Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Abi

Hola ...

Zahra pulang dalam keadaan mabuk. Padahal Risa sudah meminta agar Zahra untuk menginap saja di rumahnya.  Namun, gadis yang tengah patah hati itu justru menolak dan terus meminta agar ia diantar pulang ke rumah.

Sesampainya di depan pintu utama kediaman Zahra, Risa dengan jantung berdebar kencang mencoba untuk mengetuk pintu beberapa kali hingga pintu terbuka dan menampilkan seorang pria dengan baju koko yang melekat pada tubuhnya.

Dia, adalah Abinya Zahra.  Bapak Junaidi atau sering disapa akrab dengan panggilan ustaz Juna terdiam kaku melihat putri tunggalnya berdiri dipapah oleh temannya dalam keadaan meracau.

"Astaghfirullahaladzim, Zahra. Kamu kenapa, Nak? Kenapa bisa seperti ini?"

Ustad Juna segera mengambil alih putrinya dan membawa masuk ke dalam diikuti oleh Risa.

"Maaf, Om. Aku sudah melarang Zahra untuk mabuk dan pergi ke kelab. Tapi, Zahra enggak mau nurutin. Aku enggak mau Zahra kenapa-napa makanya aku ikutin dia."

Risa menjelaskan tanpa diminta oleh ustadz Juna.  Gadis itu juga menjelaskan mengapa Zahra bisa mabuk-mabukan saat ini dikarenakan penghianatan yang dilakukan oleh kekasih dan sahabatnya sendiri. Sekali lagi ustaz Juna yang mendengarnya beristighfar akan kelakuan putrinya yang memang tidak berubah.

"Om sudah berkali-kali mengingatkannya enggak boleh pacaran. Pacaran itu sama dengan zina, dan itu dosa. Dia masih enggak mau mendengar," ujar ustad Juna. "Bawa dia ke halaman belakang," titahnya dengan suara lembut.

Meski tidak mengerti dengan maksud ustadz Juna yang meminta untuk membawa Zahra pergi ke halaman belakang dari pada ke kamarnya, Risa tetap menuruti keinginan pria paruh baya itu.

"Kamu tunggu di sini. Tolong jaga Zahra sebentar."

"Baik, Om."

Tak lama ustad Juna kemudian masuk ke dalam dan keluar lagi dengan  sebuah pelampung ukuran dewasa di tangannya.

Risa mengernyit heran saat melihat apa yang dibawa oleh abinya Zahra. Gadis itu sedikit menyingkir ketika ustad Juna mulai memasangkan pelampung ke tubuh Zahra.  Usai pelampung terpasang sempurna, ustad Juna kemudian mengangkat tubuh putrinya dan melemparkannya ke dalam kolam renang yang terletak di halaman belakang.

Aksinya tidak hanya membuat Risa terkejut, tapi juga Zahra yang masih tak sadarkan diri tersentak dan terlihat tangannya yang berusaha untuk menggapai sesuatu agar ia keluar dari air dingin.

Tubuh Zahra memang tidak akan tenggelam di dalam kolam karena ada pelampung. Biarkan saja anak gadisnya berada di kolam selama semalam. Ini adalah hukuman entah yang keberapa yang diterima Zahra disaat anaknya melakukan kesalahan fatal yang tentu saja dilarang oleh Allah.

Ustad Juna melirik Risa sejenak kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Kamu mau menginap apa pulang? Kalau mau menginap, saya akan panggil Ibu Sri buat menemani kamu di kamar."

Risa menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang saat ini sudah menunjukkan pukul 1 lebih 20 menit.  Tidak mungkin Risa pulang sekarang dan akan membuat ibunya marah saat tahu ia pulang dari kelab malam.

"Saya menginap saja, Om."

"Oke. Kamu bisa ke kamar tamu dan saya akan panggilkan Bu Sri dulu."

Risa dan ustad Juna kemudian masuk ke dalam rumah. Jika Risa langsung ke kamar tamu,  maka ustad Juna membangunkan Ibu Sri untuk menemani Risa.

Mereka meninggalkan Zahra yang masih mengapung di atas air tak peduli jika gadis itu akan sakit dan kedinginan.

Keesokan paginya Zahra mulai mengerjapkan matanya ketika hawa dingin merasuk tubuhnya hingga tulang.

Gadis itu membuka kelopak matanya dan melihat daun merambat di atas dinding yang terpasang cantik pada tembok rumahnya.

Zahra mengedarkan pandangannya dan menarik napas  pelan saat tahu jika saat ini ia berada di kolam renang belakang rumahnya.

Gadis itu segera berenang ke pinggiran dan naik ke atas. Terlihat tangan dan kakinya keriput karena terlalu lama terendam dalam air.

Zahra kemudian membuka pelampungnya dan meletakkan di samping tubuhnya. Zahra mencoba untuk menenangkan kakinya guna menghilangkan kram sebelum nanti ia akan masuk ke dalam kamarnya.

Zahra tahu ini perbuatan siapa. Siapa lagi jika bukan abinya yang menghukumnya dengan cara ini. Saat kelulusan SMA, Zahra pernah pulang dalam keadaan mabuk dan membuat abinya marah hingga melemparkan ia ke dalam kolam renang.

"Sudah bangun kamu, Zahra?"

Zahra menoleh ke asal suara dan tertegun melihat abinya yang duduk di kursi tak jauh dari kolam.

Juna memang tidak kembali ke kamarnya sejak tadi malam dan memilih untuk menemani Zahra yang tertidur dengan nyaman di dalam air. Junaidi tidak ingin terjadi sesuatu pada putrinya hingga ia rela menemani sang putri dan mengurangi jatah tidurnya.

Melihat abinya, Zahra dengan susah payah berdiri kemudian menundukkan kepala saat abinya berjalan mendekat.

"Kali ini Abi benar-benar kecewa dengan perbuatan kamu, Zahra. Seorang gadis pulang jam 1 malam lebih dalam keadaan mabuk-mabukan. Apa Abi pernah mengajarkan kamu seperti itu, Zahra?" Terlihat dengan jelas raut wajah Juna yang kecewa dengan sikap putrinya. "Apa kamu mau membunuh Abi dengan semua tingkah lakumu, Zahra? Kalau begitu, kenapa kamu enggak ambil pisau dan bunuh Abi sesegera mungkin biar kamu puas bisa hidup sendiri di dunia ini tanpa aturan dari orangtua  enggak berguna seperti abimu ini."

Zahra spontan mengangkat kepalanya mendengar ucapan abinya. Gadis itu spontan menggeleng pelan kepalanya dengan mata berkaca-kaca ketika mendengar ucapan orang tua satu-satunya yang dia miliki di dunia ini.

Zahra memiliki Abi dan Umi lengkap sebelumnya. Namun, ketika Zahra berusia 8 tahun, uminya Zahra meninggal dunia karena penyakit kanker yang diderita. Semenjak saat itu Zahra dibesarkan oleh abinya seorang diri. Abinya bahkan tidak memikirkan untuk menikah lagi atau mencari pendamping hidup dan hanya fokus untuk merawat Zahra.

"Abi, jangan bicara seperti itu. Zahra enggak suka dengarnya."

"Kamu enggak suka kalau Abi bicara seperti ini? Lalu, apakah Abi akan bangga dan suka melihat putri Abi yang Abi sayangi berbuat dosa?" Raut wajah Juna memancarkan kekecewaan, membuat jantung Zahra terasa diremas. "Abi enggak pernah nuntut kamu untuk ini dan itu, Zahra."

"Abi membebaskan pilihan kamu. Abi membiarkan kamu masuk ke sekolah umum, padahal Abi ingin kamu masuk pondok. Abi sudah seringkali untuk mengingatkan kamu pakai pakaian tertutup, tapi kamu enggak pernah dengar. Abi sudah sering ingatkah kamu untuk enggak pacaran, tapi kamu masih pacaran."

Terdapat jeda sejenak diikuti suara tangis Zahra yang mulai terdengar.

"Kamu masih tanggung jawab Abi, Zahra. Apa yang kamu perbuat, dosanya akan Abi yang tanggung. Abi benar-benar gagal menjadi seorang ayah buat putrinya sendiri."'

Setelah menyampaikan isi hatinya, Juna kemudian melangkah pergi meninggalkan Zahra yang terisak di tempat.

Cerita ini bisa dibaca juga di akun Ratu_Sejagad💃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro