Bab 14. Bicara pada Ibu Tito
Satu pekan berlalu. Aku sudah mengubur dalam-dalam harapan bersama Tito. Tak perlu mengenang seseorang yang membuat hati sakit, kan?
Jika kau berharap pada manusia, bersiap-siaplah kecewa. Hanya Allah sebaik-baik tempat pengharapan. Itu kalimat yang selalu bergema di hati ini untuk menguatkan diri sendiri.
Aku telah memblokir akun sosial media Tito, serta terpaksa menghapus nomor kontak ibunya, agar aku bisa dengan mudah melupakan lelaki itu.
Selama berhari-hari aku belum mendapat jawaban kepada siapa hati ini akan berlabuh. Bila harapan bersama Tito musnah, berarti ada dua pilihan lain: memilih Mas Bams atau pria satunya yang dijodohkan denganku? Ya Allah, kapan Engkau akan memberikan petunjuk pada hamba?
"Pagi-pagi udah melamun aja!" tegur Rila yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersamaku.
"Sedang belajar melupakan Tito." Aku menunduk lesu.
Rila berdecak. "Udah, gak usah galau gitu! Kamu berhak bahagia. Bukankah ini petunjuk dari Allah, bahwa Tito bukan orang yang tepat untuk mendampingimu?"
Aku menyesap teh hangat di gelas kesayanganku. "Iya, aku tahu itu. Sekarang apa yang harus kulakukan?"
"Kamu tinggal istikharah, pilih Mas Bams atau mau dijodohkan?" ucap Rila.
"Entahlah." Aku menggedikkan bahu.
Kulihat dari jendela rumah, Kak Dina dan Abidah datang, diantar oleh kakak ipar. Aku beranjak ke teras rumah.
"Mampir dulu, Kak!" Aku setengah berteriak kepada kakak ipar di dalam mobil pick up.
"Iya, iya. Kapan-kapan insyaaAllaah. Keburu kerja," jawabnya.
"Assalaamu'alaikum," salam Kak Dina.
Aku menjawab salam lalu menjabat dan mencium tangannya, bergantian Abidah yang mencium tanganku.
"Aku pulang dulu, ya, Lia," pamit Rila seraya keluar, lalu mengangguk sekilas pada Kak Dina.
"Loh, kok buru-buru? Bukannya kamu lagi libur kerja?" tanyaku.
"Iya, nih. Teringat sesuatu! Aku 'kan bisa ke sini setiap waktu. Assalaamu'alaikum," ucapnya. Kedua sudut bibirnya terangkat.
Aku dan kakak hampir bersamaan menjawab salam.
"Dia temanmu?" tanya Kak Dina sembari masuk, lalu meletakkan plastik berisi jahitan pelanggan yang luar biasa banyak.
"Iya, Kak," jawabku, ikut masuk.
"Mbah uti¹¹!" panggil Abidah, langsung menuju dapur untuk menghampiri Ibu.
"Abidah!" Ibu pun keluar dan langsung mengajak keponakanku itu bermain.
Kak Dina melihat daftar alat jahit yang mesti dibeli, lalu menyerahkannya padaku. "Ini, ya. Tolong belikan alat jahit."
Untung tadi sudah sarapan sebelum Rila datang, jadi bisa langsung berangkat. Sampai di toko, ternyata ada ibu Tito, Bu Reni. Mengapa harus hadir lagi, segala yang berhubungan dengan Tito? Aku 'kan sudah berniat melupakannya! kesal ku dalam hati.
"Bu," sapaku mencoba ramah, "Beli apa?"
"Eh, Mbak Alia! Ini beli alat jahit. Buat kegiatan di rumah," jawab beliau.
Sesaat suasana hening. Aku menyerahkan catatan kecil seperti biasa, lalu penjaga toko itu mulai mencari alat jahit yang hendak kami beli. Setelah selesai membayar, kami pulang. Tiba-tiba terbesit suatu keberanian dalam diri di jalanan yang sepi.
"Bu, sebentar, Bu!" panggilku pada Bu Reni.
Bu Reni memberhentikan sepeda motornya yang mewah, karena memang belum jauh dariku. Rem berdecit tepat di samping motor beliau, lalu aku turun dari sepeda kayuh.
"Iya, ada apa, Mbak?" Bu Reni terlihat antusias.
Aku mendekat ke arah Bu Reni. Pelan-pelan aku mengatakan, "Bu, saya mau bilang sesuatu. Tapi sebelumnya mohon maaf sekali."
Aku sedikit ragu, tetapi Bu Reni mengangguk yakin.
"Ini sebagai sesama warga kajian, ya, Bu, meski Ibu belum masuk di cabang majelis sini. E--Anda tahu kalau anak Anda memiliki pacar?" Akhirnya kalimat itu meluncur juga dari mulutku.
"Iya, tahu. Ada apa, ya, Mbak?" Beliau penasaran.
Jantungku berdebar hebat. "Begini, Bu. Saya hanya ingin mengingatkan sebagai warga kajian, sebaiknya Ibu memperingatkan anak Ibu supaya tidak pacaran. Saya bukan bermaksud apa-apa, hanya saja sebagai sesama muslim, saling mengingatkan adalah kewajiban."
Aku mengembuskan napas panjang, menetralkan perasaan yang berkecamuk; antara berani, takut dan perasaan wajib mengingatkan saudara sesama muslim.
"Iya, Mbak. Saya tahu. Ya, makasih, Mbak. Begini, saya sudah memperingatkan Tito supaya tidak pacaran, tetapi dia itu ngeyel, alias susah dibilangin! Terbawa pergaulan. Terima kasih atas kesediaannya mengingatkan kami. Kami sebagai orang tua akan terus berusaha melindungi keluarga dari api neraka, insyaaAllaah," jawab Bu Reni.
Sejenak aku mangut-mangut sekaligus tercengang. Jadi, Bu Reni tahu anaknya pacaran? Mengapa tidak dilarang, padahal melihat feed Instagram Tito, mereka berpacaran sudah sejak lama. Ya Allah, inikah caramu mematahkan hatiku dari cinta yang salah? Batinku.
Aku pun pamit setelah mengucap salam, lalu berlalu dari hadapan beliau.
**
Tiga hari kemudian, aku merasa lebih baik. Merasa satu beban telah terlepas dari pikiranku; Tito. Aku memang harus mematahkan harapan untuk memilikinya, ternyata begini cara Allah menunjukkan bahwa dia bukan pria yang baik, karena sebagai warga kajian, dia tetap pacaran padahal sudah tahu larangannya. Selain itu, diri ini juga merasa tidak sekufu¹² dilihat dari strata sosial kami yang jauh berbeda.
Aku teringat firman Allah SWT.: "Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [QS. Al-Baqarah ayat 216]
Kini, sudah saatnya aku berharap pada Allah. Berdoa dan memasrahkan sepenuhnya kepada-Nya. Tidak menebak-nebak sesuai keinginanku tentang siapa jodohku, yang pada akhirnya hanya berbuah patah hati.
Aku bersyukur pada Allah yang telah memberikan satu petunjuk jelas tentang Tito. Aku jadi sebal padanya karena dua hal; cemburu dan benci dengan perbuatan pacarannya itu yang jelas-jelas melanggar larangan Allah.
"Sudah Salat Istikharah, Nduk?" tanya Kak Dina di sela-sela menjahit.
"Sudah, Mbak, tetapi aku belum menemukan jawaban dari Allah. Belum ada rasa cinta yang terbesit antara dua pria itu," jawabku.
Kak Dina tahu persis siapa dua pria yang ku maksud.
Suatu ketika, aku menonton Web Series di YouTube yang mengisahkan godaan-godaan setan dalam menyesatkan manusia.
Aku merenung sejenak. Apakah semua yang kulakukan ini benar; menggantungkan hidup pada Kak Dina, membiarkan Ibu dalam duka mengenang Bapak tanpa hadirnya sosok lelaki dalam hidup sebagai pengisi hati? Apakah aku sedang dihasut setan untuk menunda menikah?
**
Catatan kaki:
11. Mbah uti: panggilan dalam Bahasa Jawa untuk nenek, berasal dari kata Mbah Putri.
#smacademy #smwriting
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro