Bab 12. Pilihan yang Sulit
Satu bulan berlalu. Aku memikirkan berbagai tawaran pekerjaan dan pilihan menikah. Suatu ketika, ada yang menyampaikan kabar bahwa Mas Bams berniat mengajak ta'aruf lagi. Kebetulan saat itu, ada kakak ipar dan kakakku.
"Coba, Nduk, pikirkan dulu tawaran tadi," kata kakak beberapa hari kemudian.
"Tapi, Kak, orangnya itu tua. Aku gak suka!" jawabku.
"Berapa umurnya? Belum, dia belum terlalu tua buat kamu," kata kakak
"Ya udah, biar aku pikirkan dulu. Aku ingin menikah beberapa tahun lagi, Kak, saat benar-benar sudah siap."
Selama berhari-hari, kami selalu berdebat mengenai kapan aku menikah. Kakak menyuruhku untuk menyegerakan, sedangkan diri ini bercita-cita menikah di usia 24 tahun. Masih ada waktu dua tahun lagi.
"Nduk, lebih baik segera nikah, ya. Mumpung Ibu masih sehat, masih bisa menyaksikan kamu menikah dan merestui. Kita tidak tahu umur seseorang, seperti sekarang tahu-tahu Allah memanggil Bapak. Ayolah, pilih lelaki yang baik menurutmu. Kasihan Ibu, Nduk," ucap kakak untuk ke sekian kalinya di sela-sela kesibukan kami menjahit.
"Iya, Kak. Aku pikir-pikir dulu." Aku bersungut.
"Mau sampai kapan?" tanya kakak lagi.
Aku diam, tak mampu menjawab.
Aku ingin menikah dengan Tito, Kak! Ingin rasanya berteriak seperti itu, tetapi aku tak mampu berkata jujur.
Menurut informasi dari Rila, akhirnya aku tahu bahwa Tito adalah seorang warga pindahan dari daerah lain. Sebelumnya, Tito juga menjadi warga kajian di daerahnya. Mungkin dia akan masuk ke majelis cabang tempat kami mengaji, lalu mengenalku?
Aku menghela napas panjang, mana mungkin pemuda kaya seperti dia mau denganku? Dia sering lewat di jalan depan rumah menggunakan motor sport. Lambat laun, Rila yang memang memiliki teman banyak, mendapat informasi bahwa motor itu hadiah dari orang tua Tito karena berhasil menamatkan pendidikannya dengan nilai memuaskan.
Apa mungkin seorang Tito mau bersanding dengan anak penjahit yang serba sederhana ini?
**
Selang beberapa hari, melalui seorang perantara niat baik, datang lagi tawaran dari seorang bapak yang ingin menjodohkan putranya denganku.
"Nduk, sudah banyak yang mengajakmu ta'aruf untuk menikah. Ayolah, putuskan siapa yang kau pilih!"
Aku masih diam, daripada terus berdebat dengan mengatakan jawaban yang sama: aku belum siap. Ya Allah, bagaimana ini? Satu tawaran belum kujawab, datang lagi tawaran yang lain.
Ternyata pemuda kedua ini umurnya malah jauh lebih tua dari Mas Bams. Belum tua, sih, maksudku berusia jauh di atas Mas Bams. Mengapa tidak ada yang berumur tiga atau paling tidak empat tahun di atasku?
Malam hari saat kakak sudah pulang ke rumah suaminya, aku menelepon Rila. Tentu saja saat rumah sudah sepi sebab ibu sudah terlelap.
"Ril, aku diajak ta'aruf sama orang lain lagi, nih. Tetapi kali ini usianya bahkan sangat jauh di atasku! Aku gak mau, Ril?" keluhku usai saling mengucap salam dan menjawabnya.
Napas Rila terdengar diembuskan dengan panjang sebelum berkata, "Kamu harus berani nolak, Lia! Kamu berhak untuk bahagia, memilih mana yang terbaik, tentu saja yang sreg di hati. Jangan sampai menyesal. Jangan lupa, istikharah dulu tentunya. Aku gak bisa memberi saran apa-apa, semua ada di tanganmu."
Aku berpikir keras, sepertinya memang aku harus istikharah, meminta jawaban dari Allah.
Aku pun menutup telepon.
**
Malam yang gelap, bintang-bintang di langit sudah tak tampak sebagian, bulan telah memutih dan sebentar lagi akan pudar. Pemandangan yang kulihat di cakrawala saat membuka gorden kamar.
Pandanganku tertuju pada wajah ibu yang tidur nyenyak sekali.
Dalam hati aku berkata, Bu, aku pasti akan membahagiakanmu dengan caraku. Jika Allah mengizinkan.
Aku beranjak menuju kamar mandi, berwudu, lalu segera Salat Istikharah.
Catatan kecil yang terletak di samping sajadah kuambil, lalu kubaca, berisi doa Salat Istikharah beserta arti yang diajarkan Rasulullah, sebab memang belum hafal.
Setelah selesai, baru aku mengucap doa sesuai yang kuinginkan.
"Ya Allah, ya Rabb. Berikanlah petunjuk-Mu, kepada siapa hati ini berhak jatuh cinta dan berlabuh padanya? Jika boleh, izinkan hamba menyukai Tito, karena ia seorang yang pas dengan kriteria saya. Masih muda, warga mengaji pula. Tolong tunjukkan, seperti apa keluarga dan basic agamanya? Apakah ia rajin salat lima waktu, tidak pacaran dan istikamah mengaji? Karena dengan mengaji ilmu dari Alquran dan As-Sunnah, seorang hamba itu bisa menjadi baik, dengan berusaha mengamalkannya. Hamba benar-benar pasrah, ya Allah."
**
Aku menggantungkan seluruh pertanyaan yang ada dalam benak kepada Allah. Benar-benar pusing rasanya memikirkan ini semua. Di satu sisi, harus bekerja untuk kebutuhan makan sehari-hari. Di sisi lain, membutuhkan pendamping hidup yang akan membuat kami semua bahagia. Selain kelak ada tulang punggung keluarga, juga sebagai pengisi hatiku yang jujur saja sangat hampa dan sedih.
Sebenarnya aku mau menikah, jika yang mengajak ta'aruf itu seperti Tito. Masih muda, wajahnya tampan dan juga warga kajian. Mungkin sulit menemukan pemuda yang salat lima waktunya di masjid, sekaligus bukan perokok. Tetapi itulah kriteria yang kuinginkan sebagai tahap awal dalam memilih pendamping hidup.
Pagi yang cerah, aku pamit pada ibu untuk pergi ke rumah Rila.
"Assalaamu'alaikum, Ril," salamku yang langsung dijawab Rila dan aku dipersilakan duduk.
"Ada apa, Lia?" tanya Rila yang tadi sempat menghilang, lalu kembali dengan dua gelas sirup berwarna merah.
"Aku bingung, Ril. Gimana ini?" Aku memegang kepala yang sedikit nyeri.
"Kamu sudah istikharah?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Rila tersenyum, "Baru sekali, kan? Sebaiknya kamu mengulangi salat istikharah itu berkali-kali sampai mendapat jawaban dari Allah."
Aku mengernyitkan kening, "Jadi harus berulang kali, ya? Pantas hatiku masih bimbang."
"Iya, kita harus sepenuhnya menyerahkan pilihan pada Allah. Aku tahu ini pilihan yang sulit. Sekarang, ayo minum dulu," ucap Rila begitu bijak.
"Sebenarnya aku kenal sama orang tua Tito," ucapku di sela-sela minum," Jadi kalau punya nyali, tinggal bilang mau ajak ta'aruf anaknya. Tapi, aku cewek. Gak mungkin banget, kan? Sementara ada dua pria yang mengutarakan niat baik di waktu hampir bersamaan."
Rila tampak berpikir. "Kamu harus memutuskan salah satu di antara kedua pemuda itu. Jika sudah menolak keduanya secara halus, baru kamu sampaikan niat kamu ke pengurus, kalau suka sama Tito. Jika malu, nanti bisa tukar CV lewat pengurus. InsyaaAllaah, akan ada jalan."
"Makasih, ya. Tapi menurutmu, apa mungkin aku pantas mendapatkan Tito yang--orang kaya itu? Aku benar-benar pusing memikirkan hal ini!" Aku masih memegang kepalaku usai menghabiskan minuman.
Rila hanya mengedikkan bahu.
**
#smacademy #smwriting
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro