Extra Part 3
Hallooooo, apa kabar??? Ini yang terakhir yaa huhuhu. setelah ini udah benar-benar berakhir. Eh, kalau ada sequel nggak berakhir deng hehehew. Tapi, untuk sequel mungkin tunggu pas aku kuliah:) biar lebih ngefeel. Jadiii, aku anjurkan untuk jangan hapus dulu cerita ini dari perpustakaan
( ˘ ³˘)♥
Dannnn, maaf baru bisa update. Soalnya tugas kemarin banyak banget DL-nya. So, aku sarankan baca ulang beberapa part belakang kalau sudah lupa:))
Terima kasih buat para pembaca setia maupun pembaca baru💖💖💕💜💖 yang sudah menemani aku sampai cerita ini berakhirrrr. Bener-bener nggak nyangka cerita ini bisa selesai T_T
Emm okey. Sekian. Jangan kangen aku ehe. Aku pamit. Sekali lagi terima kasih^^
Maaf jika ada tipo
Selamat membaca❤
🌸
"Hidup itu berproses, bukan berporos. Nikmati prosesnya, ikuti semua naskah-Nya, jangan terpaku pada sesuatu yang telah dilewati. Gamon misalnya."
🌸🌸🌸
Dua hari setelah Echa ulang tahun....
Udara di kota Bandung masih sama seperti terakhir kali Raga pergi ke sana, sejuk. Lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya pada Echa. Dia merendahkan sedikit badannya untuk membisikkan sesuatu pada gadis itu. Katanya, "Nenek nggak tahu kita mau ke sini."
Echa menoleh cepat. "Jadi? Selain nyulik Echa, Raga bahkan nggak ngasih tahu Nenek sama Kakek kalau kita mau ke Bandung?" selidik Echa sengit.
Raga nyengir. "Biar 'SURPRISE!!' gitu."
Echa merotasikan bola matanya. "Emang dasar cucu nggak tahu diri," cibirnya.
Raga melotot. Lelaki itu melepaskan genggaman tangannya. "Apa kata lo?!"
"Apa?" Echa ikut melotot.
Raga mendengus. Menggandeng lagi tangan Echa.
"Ngambekan," cibir Echa.
Raga tak acuh. Lelaki itu memilih mencari keberadaan Sasmita dan Andoro di dalam rumah. "Mereka ke mana, ya, Cha?"
"Makanya, lain kali kalau mau ke sini bilang, siapa tahu mereka lagi pergi. Kalau main rahasia-rahasiaan beginikan kita jadi nggak tahu mereka di rumah atau enggak," cerca Echa.
"Tapi masa pergi pintunya nggak dikunci?"
"Ya, mana Echa tahu. Echa bukan cenayang."
Raga melirik Echa sinis. Yang dilirik menjulurkan lidahnya. Nyebelin.
"YA, AMPUN, RAGAAAAAAAAAAAA."
Raga yang sedang mengecek dapur terlonjak kaget. Echa di sampingnya mengedarkan pandangan.
"NENEK DI ATAS."
Kedua orang itu otomatis menoleh ke atas. Di sana, tepatnya di lantai dua, Sasmita dengan dasternya sedang membawa botol minyak putih dan koin.
Dia berjalan turun. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?"
Echa berjalan riang menghampiri Sasmita. Di belakangnya, Raga mengekor sambil menatap malas kedua perempuan yang berpelukan sambil berjingkrak-jingkrak.
"Kata Raga biar 'SURPRISE!!!' gitu." Echa tertawa ringan sambil menyenggol-nyenggol bahu Raga. "Raga kangen Nenek 'kan?"
Raga mengangguk malas. Tangannya terulur untuk menyalami Sasmita.
"Kok bau minyak?" Raga mengendus-endus telapak tangannya.
Sasmita berdecak. "Makanya, kalau punya mata itu dipakai buat ngeliat Nenek, bukan cuma Echanya doang yang diliatin," Sasmita melengos sambil menarik Echa untuk mengikutinya, "huh, lama-lama Nenek pecat juga jadi cucu. Udah tahu lagi megang minyak, masih nanya kenapa bau minyak. Echa mulu sih yang dipikirin."
"Kok jadi Echa, Nek," Echa menggembungkan pipi dengan rona merah di sana.
"Lha, iya. Orang yang ada di otak Raga cuma nama kamu doang. Echa, Echa, Echa, menggema sampai ke relung hatinya."
Echa mengerucutkan bibir sekilas.
Sasmita dan Raga tertawa. Lelaki itu menjajari Echa. Ketiganya berjalan menaiki tangga yang terbuat dari kayu jati dengan pegangan berornamen batik.
"Kakek sakit?"
"Iya, kemarin dia habis hujan-hujanan sambil main bola sama geng kompleks sebelah. Hais, bener-bener nggak tahu umur si Andoro."
Echa tergelak. "Kakek 'kan juga pengin tetep eksis, Nek. Kayak anak muda."
Raga menyahut, "Eksis sih eksis, Cha. Kakek kalau terlalu bersemangat suka nggak tahu waktu. Seminggu sekali pasti ada aja tingkahnya. Encok pas main sama cucu tetangga, insomnia karena sering ikut ronda malam, kecanduan catur sama anak remaja sebelah, masuk angin karena india-indiaan sama Nenek."
Sasmita menyenggol keras bahu Raga. "Sok tahu," cibirnya.
Echa tertawa.
"Kenyataannya gitu, 'kan?" Raga tak mau kalah.
"Eh, tapi. Kamu kok bisa tahu kebiasaan kakek? Kamu kan paling susah kalau disuruh main ke sini."
Raga yang ditanya seperti itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Buru-buru, dia membuka pintu kamar Sasmita dan Andoro. "Udah dulu ghibahnya. Nanti kuping kakek kebakaran."
"Idih," Sasmita menggandeng lengan Echa, "gitu tu kalau gengsinya tinggi. Cuma bilang 'iyalah tahu, Ragakan suka nguping pembicaraan mama sama Jiwa' susah banget."
Raga mendelik. Echa tertawa sambil menutup wajahnya. "Nggak sopan."
"Dengerin tu kata Echa. Yang sopan sama yang lebih tua."
"Nenek sadar juga udah tua."
Masih di depan pintu kamarnya, Sasmita menuding Raga dengan telunjuknya. "Mau Nenek kutuk ya jadi batu?! Nenek abadikan di museum sebagai batu cucu durhaka, mau?!"
Raga tergelak. "Nggak, ah. Raga kan sayang sama Nenek."
"Unchhhh." Sasmita tersipu sambil menarik Echa masuk ke dalam.
Echa hanya bisa menurut sambil geleng-geleng kepala, merasa heran dengan nenek dan cucunya yang badung itu.
Tapi, lucu juga sih kalau diliat-liat. Nggak kayak Echa yang udah nggak punya nenek.
"Udah aku duga kalau suara ribut itu asalnya dari kalian berdua."
Raga nyengir. Menyalami Andoro yang terbaring di pinggir kasur dengan banyak koyok di kakinya. Echa mengikuti.
"Semoga cepet sehat lagi, Kek. Biar bisa tanding bola sama Raga," kata Echa setelah menyalami Andoro.
Andoro tertawa. "Aamiin aamiin. Ide yang bagus."
"Jangan. Kasian Kakek. Ntar kalah sebelum ngegolin bola."
"Weh, sombongnyaaa. Kamu lupa kalau Kakek kamu ini dulu sering ikut pertandingan di kampung??" bela Sasmita.
"Jadi pemain cadangan 'kan?"
"Wahhh, bener-bener ini anak. Dari tadi ngajak berantem mulu."
Andoro dan Echa tertawa. "Kutuk aja, Nek. Kutuk," panas Echa.
"Jangan. Pending dulu. Tunggu Kakek kalahin dia baru boleh kamu kutuk, Sas," celetuk Andoro.
Lagi-lagi mereka tertawa. Raga hanya bergumam kesal.
"Ya, udah. Kakek istirahat yang banyak. Raga mau ajak Echa ke danau." Raga beralih menatap Sasmita. "Maaf, ya, Nek. Raga cuma bercanda."
Sasmita tersenyum lembut. Wanita yang tak lagi muda itu menarik Raga dalam pelukannya. "Iya. Nenek tahu kok," diusapnya punggung Raga, "lain kali, banyakin nengok kita di sini, ya, Ga. Mumpung Nenek sama Kakek masih ada." Sasmita mengusap sudut matanya yang berair.
Andoro tersenyum melihat Raga yang manggut-manggut. Pria itu menatap Echa dalam diam. Perlahan, tangannya terangkat untuk mengusap punggung tangan Echa.
Echa yang sedang menatap Sasmita dan Raga terkesiap. Matanya langsung terpatri pada wajah Andoro yang jika diamati lama-lama, garis wajahnya yang sudah mengendur pastilah mirip dengan Raga saat masih kencang.
"Temenin Raga terus, ya. Dari dulu, dia udah sayang banget sama kamu," ucap Andoro lirih. Dia tersenyum lembut. "Jaga dia, ya, Ren. Kakek titip Raga di Jakarta."
Echa yang matanya sudah berkaca-kaca karena terharu tidak jadi menitikkan air mata saat Sasmita menepuk bahunya. "Hooh, bener. Kalau Raga nakal, cubit aja ginjalnya."
Echa tertawa. Dia melirik Raga yang sedang mengerling padanya.
"Iya, Kek, Nek. Nanti Echa cubit ginjalnya. Kalau perlu, Echa cubit hatinya."
"Gimana mau dicubit kalau udah dicolong?" celetuk Raga.
Sasmita dan Andoro mengedip jail.
Echa menutup wajahnya, malu.
🌸🌸🌸
Kicauan burung menyambut Echa. Matanya langsung disuguhi birunya air danau dengan rerumputan hijau di sekelilingnya. Di seberang sana, masih ada hutan lebat seperti dulu. Beberapa rakit di tepi danau masih disediakan oleh penduduk.
Perlahan, Echa menjejakkan kakinya di salah satu rakit itu. Kilasan-kilasan masa lalu berputar-putar di pikirannya. Dulu, saat Raga membuatnya berani naik rakit. Dulu, saat dia tercebur ke danau dan Raga kena marah Ben. Dulu, saat danau menjadi tempat pelariannya untuk menangis sewaktu Arlyana dan Ben saling memperdebatkannya.
Itu adalah masa yang sulit sekaligus masa di mana terkadang Echa merasa ingin kembali ke sana. Bertemu mamanya dan mengucapkan banyak terima kasih, bertemu Malvin untuk mengecupi wajahnya sesuka hati. Namun, Echa sadar. Semua itu tidak akan terjadi. Semua itu terlalu semu. Lagipula, Echa sudah punya Ben yang jauh lebih baik dari yang dulu. Itu saja sudah cukup. Ditambah ada Raga, Kyana, Maora, dan masih banyak lagi orang yang sayang padanya.
"Dulu lo teriak mulu kalau gue ajak naik rakit."
Echa menoleh sedikit ke belakang. "Sekarangkan enggak."
"Iya sekarang. Siapa dulu dong gurunya," kata Raga jumawa.
Echa tertawa. "Echa seneng Raga culik ke sini," katanya lalu tersenyum lebar.
"Udah biasa. Apa sih yang gue lakuin, tapi lo nggak suka? Nggak ada."
Echa mencibir. "Banyak."
Raga terkekeh. "Bercandaaaa. Jangan baper." Raga menoel pipi Echa dari belakang.
Echa mencebik.
Keduanya diliputi keheningan cukup lama. Mereka sama-sama menikmati keheningan itu dengan kepala yang memutar setiap kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Semuanya, tidak ada yang terlewatkan.
"Raga."
"Hemm."
"Raga pengin nggak ketemu Aren kecil?"
Pikiran Raga langsung travelling. "Buat anak gitu?"
Echa menabok keras lengan Raga membuat rakit oleng. Untung, Raga dengan sigap memegangi Echa yang hampir tercebur.
"Ngawur!!!"
Raga tergelak. "Lagian kalimatnya ambigu banget."
"Bukan itu maksud Echa," katanya bersungut-sungut. Pikiran Raga emang ngeres!
"Terus maksud Echa?" tanya Raga mengikuti gaya bicaranya.
"Ya ketemu Aren. Echa yang waktu kecil. Kembali ke masa lalu gitu."
Raga mengulum senyum. Karena posisi keduanya yang sekarang berhadap-hadapan, Raga dengan mudah menarik dagu Echa agar gadis itu menatapnya. "Enggak."
"Kenapa enggak? Bukannya kalau kembali ke masa lalu Raga bisa ngelakuin apa yang belum Raga lakuin?"
"Karena belum tentu gedenya gue bisa di sini sama lo."
Echa terdiam. Matanya terpaku menatap Raga yang sedang menatapnya dalam. Benar juga.
"Buat apa pengin kembali ke masa lalu? Buat ngerubah takdir? Nggak tertarik. Lagipula, semua udah digarisin Tuhan buat kita, mau gimanapun kita ke sana sini nyari yang kita mau, akhirnya bakalan ketemu sama ketetapan-Nya."
Echa menunduk.
Raga menarik dagu Echa lagi. Dia ingin Echa menatapnya. "Kalau yang lo maksud buat ngerubah pilihan, gue nggak butuh."
"Kenapa?"
Raga tersenyum lembut. "Karena yang gue butuhin sekarang cuma mempertahankan apa yang udah gue dapet," Raga menggenggam tangan Echa, "elo."
"Kalau Echa bukan takdir Raga?"
Raga menipiskan jarak keduanya. "Buat apa mikirin hal-hal negatif?"
"Ya kan semua kemungkinan pasti ada."
"Gampang, kalau lo bukan takdir gue, gue tikung jodoh lo di sepertiga malam."
"Dih!" Echa mendelik.
Raga tertawa. "Jangan suka negatif thinking. Lebih baik jalanin aja yang lagi kita hadapi," Raga menyentil hidung Echa, "jangan pernah takut ngambil resiko."
Echa terkekeh. "Iyaaaaa, Raga Teguh."
"...."
"...."
"Cha."
"Ya?"
Raga tersenyum lebar. Lelaki itu menyugar rambutnya dan mengedarkan pandangan. "Sepi, ya," cicitnya.
"He'em." Echa ikut mengedarkan pandangan. Dia belum sadar akan datangnya bahaya.
Raga menyeringai. Dia makin menipiskan jarak di antara keduanya sampai Echa menegang saat Raga menggesek hidungnya dengan hidung lelaki itu.
"R-Raga."
"Hmmm." Raga bergumam.
Echa mendaratkan tangannya di dada Raga untuk menahan lelaki itu.
Raga menjauhkan wajahnya.
Echa tersipu. "Jangan," cicitnya.
"Jangan apa?"
Gadis itu memukul dada Raga sebal.
Raga tertawa ringan. "Selamat ulang tahun, Cha."
Echa tersenyum. "Udah Echa tunggu dari dua hari yang lalu."
Raga mendedikkan bahu. "Emang sengaja."
"Uuuuu, nggak asyik."
Raga tertawa. Lelaki itu mengusap bibir Echa dengan jempolnya.
Dada Echa bergemuruh. "Ga...."
Raga mengulum senyum. "Boleh, ya?"
"Ga...."
"Cha, buat kado."
Echa mendesah. Raga terlalu sulit untuk ditolak. Akhirnya, dia pasrah. "Hmm."
Raga tersenyum senang. Dengan semangat 45, lelaki itu kembali memajukan wajahnya. Echa mencengkeram baju bagian depan yang Raga kenakan.
Tinggal sedikit lagi....
Echa mendorong Raga kuat-kuat. "ASTAGFIRULLAH, RAGA!!!! DAYUNGNYA TENGGELAM!!"
"Hah?! Apa?!"
"Dayungnya tenggelam! Gimana kita bisa ke tepian?!!!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro