Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 23. Alia: Kebahagiaan Terindah

Malam itu, akhirnya aku mendapat kabar yang sudah beberapa hari kunanti, begitu pula Kak Dina.

"Nduk, Bude telepon Kakak, katanya Mas Bams mau ke sini," ucap Kak Dina yang baru masuk ke rumah, karena tadi mencari sinyal internet untuk menerima telepon di aplikasi WhatsApp.

Jantungku berdebar hebat. Apakah kami akan dita'arufkan? Atau nadzor di rumah ini? Namun, tak ada lelaki di sini. Bagaimana, ya. Hmm. Tak ada mahram!

"Beneran, Mbak?" tanyaku tak percaya.

Kak Dina mengangguk yakin.

"Terus kita harus gimana?" tanyaku panik.

"Kita bersih-bersih ruang tamu dulu. Duh, gak punya cemilan lagi," ucap Kak Dina, terburu-buru membersihkan ruang tamu.

Aku ikut kebingungan, menata tikar kecil milik kami, menyingkirkan barang-barang yang terlihat berantakan. Aku berjalan mondar-mandir dengan membawa alat jahit; kertas pola, kain potongan, baju, celana, penggaris, dll. Kemudian meletakkannya dengan rapi. Panik sekali.

Beberapa saat kemudian Kak Dina mendapat telepon dari Bude, diangkat dengan panik, lalu keluar lagi untuk mencari sinyal internet.

Belum sempat aku bertanya, ada apa, Kak Dina sudah menghilang dari pandangan.

Beberapa menit kemudian, Kakak datang dan menerangkan bahwa Bude menyuruhnya untuk pergi ke masjid, memberi tahu Pakde--suami Bude--sebagai salah satu waliku juga, bahwa Mas Bams akan datang ke rumah.

Namun, baru setengah perjalanan, dia ditelepon lagi bahwa Pakde sudah sampai di rumah Mbah Syahid, adik kakekku.

Kakakku itu memang selalu terburu-buru, kurang slow sedikit. Kadang memang bagus memiliki sikap serba cepat, tetapi jadi kurang bisa berpikir jernih. Apapun itu, beliau tetap kakak terbaik bagiku.

"Jadinya ke tempat Mbah Syahid, Mbak?" tanyaku.

Kak Dina masih menatap layar ponselnya. "Iya, Mbah Syahid memberi pesan kalau Kakak harus ke rumah beliau."

Aku sedikit lega, sebab tak usah menata ruangan yang memang tidak bisa untuk menjadi sangat rapi. Maklum, penjahit.

"Terus aku gimana?" tanyaku.

"Kamu di sini aja. Mas Bams dan seorang perwakilan dari Desa Dukuh sudah datang. Nanti kalau ada apa-apa, Kakak chat. Oke?" kata Kak Dina.

"Iya, deh." Aku mencebik kesal, sekaligus heran.

Bukannya Mas Bams mau ta'aruf denganku, mengapa yang disuruh menemuinya itu Kakak. Mungkin untuk perwakilan dari pihak keluarga inti. Entahlah. Aku menebak-nebak sendiri dalam hati.

Jantungku berdetak kencang. Aku menatap layar ponsel dengan cemas, berharap ada pesan dari Kak Dina yang menyuruhku ke sana. Atau paling tidak, ada kabar yang menjawab penasaranku. Sebenarnya ada apa ini, lalu bagaimana dengan nadzor-nya? Kulihat Ibu sedang duduk, menemani Abidah bermain.

"Ada apa, to, Nduk?" tanya Ibu.

"Mas Bams sudah di rumah Mbah Syahid, Bu. Aku deg-degan sekaligus senang. Bingung juga tapi, berharap aku juga disuruh ke sana," jawabku.

"Ya udah, kamu ke sana aja," kata Ibu sekenanya.

Masalahnya tidak sesederhana itu, Bu. Harus ada perintah dari Mbah Syahid atau Pakde. Aku hanya mampu membatin.

Tak sabar dengan apa yang sebenarnya terjadi, aku memutuskan keluar lalu berjalan menuju rumah Mbah Syahid yang letaknya tidak jauh dari rumahku.

Hatiku berdebar hebat saat melihat dua motor, salah satunya jenis matic milik Mas Bams, terparkir di halaman rumah Mbah Syahid. Aku tahu itu motor Mas Bams karena sering dipakai untuk berangkat kajian. Maafkan aku, Mas. Dulu pernah membatin tak suka pada motor bututmu. Bukankah harta itu bisa dicari? Maaf, kini diri ini yang mengharapkanmu.

Aku mengintip dari balik tirai bambu di teras rumah Mbah Syahid. Sebenarnya pintunya yang berada di tengah itu terbuka lebar, tetapi aku tidak bisa melihat siapa yang ada di dalam ruang tamu, sebab sofanya diletakkan agak mepet ke sisi kanan ruangan. Jantungku berdetak kencang.

Aku masuk rumah tidak, ya? Namun, kata Kak Dina tadi aku disuruh di rumah saja. Apa memang aku dan Mas Bams tidak boleh saling bertemu--menurut agama--tetapi kami belum nadzor. Apakah proses membuka cadar di hadapan Mas Bams akan dilaksanakan besok atau lusa, bukan malam ini?

Bimbang, akhirnya aku pulang. Lagi pula, aku belum siap bertemu Mas Bams secara langsung. Biasanya saat kajian, hanya melihat dari kejauhan. Sampai di rumah, ternyata ada pesan dari Kak Dina.

[Kamu udah dilamar, Nduk. Mbah Syahid sudah memberikan izin.]

Bagai menemukan telaga air di gurun pasir yang gersang, aku bahagia sekali. Perasaanku memuncak, ternyata cintaku berbalas juga. Jantung yang sejak tadi berdegup, perlahan menjadi lebih tenang.

"Piye, Nduk?" tanya Ibu yang mengamatiku senyum-senyum sendiri menatap layar gawai.

Aku melirik pada Ibu. "Alhamdulillah, Bu. Kata Mbak Mila, aku sudah dilamar dan Mbah Syahid yang memberikan izin untuk Mas Bams."

"Alhamdulillaah," ucap Ibu dengan wajah berbinar, lalu bernapas lega.

Beliau juga khawatir beberapa hari yang lalu, sebab tak juga mendapat kabar dari pihak Mas Bams padahal aku sudah menyampaikan tentang penerimaanku padanya.

"Aku senang banget, Bu. Ya Allah!" seruku.

Ini adalah kebahagiaan terindah yang pernah ada, yang tak akan pernah kulupakan. Jika dilamar seindah ini, maka seperti apa pernikahanku nanti? Pastinya akan selalu kukenang.

Kak Dina masuk lalu menceritakan semua kejadian di tempat Mbah Syahid tadi. Saat kutanya, memangnya tidak ta'aruf atau nadzor dulu, Kak Dina menjawab tidak usah sebab adik kakekku itu bilang kalau kami sudah saling mengenal dengan baik, begitu juga basic agama dan keluarga.

Aku bersujud syukur kepada Allah. Cintaku berbalas dengan sempurna, oleh lelaki yang langsung meminta izin pada wali untuk menikah. Bukan untuk pacaran yang notabenenya masih belum jelas masa depannya akan seperti apa. Terima kasih, ya Allah, inilah jawaban dari doa-doaku.

"MaasyaaAllaah, aku senang banget, Kak! Gak ada doa buat tanda bersyukur ketika dilamar, ya, Kak?" tanyaku.

"Ya gak ada. Alhamdulillaah gitu aja. WA ke Mas Bams, gih! Bilang makasih, sebagai pertanda kalau kamu yang dilamar," perintah Kak Dina.

Aku pun langsung menuruti perintahnya. Lama menunggu, kutinggal Salat Isya' sekalian sujud syukur kepada Allah. Usai salat, akhirnya dibalas juga. Kami pun saling mengenal lebih jauh sebagai ganti ta'aruf secara langsung. Kami juga melaksanakan nadzor dengan cara kukirim foto keesokan harinya via WhatsApp agar meminimalisir pertemuan antara kami berdua. Aku juga bertanya tentang biodata Mas Bams yang lebih lengkap.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro