucapku, lalu melangkah masuk ke ruang TPA.
Jantungku berdebar ketika pertama kali berhadapan dengan anak-anak TPA, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
"Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh." Akhirnya kalimat itu meluncur juga dari mulutku yang tertutup cadar, gugup sekali.
Ruang TPA ini memang sempit. Sudah ada sebuah papan berwarna putih yang sering disebut white board, spidol warna hitam dan penghapus. Pak Seno menggelar karpet sebagai ganti kursi karena belum ada, sehingga kami duduk lesehan. Ada empat meja panjang yang dijajar depan-belakang, dua buah meja di sisi kanan, sementara yang lainnya di sisi kiri. Semoga kelak bisa membeli peralatan belajar-mengajar yang lebih layak.
Aku meletakkan buku absen di meja di depanku.
"Wa'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh," jawab mereka kompak.
Aku mengabsen nama mereka satu per satu, sembari berusaha menghafalkannya, walaupun sulit. Setelah itu, kami berdoa bersama.
"Hari ini, kita buat struktur pengurus kelas TPA dulu, ya?" pintaku.
"Iya, Ustazah," jawab mereka.
Aku membuka buku tulis milikku, lalu menyobek 2 lembar kertas. Aku menuliskan struktur pengurus kelas secara sederhana di buku tulis, seperti; ketua, sekertaris, bendahara dan tugas piket untuk setiap pertemuan TPA.
"Yang pertama, dari urutan paling bawah, sekretaris. Ada yang mau sukarela mencalonkan diri, atau ada teman yang ditunjuk menjadi sekretaris?" tanyaku.
"Leli, Ustazah!" seru mereka kompak.
"Tulisannya bagus, Us!" ucap salah seorang santriwati.
Anak perempuan bernama Leli itu hanya diam. Kedua sudut bibirnya terangkat penuh percaya diri.
"Baik, Leli mau jadi sekretaris?" tanyaku.
Leli mengangguk. Aku pun menuliskan namanya di urutan baris Sekretaris di buku tulis.
"Bendahara, ada yang mau sukarela?" tanyaku lagi.
"Saya, Us!" Salah seorang santriwati mengangkat telunjuknya saat semua anak diam.
Aku tersenyum, dia pasti pemberani. "Namanya? Maaf, saya belum hapal hehe."
"Diana, Us."
Aku menuliskan namanya di urutan baris Bendahara.
"Siapa yang akan ditunjuk menjadi calon Ketua Kelas?" tanyaku.
Mereka tampak berpikir dan berunding.
"Azril!" Suara teriakan dari baris meja sebelah kanan.
"Farid!" Terdengar teriakan yang lain di meja sebelah kiri, tak mau kalah.
"Baik, kalian sudah menentukan kandidat atau calon ketua kelas, Azril dan Farid," ucapku sembari menuliskan dua nama itu di white board.
"Sekarang, sobek kertas kecil dari buku tulis milik kalian! Kecil saja. Tuliskan nama ketua kelas yang kalian pilih," perintahku, yang langsung dituruti anak-anak TPA.
Setelah beberapa menit, mereka selesai. Aku menyuruh mereka menggulung kertas itu, lalu diserahkan padaku.
"Karena kita sudah punya sekretaris, yaitu Mbak Leli, silakan maju ke depan," pintaku.
Leli maju, lalu kuberikan spidol hitam padanya.
"Nanti, setiap saya bacakan namanya, tuliskan satu garis pendek, mirip huruf L, atau angka Romawi, jika ada yang terpilih di antara Azril dan Farid, ya. Saya contohkan dulu." Aku membuka salah satu gulungan kertas kecil.
Aku berbicara agak keras. "Azril!"
Semua mata memandang ke arah papan putih. Aku menulis angka Romawi 1 di urutan nama Azril.
"Oh, iya. Paham, Us." Leli tersenyum senang.
Aku menyebutkan nama pilihan anak-anak di dalam gulungan kertas, satu per satu, sampai habis. Leli menuliskan angka Romawi yang menunjukkan jumlah pilihan di nama Azril dan Farid. Akhirnya terpilih nama Azril.
"Terima kasih, Leli. Silakan duduk," ucapku, sehingga Leli kembali ke tempat duduknya. "Baik, ketua kelas yang terpilih adalah Azril, sekretarisnya Leli dan bendahara Diana."
Mereka mangut-mangut sembari tersenyum, lalu berbisik-bisik pada teman mereka yang terpilih.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam pulang, orang tua mereka dan para peserta kajian sudah berhamburan keluar menuju tempat parkir.
Usai menutup pertemuan TPA perdana dengan doa dan salam, anak-anak berhamburan keluar setelah menyalami dan mencium tanganku. Aku ikut pulang.
Saat di tempat parkir, aku melihat Mas Bams. Apa dia yang dimaksud Bapak?
Sampai di rumah, aku masih memikirkan, sebenarnya siapa lelaki yang mengajakku ta'aruf?
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro