Bab 28. Beratnya Hambatan Pernikahan
"Assalaamu'alaikum, Bude," salam Kak Dini di telepon.
( .... )
"Paman masih belum memberikan Kartu Keluarga. Bagaimana, ya, Bude?" tanya Kak Dina, yang kemudian menyalakan loud speaker.
"Ya Allah. Kita rapat keluarga di rumah Mbah Syahid, bagaimana? Siang ini jam 1 nan," ucap Bude di sela-sela isakan kecil.
Kak Dina pun menyetujui, lalu menutup telepon.
Azan Zuhur berkumandang. Aku segera mengambil air wudu, lalu melaksanakan salat empat rakaat. Sejak aku menyadari sepertinya Paman sengaja tak memberikan KK, aku selalu berdoa kepada Allah.
"Ya Allah, berikanlah pertolongan-Mu untuk bisa menyelesaikan masalah Paman yang tidak mau memberikan KK. Ada apa sebenarnya? Berikan petunjuk-Mu, Ya Rabb," doaku, diiringi air mata yang meluruh satu per satu.
Mengapa ada hambatan saat aku ingin menempuh jalan yang halal? Kemarin, kebingungan memilih calon pria pendamping telah membuatku cukup pusing dan hatiku gelisah. Kini, mengapa hal itu terulang kembali? Dada sesak merasakan ini semua.
Setelah aku, Kak Dina dan Ibu selesai makan siang, kami bertiga datang ke rumah Mbah Syahid. Abidah ikut, lalu diarahkan kakak untuk bermain dengan cucu Mbah Syahid yang ada di rumah. Bude dan Bibi sudah duduk di sofa.
"Bagaimana ini, apakah Pamanmu itu memang sengaja gak mau ngasih, atau benar-benar hilang?" tanya Mbah Syahid, memulai rapat.
"Enggak tahu, katanya hilang," jawabku.
"Kalau begini caranya, semua acara yang sudah disusun bisa berubah. Catering, tanggal pinjam gedung kajian dan tanggal undangan, apa mau diubah?" tanya Bude.
Kami sebelumnya sudah sepakat untuk memesan makanan dengan jasa catering supaya tidak kerepotan, meminjam gedung majelis kajian--karena gratis dan kami juga warga mengaji, jadi boleh--, undangan juga sudah tinggal dicetak. Keluargaku membantu semua rencana itu. Alhamdulillaah. Namun, apa jadinya jika tak ada wali? Pupus sudah harapanku.
Bibi memberi usulan. "Kalau telepon Pakde, bisa gak, sih, Mbak? Andai Pakde bisa pulang, pasti kita tidak akan pusing."
"Aku akan mencoba menghubungi pengurus komunitas dakwahnya beliau, sebab HP-nya seringkali tidak aktif, agar lebih fokus berdakwah. Terakhir aku hubungi, baru sampai di Kalimantan," jelas Bude, membuatku kecewa.
Kami saling bertukar pendapat, tetapi belum juga menemukan solusi. Sekitar setengah jam rapat, lalu kami pulang. Kesepakatan terakhir adalah menunggu kabar dari pengurus komunitas dakwahnya Pakde, apakah diperbolehkan pulang atau tidak. Mbah Syahid juga menyuruhku untuk tetap mencoba meminta KK pada Paman, serta berdoa kepada Allah agar diberi jalan keluar.
**
Alarm ponselku berbunyi, segera kumatikan, khawatir jika sampai membangunkan Abidah yang tertidur pulas di tengah-tengah aku dan Kak Dina. Ibu juga tidur nyenyak.
Tanpa menunggu lama, aku segera mengambil air wudu dan melaksanakan Salat Sunnah Tahajjud dua rakaat. Malam-malam sebelumnya, kalau menunggu nanti, aku malah jadi ketiduran.
Sudah berhari-hari hatiku gelisah, kepalaku pusing tak henti-henti setiap mata terbuka. Berulang kali rapat keluarga, belum ada jalan keluar.
Aku mengangkat kedua tangan, memasrahkan semua kepada Allah, agar perasaanku tenang. Di waktu ijabah, mengadukan segala hal dan meminta apapun yang kita mau--memohon diampuni dosanya, meminta rezeki yang berkah, meminta jodoh, dll.--adalah hal yang tepat, sebab Allah turun ke langit dunia, entah secara tersirat ataupun tersurat.
"Ya Allah, berikanlah petunjuk-Mu, apa yang harus kulakukan? Kami sudah mengusahakan semaksimalnya menuju jalan yang halal. Namun, mengapa harus ada hambatan? Bukakanlah hati Paman untuk memberikan KK, atau mudahkanlah Bude menghubungi Pakde agar diperbolehkan pulang dan menjadi wali nikah--walau sebentar, setelah itu kembali berangkat untuk dakwah--hal itu sudah sangat membahagiakan saya. Sesulit inikah, jalan menuju menikah tanpa adanya Bapak?
Lapangkanlah dan terangkanlah alam kubur Bapak dengan cahaya-Mu, ampunilah dosa Bapak, ringankanlah hisab beliau, masukkanlah beliau ke surga, serta pertemukanlah kami di surga nanti. Aamiin."
Air mataku mengalir. Biarlah aku merasakan emosi yang ada, menumpahkan rasa sedih yang membuncah, agar tak mengganjal di hati lagi. Aku semakin sesenggukan, lalu kugigit sebagian ujung kain mukena, agar tak didengar oleh Ibu atau Kak Dina. Pasti mereka berdua lelah karena seharian telah membantu segala keperluanku yang akan menikah.
**
Pagi ini, aku gelisah lagi, sebab Paman belum juga memberikan Kartu Keluarga miliknya. Saat aku balik lagi, Bibi juga tak berinisiatif mencarikannya untukku, ketika Paman sedang pergi keluar.
Aku berniat ingin mengungkapkan masalah ini pada Mas Bams.
[Saya minta doanya di sepertiga malam jenengan, semoga diberi kelancaran dan kemudahan sampai hari H.] pesanku pada beliau.
Beliau membalas, [Ya, insyaaAllaah aamiin.]
Aku mengembuskan napas panjang, lalu mengirim balasan lagi. [Hanya bisa tawakkal kepada Allah]
[Iya, benar sekali.] balas Mas Bams.
[Saya minta tolong, saat ini sangat butuh doa dari orang-orang salih dan ibunya jenengan. Minta tolong, bilang pada mereka, supaya diberi kemudahan dan kelancaran. Saat ini saya sedang pusing dan hanya bisa pasrah kepada Allah.
Seumpama jenengan punya kenalan Ustaz, atau teman salih dan salehah, minta tolong, ya. Saya sangat butuh doa mereka, tetapi bukan undangan resmi. Intinya hanya minta doa.] balasku seraya menyematkan emotikon tangan ditangkupkan kepada Mas Bams.
[Boleh tahu masalah apa? Semoga lekas ada jalan keluar.] balas Mas Bams.
[Tidak ada apa-apa, hanya minta doa.]
[Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'aha.] Mas Bams mengetikkan bunyi ayat yang berarti, 'Allah tidak akan menguji seorang hamba, di luar kesanggupannya'.
[Aamiin yaa Allaah.] Aku mengamini.
[Aku khawatir sekali.] pesan Mas Bams, yang tak kubalas.
Aku harus meminta izin pada Mbah Syahid jika ingin mengutarakan masalah ini, berharap ada jalan keluar tanpa mengusik rencana awal keluarga masing-masing.
Benar dugaanku, siang hari saat kami rapat keluarga lagi, diputuskan bersama bahwa tak akan memberi tahu pihak keluarga Mas Bams dulu, sebelum benar-benar ditemukan titik terang dari masalah perwalian. Pakde masih tetap belum bisa dihubungi, padahal beliau adalah harapan terakhir. Menghitung mundur, tanggal pernikahanku tinggal tiga pekan lagi.
"Yang sabar, ya, semuanya. Kita tahu sifat Pamannya Alia itu, berpikiran agak kolot, tak seluas wawasan kita bahwa dia itu kunci dari rencana pernikahan Alia dan Bams. Aku juga tak habis pikir, apa yang ada di pikirannya. Apa karena bulan Suro, ya?" tanya Mbah Syahid.
Bibi menjawab, "Entah, Mbah. Dari dulu kalau urusan KK, memang selalu begitu."
"Kita menyadari, setiap merencanakan sebuah pernikahan, pasti akan selalu ada hambatan. Entah apapun bentuknya," ucap Mbah Syahid, yang kemudian menceritakan kisah-kisah hambatan rencana menikah dari saudara-saudara kami, dulu.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro