Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 29. Titik Terang Penuh Haru

Mentari belum muncul, langit berwarna biru keabuan karena mendung sisa hujan semalam, embun masih membasahi dedaunan. Jalanan lengang. Mungkin orang-orang sedang bersiap-siap kerja, mencuci baju, atau hendak mengantarkan anak sekolah, atau sedang memasak di dapur.

Aku menyapu daun pohon seri kering yang berserakan di halaman, sambil sesekali menghirup udara segar untuk menetralkan pikiran yang akhir-akhir ini pusing sekali. Aku sudah pasrah, jika memang harus diundur dari tanggal pernikahan yang seharusnya, malas untuk minta-minta KK pada Paman, seolah diri ini tak punya hak untuk mencapai kebahagiaan.

Kak Dina dan Ibu sedang bekerja sama, mencuci baju di kamar mandi. Abidah masih terlelap. Sepuluh menit kemudian, kegiatan menyapu selesai, aku mencuci tangan dengan mengambil air di gentong yang berada di dapur.

"Hari ini jahit gak, Kak?" tanyaku.

"Iya, tetep. Pelanggan jahitannya Bapak sudah ambil semua. Waktunya jahit seragam yang langganan di tempat Kakak. Mereka sudah komplain, kasihan menunggu soalnya mau dipakai sekolah," jawab Kak Dina.

Aku paham, Kak Dina memang pekerja keras. Di sela-sela membantu rencana pernikahanku, masih sibuk menjahit karena dia memang profesional. Hasilnya juga untuk kebutuhan keluarganya, kakakku itu memang tak pernah menghamburkan uang sejak dulu. Hampir tak punya kesenangan untuk diri sendiri, semisal belanja baju atau tas baru. Dulu, beli gawai pun, Bapak yang memaksanya untuk bisa tetap berkomunikasi. Apakah anak pertama selalu seperti itu, rela berkorban sampai melupakan diri sendiri? Kupikir iya. Aku sayang Kakak yang selalu ingin membahagiakanku, ucapku dalam hati.

"Sudah lengkap alat jahitnya, Kak?" tanyaku lagi, seraya membuat segelas teh manis hangat.

Kak Dina yang sedang memilin baju, menghentikan pekerjaannya, seperti sedang berpikir. "Kamu istirahat dulu aja, mau beli kain furing, tetapi tokonya belum buka. Nanti bantuin pekerjaan yang banyak, jadi persiapkan tenagamu untuk nanti!"

Aku mengangguk mantap, lalu berjalan ke ruang tamu dengan segelas teh di tangan, lalu duduk di sofa dan menyesapnya sesekali. Teringat masalah perwalian, aku ingin curhat pada Mas Bams via chat.

[Mas, jujur. Saat ini saya sedang pusing dan hanya bisa pasrah kepada Allah.] Aku menyematkan emoticon menangis dalam pesanku pada Mas Bams.

Setelah menunggu beberapa menit, Mas Bams membalas, [Maaf, Mbak. Maksudnya kalimat pusing itu gimana?]

[Apa tadi malam atau kemarin, jenengan belum punya firasat apa-apa?] tanyaku.

[Firasat apa, Mbak? Jangan membuatku khawatir.] jawab Mas Bams.

[Ya udah, cuma tanya. Husnuzan saja, insyaaAllaah lancar.
Jenengan tenang saja, ya.] Entah, aku belum bisa jujur dan justru memintanya tenang.

[Apakah ini teguran dari Allah atas dosa-dosa saya di masa lalu?] Lagi, kusertakan emotikon menangis.

[Mbak, ada masalah apa sebenarnya? Seolah kamu sedang menyesal dan sedih.]

[Bukan dari pihak keluarga jenengan. Namun, dari pihak kami.] balasku.

[Jangan dipendam sendiri.] pinta Mas Bams.

Aku menenangkan pikiran. [Maaf, pesan dari Mbah Syahid, saya disuruh merahasiakannya dulu.

O ya, mau tanya, apakah aku harus bekerja atau tidak, jika sudah berumah tangga nanti?]

Terbesit pertanyaan itu dalam benakku.

Mas Bams membalas dengan bijak, [Aku tidak ingin mengekang istriku. Jika itu kemauannya sendiri, kupersilakan selama bisa diarahkan, menurut dan tetap berbakti pada suami. Kalau masalah nafkah, itu kewajibanku sebagai suami.]

Kedua sudut bibirku terangkat ke atas saat membacanya.

[Baik, kita lihat saja nanti. Itu dipikir belakangan.]

[Rencana ke depan, kamu mau tinggal di rumahmu atau di desa Dukuh (rumahku)? Ini sebenarnya rumah orang tuaku, tetapi aku ikut membangunnya. Jadi, kita punya hak untuk tinggal di sini.] Rupanya Mas Bams membahas hal yang urgen.

Aku menanyakan detail jawabannya pada Ibu dan Kak Dina dengan berjalan ke dapur.

[Saya nurut jenengan. Namun, saya juga kasihan sama Ibu, karena keluarganya Kak Dina punya harapan dia pulang/tinggal di rumah Kak Tono, kakak iparku.] balasku, mengikuti saran Ibu dan Kakak.

[Kalau harapanmu sendiri, dari hati yang paling dalam?] tanya Mas Bams lagi.

[Di sini, sih. Kalau jenengan gimana?]

[Kalau saya insyaaAllaah memahami kondisimu, ya aku akan mengalah saja. Namun, tempat bekerjanya tetap di rumahku di Dukuh, ya.] balas Mas Bams.

Aku ragu dengan jawaban beliau. [Jenengan ikhlas beneran? Bukankah semua istri itu menurut pada suami? Saya ikut jenengan saja.

Kalau di sini dibuatin tempat kerja untuk pandai aluminium, apa jenengan bersedia?] tanyaku balik, sesuai ucapan Kak Dina.

[Aku gak pengen egois.

Kalau tempat kerja, aku belum bisa. Selain itu, aku masih berkaitan menjadi takmir masjid. Harapanku malah, aku mengajakmu dan Ibu untuk tinggal bersama-sama di sini. Tidak merepotkan, justru Babe dan Simbok yang menyuruh. Untuk bangunan, nanti bisa direnovasi lagi.] balas Mas Bams.

[Nanti rumahku sepi, sayang sekali. Ini satu-satunya peninggalan almarhum Bapak.] balasku, sedih.

[Ya sudah, nanti kita bahas kalau sudah nikah saja, ya.]

Kami mengakhiri chatting. Aku lanjut menjahit, karena Kak Dina sudah selesai mencuci.

**

Keesokan harinya, Bude tiba-tiba muncul dari balik pintu depan.

"Assalaamu'alaikum." Beliau langsung memelukku dan Kak Dina secara bergantian.

Bude duduk di tikar. Kami ikut duduk di hadapan beliau.

"Alhamdulillaah, Nok³³. Akhirnya hati Pamanmu luluh juga." Bude menitikkan air mata.

Kami diam mendengarkan kelanjutannya.

"Tadi pagi, aku telepon Paman, 'Mengapa kamu tidak memberikan KK ke Alia. Bukankah itu sangat dibutuhkan?' Jawabnya, Paman dan Bibi masih teringat almarhum kakaknya, Bapak kalian. Katanya masih terlalu dekat, belum bisa mengizinkanmu menikah. Bude tanya lagi, 'Kalau memang kalian kasihan sama almarhum adik iparku, seharusnya kalian permudah urusan Alia. Jika dia bahagia, bapaknya di sana insyaaAllaah juga bahagia. Jangan membuatnya sedih, biar yang di alam sana tenang.' Akhirnya setelah itu, Paman menyadari kesalahannya dan berjanji akan menyerahkan KK itu sendiri ke petugas KUA," jelas Bude.

Tanpa sadar, aku ikut menitikkan air mata. Kami berpelukan dalam tangis haru. Bude pun bercerita bahwa kemarin tak habis pikir bahwa Paman akan bersikap seperti itu, sambil terus menangis.

"Apa mungkin karen bulan Suro, ya, Bude? Orang Jawa, kan, masih berkeyakinan itu bulan keramat. Kalau mengadakan pernikahan, nanti tidak selamat," tebak Kak Dina, berusaha mencairkan suasana.

"Entah. Yang penting sekarang, kita semua sudah menemukan jalan keluar. Bude pamit dulu. Urusan KUA sudah selesai. Berarti urusan catering, undangan dan lain-lain bisa dilanjut, ya, Nok?" Bude berdiri, lalu mengucap salam.

"Maturnuwun banget, ya, Bude," ucapku, lalu menjawab salam beliau.

Begitu juga Kak Dina.

**
Catatan kaki:
33. Nok: sama seperti Nduk, panggilan untuk seorang anak perempuan dalam bahasa Jawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro