Bab 26. Perjuangan Mendapatkan Buku Nikah
Beberapa hari kemudian, aku menanyakan syarat menikah sah secara Negara di kelurahan setempat. Aku berjalan bersama Ibu dan Abidah, membawa KK dan KTP.
"Ini syarat dari calon pengantin pria sudah lengkap?" tanya Pak Lurah, yang kebetulan ada, dan menghampiri petugas kelurahan.
Petugas Kelurahan itu menoleh ke arahku.
"Dereng, Pak," jawabku.
Beliau memberikan fotokopi berisi daftar persyaratan menikah di KUA, padaku. Ternyata masih banyak, termasuk tes kesehatan--mungkin maksudnya tes urin--dan suntik TT (Tetanus Toksoid) di Puskesmas, serta pas foto 3×4 dan 2×3 cm.
"Mbak kenal Pak Susilo, kan?" tanya Pak Lurah.
"Iya," jawabku.
"Silakan kumpulkan semua persyaratan ini, lalu diserahkan ke Pak Susilo. Kalau ada yang kurang, biar dikasih tahu. Beliau lebih paham dan insyaaAllaah nanti terima beres," saran beliau sembari menyerahkan sebuah surat pengantar dari kelurahan disertai cap asli, untuk dibawa ke Puskesmas.
Terima beres maksud Pak Lurah adalah semua urusan beres di tangan Pak Susilo, petugas KUA yang biasa membantu calon pengantin mengurusi surat-menyurat mendapatkan Buku Nikah. Nanti setelah acara pernikahan selesai, kami memberikan upah yang layak untuk beliau. Itu sangat membantuku yang serba terbatas karena tak bisa mengendarai motor.
Aku pun berterimakasih dan pamit seraya membawa dua kertas itu.
Sampai di rumah, Kak Dina menyuruhku segera ke Puskesmas untuk tes kesehatan, sehingga hasilnya bisa langsung diserahkan kepada Pak Susilo. Sekalian mencetak pas foto wajah tanpa cadar--yang kebetulan sudah ada di ponsel--di studio foto. Aku paham dan setuju, mengingat pernikahanku tinggal sebulan lagi.
Aku minum sebentar, Ibu juga. Aku mengajak Ibu naik bus ke Puskesmas, karena perempuan muslimah jika pergi harus bersama mahram--yang seharusnya lelaki--tetapi ini terpaksa. Sebenarnya ingin menelepon Kak Tono, tetapi beliau sibuk. Kak Dina pun jahitannya masih banyak. Jadi teringat almarhum Bapak.
"O iya! Ibu mau beli kebaya buat pernikahanmu nanti di pasar, biar tidak malas juga mengantarmu," ucap Ibu.
Aku tersenyum senang karena ide Ibu bagus juga, sama-sama beruntung.
Dengan naik bus, kami sampai di Puskesmas, tidak banyak mengantri, sehingga bisa langsung menjalani tes kesehatan: mulai dari tes urin, tes darah dan suntik TT. Ternyata tes darah juga? batinku kaget.
Setelah selesai diambil sampelnya, aku duduk di samping Ibu di ruang tunggu.
"Sini sakit, sini kesemutan, Bu!" ucapku seraya menunjuk lengan kanan bagian dalam tempat mengambil sampel darah, lalu menunjuk pundak kiri tempat tadi disuntik.
"Owalah, sabar, ya, Nduk."
Perjuangan masih belum berakhir. Ini adalah awal dari semuanya. Setelah menunggu selama setengah jam, akhirnya hasil tesku keluar juga dan petugas laboratorium menyerahkannya padaku. Kami pun diperbolehkan pulang.
Saat menunggu bus di pinggir jalan untuk menuju ke pasar, aku memotret kertas hasil tes kesehatan itu dengan berlatar gedung Puskesmas, dan mengunggahnya ke sosial media sebagai kenang-kenangan.
**
Pagi itu, Kak Dina menyuruhku mengunjungi rumah Pak Susilo.
"Cepetan, Nduk, ke rumah Pak Susilo mumpung masih pagi. Nanti kalau siangan, beliau udah berangkat ke KUA," ucap Kak Dina.
Masih sepagi ini, baru berapa jam dari Salat Subuh, belum cuci muka dan gosok gigi. Aku juga belum meminum teh untuk melegakan tenggorokan yang haus setiap setelah bangun tidur. Aku duduk sembari membuka ponsel, malas menuruti perintahnya.
"Nduk, pakai sepeda, buruan!" Kak Dina mulai kesal.
"Iya, iya! Tapi, kan, aku gak tahu rumahnya!"
Sebenarnya aku ragu, perutku masih lapar. Aku memang biasa bersepeda. Namun, jarak yang jauh dan medan yang lumayan naik untuk menuju daerah tempat tinggal Pak Susilo, membuatku enggan ke sana. Aku berpikir dua kali untuk hal itu. Mampu tidak, ya?
"Ya nanti tanya-tanya orang. Katanya deket, patokannya pertigaan, ke barat, rumahnya di kanan jalan," kata Kak Dina yang mulai menjahit.
Andai Kak Tono datang dengan mobil pick up-nya, pasti aku sudah diantar! Walaupun bukan mahram, setidaknya membantuku semampu dia, batinku sembari memakai cadar dan kaos kaki.
Aku segera mengayuh sepeda setelah mengucap salam pada Kak Dina. Setelah bersepeda cukup jauh, sesekali aku menyeka kening yang berkeringat, seraya berhenti, mengambil napas sebentar. Jalanan sepi. Mungkin karena ini hari Jum'at, sehingga ada beberapa sekolah syar'i yang libur. Kulihat jalanan di depanku bertambah menanjak.
"Bismillaahirrahmaanirrahiim," doaku lirih.
Kupikir, memang inilah perjuangan menuju halal. Inilah jalan yang harus kutempuh. Meski berat, tetap kukayuh sepedaku. Sesekali berhenti, lalu lanjut lagi. Panas terik, berkeringat dan rasa lapar bukanlah hal yang harus dihiraukan saat ini.
Aku bertanya letak rumah Pak Susilo pada seseorang yang sedang memberi makan pada burung di sebuah teras rumah.
"Ada di gang sebelah selatannya gang ini, jadi lurus aja ke sana," jawab beliau.
Setelah mengucapkan terimakasih, aku terus bersepeda menuju gang yang orang itu maksud. Tiba-tiba, aku mual sampai tak tahan lagi, dan aku muntah air putih sedikit.
Kujauhkan cadar agar tidak terkena muntahan, tetapi jilbabku tetap basah. Ya Allah, seberat inikah perjuangan mendapatkan buku nikah? kataku dalam hati.
Kebetulan ada sebuah masjid. Aku memarkirkan sepeda di halaman masjid, lalu menuju kamar mandi untuk sekadar membersihkan jilbab dengan air bersih. Aman, tak ada orang di waktu Duha seperti ini. Jadi tak perlu menahan malu.
[Kak, aku istirahat di serambi masjid sebentar. Aku muntah, karena mual belum sarapan. Rumahnya belum ketemu. Tepatnya dimana, sih?] Isi pesanku pada Kak Dina.
Dengan keadaan hati yang dongkol, aku duduk sembari mengeringkan jilbab dan menunggu balasan dari Kak Dina. Centang satu. Percuma, kuhapus pesan itu. Anggap saja ini baru perjuangan awal sebelum menikah, yakin bahwa ujian kehidupan rumah tangga nanti akan jauh lebih berat.
Aku bertanya pada seorang penduduk desa, akhirnya aku menemukan rumah Pak Susilo.
"Bismillaah."
Kuparkirkan sepedaku di halaman rumah itu, lalu mengetuk pintu dan mengucap salam. Sudah kuulang tiga kali, tetapi belum ada jawaban.
Bagaimana kalau orangnya tidak ada di rumah? Namun, ada suara orang bicara di dalam, lebih baik kutunggu saja di sini, pikirku seraya duduk di sebuah bangku kecil di teras.
Ada seorang ibu yang keluar, rupanya beliau istri Pak Susilo yang bertanya mencari siapa.
Aku mengatakan maksud kedatanganku. Beliau menyuruhku menunggu di teras karena Pak Susilo sedang ada acara di luar, tetapi sebentar lagi pulang. Beliau masuk rumah lagi. Daripada jenuh menunggu, aku membuat sebuah status di sosial media. Mungkin kelak aku akan mengenang perjuanganku ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro