Bab 1. Saat Cadarku Dibuka Paksa
Takbir berkumandang dari arah lapangan pusat. Embun pagi di dedaunan seolah ikut merayakan kegembiraan orang-orang yang berbuka setelah satu bulan berpuasa. Mentari muncul malu-malu, menyinari desa, menambah semangat para pejalan kaki yang berangkat ke lapangan untuk melaksanakan salat 'Idul Fitri.
Kami Salat 'Ied berjamaaah dengan khidmat. Mataku sedikit berair, mengingat masih banyak dosa dan kekurangan dalam menjalankan puasa di bulan Ramadan. Usai salat, aku mendengarkan khutbah dengan khusyuk.
**
Sepulang dari Salat 'Ied, aku duduk di ruang tamu seraya mengecek ponsel. Sudah banyak ucapan selamat 'Idul Fitri dan minta maaf yang masuk di aplikasi berlogo ganggang telepon warna hijau. Aku membalasnya satu per satu.
"Assalaamu'alaikum," salam Bapak dan Ibu yang baru pulang.
"Wa'alaikumussalaam," jawabku.
"Sudah pulang, to, Nduk¹ Alia?" tanya ibu, lalu duduk di sampingku.
"Sudah, Bu," jawabku.
Aku berinisiatif membuatkan bapak minum karena biasanya ibu sudah menyeduh teh pagi-pagi, lalu bersiap untuk silaturahmi.
"Makasih, ya, Nduk," ucap bapak.
Aku mengangguk.
"Seperti biasa, kita ke tempat Bude, yuk!" ajak bapak usai menghabiskan minumannya.
Kami beranjak untuk mulai silaturahim.
**
Ujian hijrah seseorang itu berbeda-beda, termasuk aku. Dari level biasa saja sampai yang terberat. Hari itu adalah hari saat keimanan ku diuji oleh Allah. Apakah diri ini masih akan tetap memakai cadar, atau melepasnya begitu saja?
Kami akan bersilaturahmi ke daerah tempat kami tinggal dahulu, ke rumah para sesepuh dari jalur ibu. Aku menatap cermin di dalam kamar, menghela napas panjang. Siapkah diri ini bertemu orang-orang baru? Maksudnya, mereka yang baru saja melihatku memakai cadar di desa tempat lahir ku.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil pick up pinjaman dari tetangga, hati ini merasa gemetar, takut jika sanak saudara di sana tak suka dengan pakaianku. Semua serba gelap, tidak umum dan asing bagi mereka.
"Ya Allah, hamba serahkan semuanya kepada-Mu, berikan pertolongan-Mu dan kuatkan lah diri ini menghadapi ujian yang mungkin akan datang. Bismillaah. Hamba akan selalu bertawakal kepada Engkau, wahai Rabb semesta alam," doaku lirih.
Sampai di desa itu, kami bersilaturahmi dari rumah ke rumah. Satu per satu keluarga memaklumi pilihanku berpakaian aneh, yakni dilengkapi cadar. Jantung selalu berdebar ketika bertemu semua orang, Allah mudahkan semuanya.
Ketika kami memasuki sebuah rumah yang masih memiliki hubungan kerabat dengan niat bersilaturahmi dan meminta maaf, mereka pangling denganku. Kami duduk dan berbincang seperti biasa. Lalu, yang tertua di antara mereka, mengusik ketenangan diri ini berpakaian serba tertutup.
"Ini siapa? Alia? Kok, mukanya ditutupi segala?" tanya beliau.
"Iya, nih, jadi gak kelihatan," timpal yang lain.
Aku diam saja.
"Kapan mau nikah? Udah punya calon belum? Jangan ditutupi, nanti cantiknya gak kelihatan, loh!" ujar beliau lagi.
"Coba, dong, dibuka! Mau lihat kayak apa sekarang!" usul yang satunya.
Tanpa disangka dan tanpa meminta izin terlebih dahulu, seorang perempuan yang tertua itu tiba-tiba maju dan membuka paksa cadar ku. Kaget sekali rasanya. Mengapa mereka setega itu, padahal ada lelaki yang bukan mahram² ku juga di sana?
"Cantiknya gak kelihatan, dong, kalau ditutupi?"
Entah mengapa, aku hanya mampu diam tanpa melakukan perlawanan apa pun, mungkin karena merasa lebih muda dari beliau sehingga sungkan. Selang beberapa detik, cadar ku akhirnya ditutup kembali..
Beliau duduk kembali, percakapan mereka dilanjutkan dan semua merasa netral seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara aku masih merasakan kegetiran dan rasa syok yang luar biasa. Aku minum sampai habis untuk menenangkan diri.
**
"Kita salat dulu, ya!" perintah bapak.
Kami pun menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat Zuhur. Usai melaksanakan ibadah empat rakaat, aku berdoa dengan hati seolah disayat sembilu karena peristiwa yang baru saja ku alami.
"Ya Allah, seberat inikah ujian memakai cadar? Ada yang penasaran, bahkan sampai membuka paksa tanpa meminta izin terlebih dahulu? Apa benar jika aku berpakaian syar'i seperti ini, maka tidak ada lelaki yang tertarik dan tak mau mendekati? Bila demikian, bagaimana masa depanku, ya Rabb? Izinkanlah hamba merasakan indahnya menikah, menyempurnakan separuh agama. Hamba mohon, ya Allah. Aamiin." Aku sedikit meneteskan air mata, kemudian buru-buru menghapusnya sebab malu jika sampai dilihat orang lain.
Saat perjalanan pulang, aku merenung sendiri, sementara mobil terus melaju. Ya Allah, benarkah jika aku menutup muka dengan selembar kain ini, hamba tidak bisa menikah karena tidak ada lelaki yang tertarik? Apakah para pria akan takut untuk datang melamar karena pakaianku yang serba hitam? Kalau begitu, apakah pilihan hamba salah, ya Rabb? Haruskah diri ini melepasnya tetapi tetap berjilbab saja?
Astagfirullah. Aku pun buru-buru menepis pikiran buruk itu. Aku membuka sosial media, membaca motivasi agar tetap istikamah bercadar. Tak perlu memikirkan perkataan orang. Ujian sudah berlalu. Perjalanan berhijrah harus tetap dilanjutkan.
**
Sampai di rumah, aku bertanya-tanya lewat chat pada teman-teman hijrahku di dunia maya.
[Langkah apa yang bisa kita ambil, ketika cadar kita dibuka paksa walaupun hanya beberapa detik, tanpa meminta izin? Saat itu aku hanya mampu diam, tak berani melawan pada orang yang lebih tua. Apakah benar jika berpakaian serba tertutup, termasuk cadar, aku akan sulit mendapatkan jodoh?]
Mereka menjawab dengan versi yang berbeda-beda.
[Yang sabar, ini semua ujian dari Allah.]
[Memang tidak mudah memakai sehelai kain mulia ini. Tetap istikamah, ya!]
[Allah tidak akan menguji hamba di luar kemampuannya. Kamu pasti bisa!]
[Aku dulu juga pernah mendapat ujian yang lebih berat darimu. Sabar, ya, ukhty! Jangan goyah sekali pun.]
Semua jawaban menguatkan ku, tetapi ada satu jawaban yang membuatku kaget.
[Tuntut ke polisi bisa itu, Dek. Aku punya temen pengacara, kalau kamu mau. Hal seperti itu sudah melanggar HAM.]
Aku membalasnya dengan kalimat, [Maaf, Mbak. Beliau lebih tua, masih ada jalur saudara juga. Aku takut.]
[Gak usah takut. Itu hak kita, menjalankan apa yang sesuai prinsip kita. Orang lain tak boleh mengusiknya! Aku dampingi, ya.] balasnya.
[Hehe makasih, Mbak. Makasih banget. Aku mencoba untuk sabar, semoga tahun depan tak ada kejadian begini lagi. Bukankah semua yang, pertama kali itu, memang berat?] balasku, yang hanya di-OK kan temanku itu.
**
Catatan kaki:
1. Nduk: Nak, panggilan untuk seorang anak perempuan dalam bahasa Jawa.
2. Mahram: lawan jenis yang haram dinikahi baik sebab nasab (keturunan) atau sebab pernikahan. Dalam Islam, seseorang boleh membuka jilbab bagi perempuan, dan/atau berjabat tangan dengan orang-orang yang termasuk mahram. Contoh: ibu bagi anak laki-laki, bapak bagi anak perempuan, dsb.
#smacademy #smwriting
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro