Bab 16. Inikah Jawabannya?
"Mari Bapak-Ibu, kajian kita mulai." Ustaz pengisi tausiyah duduk di mimbar, sementara para warga kajian duduk di bawah beralaskan tikar.
"Gimana, Mbak, kabarnya?" tanya seorang ibu yang baru saja di sampingku.
"Alhamdulillaah baik. Jenengan¹²?" tanyaku.
"Baik, Mbak." Beliau mengembuskan napas panjang. "Masih terasa kehadiran bapakmu, Mbak, yang dulu suka nyetir mobil, saya ajak kulakan¹³ ke pasar."
"Enggeh¹⁴," jawabku.
Bapak memang pernah kursus menyetir mobil, sehingga para tetangga sering meminta beliau menyetir mobil untuk pergi ke suatu tempat yang jauh, dengan memberi upah yang pantas.
Kami tidak melanjutkan percakapan lagi. Fokus mendengarkan kajian.
Jam menunjukkan pukul 16.55 WIB. Lima menit lagi kajian selesai.
"Sekarang jahit, Mbak?" tanya ibu itu.
"Iya, Bu," jawabku.
"Semangat, ya, jahitnya. Kamu penerus bapakmu. Nanti kalau udah mahir, insyaaAllaah saya mau pesan dibuatin baju, kainnya sudah ada," kata beliau lagi.
Aku hanya tersenyum menanggapi harapan ibu itu. Kami mendengarkan tausiyah lagi.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara Mas Bams membaca ayat Alquran menggunakan mikrofon. Aku agak mendongakkan kepala supaya bisa melihat Mas Bams yang hampir selalu menjadi petugas pembaca Alquran sesuai perintah Ustaz pengisi tausiyah. Rasanya jadi aneh, seolah ada dua kubu yang saling berlawanan dalam hatiku: membenci Mas Bams atau mulai menyukainya.
Entah mengapa rasa benci itu memudar, berganti dengan rasa penasaran ketika Mas Bams melantunkan ayat Alquran dengan merdu dan enak didengar, membuat hati sedikit berdesir.
Jarang ada anak muda memiliki suara seindah Mas Bams. Mengapa aku tidak mencoba membuka hati untuknya? Lagi pula apa alasanku membenci pria itu yang sebenarnya tidak salah? Dulu Mas Bams hanya mencoba mengajak ta’aruf, aku saja yang belum siap. Mungkin ini saatnya untuk menjawab niat baik beliau.
Setelah waktu kajian habis, Ustaz mengakhiri kajian. Kami membaca doa penutup majelis.
“Subhaanakallaahumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa anta, astagfiruka, wa atuubu ilaiik.”
Kami semua pulang. Aku menuju sepeda kayuh di tempat parkir.
"Alia!" tegur Rila yang baru keluar dari majelis.
Aku yang hendak menaiki sepeda, menoleh ke arahnya. "Ada apa?"
Rila memegang tanganku. "Udah move on dari Tito? Maaf, ya, akhir-akhir ini aku sibuk di pabrik."
"Jangan bahas di sini, gak perlu pegang-pegang juga!" ucapku.
Rila melepaskan pegangannya. "Hehe maaf."
"Ayo ke rumah!" ajakku seraya menaiki sepeda.
Rila mengangguk lalu naik ke motornya.
"Duduk dulu, ya," ucapku, saat kami sampai di rumah.
Rila duduk di sofa, lalu aku masuk untuk mengambilkan minum.
"Jangan bahas Tito lagi, aku memilih untuk tidak memikirkannya," ucapku seraya meletakkan minuman di meja.
Belum sempat Rila menjawab, Ibu pulang dan masuk rumah.
"Assalaamu'alaikum," salam beliau.
"Wa'alaikumussalaam," jawabku dan Rila.
"Eh, ada Rila." Ibu tersenyum sekilas.
Sahabatku mengangguk sopan. "Iya, Bu."
Ibu pergi ke dapur, mungkin hendak menggoreng lauk untuk makan malam.
"Bagus kalo kamu udah gak mikirin Tito. Move on atau enggak, kamulah yang memutuskan. Aku hanya bisa mendukung dan mendoakanmu." Rila menyesap minumannya.
"Makasih, aku memang sedang butuh dukungan," jawabku.
"Aku salut dengan keberanianmu menegur ibunya. Saling mengingatkan sesama warga kajian, walaupun menyakitkan. The Best lah, pokoknya!" puji Rila.
"Jangan gitu, dong! Aku malu hehe," kataku sambil tersenyum.
"Lalu, siapa yang kamu pilih antara Mas Bams, atau pria yang dijodohkan denganmu? Udah ada jawaban?" Rila menatapku dengan wajah penasaran.
Aku hanya tersenyum.
"Ayolah, ceritain ke aku!" pinta Rila.
"Udah, dong! Tapi aku masih belum yakin. Aku tunggu sampai ada perasaan cinta padanya. Jika muncul, insyaaAllah dialah jawabannya," jawabku.
Rila tersedak. Dia pun meletakkan minumannya, lalu mengusap-usap tenggorokannya.
"Hati-hati, Ril!" kataku.
Mata Rila berbinar. "Siapa?"
"Nanti aja aku kasih tahu, kalau udah mantap!" ujarku bersemangat.
Sahabatku itu bersungut kesal. Setelah menghabiskan minum, ia pun pamit pulang.
**
Langit telah berubah menjadi gelap. Ibu sudah tidur sebab mungkin beliau sangat capai setelah aktivitas seharian ditambah jadwal mengaji di majelis. Aku masih berselancar di sosial media sembari rebahan di samping beliau. Semenjak Bapak tiada, aku tidur bersama Ibu dan mulai berani tidur di kamar Bapak, secara bertahap dan berangsur-angsur tentunya.
Aku jadi memikirkan suara Mas Bams tadi. Ya Allah, apakah benar ini jawaban istikharahku? Aku masih berusia 22 tahun, sementara beliau 33 tahun. Tetapi, mengapa hati ini berdesir mendengar lantunan ayat Alquran beliau?
Karena penasaran, aku mencari akun sosial media Mas Bams. Jadi teringat dulu pernah memblokir akun beliau.
"Nah, ini dia!" Aku mengklik tombol 'batalkan pemblokiran' di akun Mas Bams.
Aku mengembuskan napas panjang, lalu mulai mengetikkan nama Mas Bams di kolom pencarian. Aku mencari informasi dari akun beliau. Sedikit kecewa karena beliau tidak pernah membuat status apapun kecuali membagikan video dakwah yang bermanfaat.
"Umurnya benar 33 tahun?" gumamku, lalu menekan tombol 'Tentang' di profil Mas Bams.
Ternyata benar umur beliau 33 tahun. Aku mengecek foto-fotonya, sebenernya belum ada yang menarik perhatianku. Tetapi setelah beberapa saat, mataku menangkap satu foto Mas Bams sedang bertugas sebagai SATGAS sedang duduk di samping teman-teman beliau tetapi jaraknya agak berjauhan. Beliau tampak lebih muda dengan memakai seragam yang serba hitam. Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat ke atas.
Lagi-lagi aku bergumam sendiri, "Tidak tua-tua amat, tidak terlalu jelek juga. Kulitnya, sih, hitam. Tapi mungkin karena terlalu banyak bertugas sebagai SATGAS majelis yang berada di luar ruangan. Bukankah itu bagus, berjuang di jalan Allah semampunya? Suara bacaan Alqurannya sangat merdu. Aku tak mungkin mencari calon suami yang tidak bisa menerapkan tajwid dalam membaca ayat-ayat Allah."
Tiba-tiba Ibu terbangun. "Belum tidur, Nduk? "
Aku terkesiap. "Belum, Bu."
"Segera tidur, Nduk. Besok biar sehat, jahit lagi sama kakakmu," nasehat Ibu, lalu tidur lagi.
"Enggeh, Bu."
Mas Bams, kurasa kamulah orangnya! Pria yang selama ini kucari; bacaan Alquran yang sesuai kaidah tajwid dan sifat-sifat hurufnya, sehingga kelak bisa mengajariku dan bukan sebaliknya. Pemuda itu juga sefrekuensi denganku, sebab satu majelis kajian, berarti sepemahaman meski mungkin tetap ada sedikit perbedaan. InsyaaAllaah kelak juga sejalan.
Setelah memastikan Ibu tertidur pulas, aku beralih ke aplikasi berlogo ganggang telepon warna hijau-putih. Aku mengecek grup Tahsin.
Di sini pasti ada nomornya Mas Bams. Batinku.
Tidak susah mencarinya karena ada nama Mas Bams tertera di samping angka berjumlah dua belas digit itu. Aku langsung menyimpan nomor beliau. Mungkin kelak akan kutemukan petunjuk yang lain, yang menguatkan sedikit keraguan hatiku.
**
*Catatan kaki:
12. Jenengan: Anda (panggilan untuk menghormati orang yang lebih tua).
13. Kulakan: membeli barang dagangan untuk dijual kembali.
14. Enggeh: Iya.
#smacademy #smwriting
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro