Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Extra Part 2

MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

"Yang jauh mendekat, yang dekat merapat."

🌸🌸🌸

    "Jiwa jangan nakal-nakal ya di Jogja. Kasian Nathalie."

    "Jangan godain cewek di sana."

    "Jangan jahat juga. Kalau nggak sengaja ada yang nabrak, nggak usah alay minta macem-macem."

     Pelototan Raga membuat gadis yang mengenakan dress merah muda bermotif bunga-bunga dan dilapisi sweater krem itu tertawa geli. Nathalie apalagi, gadis itu sejak tadi sudah melepas tawanya bersama Jiwa, Leon, Natasha, dan Herman.

    "Harusnya 'kan gue yang bilang gitu, Cha." Nathalie menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Matanya melirik malu Jiwa sekilas, sedangkan lelaki itu mengulum senyum.

    "Coba bilang," goda Natasha.

    Wajah Nathalie memerah. "Udah semalem, Ma." Gadis itu menunduk malu.

    Semua yang ada di sana tertawa, kecuali Raga yang sejak tadi mengunci tatapannya pada Echa. Echa yang sadar diamati langsung menatap Raga jengkel dan memberi isyarat untuk sabar dengan mengusap dadanya tiga kali.

    Raga mendengus. "Udah sana buruan pergi," usir Raga pada Jiwa.

    Tawa orang-orang itu lenyap. Mereka menatap Raga yang wajahnya mendadak kaku dengan bingung.

    Natasha mencolek lengan Raga berulang kali. "Bilang aja kamu tu nggak mau kakak kamu pergi 'kan? 'Kan? 'Kan?" Natasha mengerling jail.

    Leon yang berdiri di samping Raga menepuk pundak adik tirinya teratur. "Lo tenang aja, Ga. Masih ada gue. Gue ini apa aja bisa. Jadi, lo nggak perlu khawatir kalau Jiwa pergi," ucap Leon jumawa.

    Raga berdecih. Lelaki itu menepis tangan Leon yang ada di pundaknya. "Najis," desisnya membuat Leon tergelak.

    "Lo sama Kakak sendiri nggak ada hormatnya sama sekali!" Leon menonyor kepala Raga.

    Raga melayangkan tatapan tajamnya pada Leon sebelum memiting leher lelaki itu. "Nih, hormat. Nih!"

    "Mama! Papa! Anaknya KDRT!"

    Natasha menepuk jidatnya. Anak-anaknya itu membuatnya malu karena menjadi bahan tontonan di bandara seperti ini. Dengan perasaan gemasnya, wanita itu menjewer kuping Raga dan menatap anaknya  yang sangat mirip dengan almarhum suaminya itu garang. "Minta maaf nggak?"

    Raga mencebik. "Besok, ya. Pas lebaran," cicitnya.

    Natasha memicikkan matanya. "Sekarang," final Natasha.

    Raga mengehala napas, mencoba menghilangkan rasa gengsinya demi Natasha. Lelaki itu melirik Leon yang sedang tersenyum penuh kemenangan. "Maaf, Yon," lirihnya.

    Echa mengamati Raga dalam diam.

    "Apa? Nggak denger." Leon mengernyitkan dahinya. Wajah lelaki itu terlihat menyebalkan di mata Echa, apalagi di mata Raga.

    Raga menaruh tangan kanannya di bahu Leon, menarik nalas dalam-dalam dan mengeluarkannya sambil meremas bahu kakak tirinya itu. "Maaf, Yon."

    Leon meringis.

    Natasha mencubit tangan Raga yang bertengger di bahu Leon dan menatap kedua anaknya bergantian. "Kamu nggak usah main-main," nasehatnya pada Raga. "Dan kamu juga nggak usah godain adek kamu. Udah tahu adek kamu sensi banget, nggak ada manis-manisnya," katanya pada Leon.

     "Nggak kayak Le Mineral, ya, Ma?" canda Leon.

    Mereka tertawa, kecuali Raga yang berwajah masam.

    Echa mengulum senyum. Dia paham Raga sudah tidak sabar mengajaknya ke suatu tempat. Gadis yang sejak tadi berada di sebelah Nathalie itu merapatkan tubuhnya pada Raga. Dia mendongak, menatap kedua bola mata Raga yang juga sedang menyorot matanya. Echa tersenyum lebar, Raga membelasnya dengan senyum kecil. Tangan kirinya secara otomatis menggenggam tangan kanan Echa. "Sini aja nggak usah ke mana-mana," bisiknya pada Echa.

    Echa mengangguk patuh.

    Saat suara panggilan penumpang untuk memasuki pesawat telah terdengar, Jiwa secara spontanitas menyalami dan memeluk Herman yang berdiri di sampingnya.

    "Jiwa pamit, Pa."

    "Hati-hati. Semoga selamat sampai tujuan."

    Lalu, dia memeluk Natasha.

    "Ma, jangan nangis." Lelaki itu mengusap air mata di pipi Natasha.

    Natasha terkekeh. Wanita itu memeluk putranya erat, lalu melepas pelukannya dan menepuk kedua bahu Jiwa. "Abang jangan nakal, ya. Jangan lupa shalat lima waktu."

    Mendengar Natasha memanggilnya Abang, Jiwa tersenyum lebar. Lelaki itu sekali lagi memeluk Natasha. "Iya, Ma. Mama juga. Makan yang banyak. Jaga kesehatan."

    Natasha mengulum senyum, mengusap surai putranya, laku membiarkan anaknya itu berpelukan dengan Leon.

    "Lo di Jogja yang ramah, ya. Ntar nggak punya temen," kata Leon pada Jiwa.

    Jiwa tersenyum kecil. "Iya, Kak."

    Leon bergidik kecil mendengar panggilan "Kak" sebelum akhirnya menepuk bahu Jiwa. "Semoga selamat sampai tujuan."

    Jiwa mengaamiini dalam hati. "Makasih, Yon."

   Leon mengangguk. Matanya mengamati bagaimana Jiwa berdiri kaku di depan Raga. Tapi, kekakuan lelaki itu sirna saat Raga dengan suka rela memeluk Kakaknya lebih dulu. "Semoga selamat sampai di tujuan. Gue sayang lo, Bang. Jaga kesehatan, ya. Jangan lupa makan kalau udah tenggelam sama buku."

    Meski Raga mengucapkannya dengan lirih, membuat semua yang ada di sana tidak bisa mendengar ucapan lelaki itu, namun efeknya luar biasa bagi Jiwa. Lelaki itu tersenyum lebar dan membalas pelukan Raga. "Iya, aamiin. Lo juga. Gue sayang sama lo. Sayang banget."

    Raga tersenyum lebar. Lelaki itu memejamkan mata untuk menghalau air mata yang hendak keluar. Malu sama badan, pikirnya. Masa tinggi, gede, tapi nangis. Lalu, lelaki itu melepas pelukannya masih dengan senyum di bibirnya dan tatapan haru.

    Kini Jiwa berhadapan dengan Echa. Gadis itu langsung memeluknya erat tanpa tedeng aling-aling membuatnya terhuyung ke belakang. "Pinjem bentar," ucapnya lirih pada Nathalie.

   Nathalie tertawa dan mengangguk. "Silakan," bisiknya.

    "Abang udah gede. Jaga kesehatan. Jangan lupa Ibadah. Jangan kayak Raga yang demennya marah-marah, ya. Pokoknya kontrol emosi, jangan dingin-dingin, jangan selingkuh, inget kita semua dan inget Nathalie."

    Jiwa mengulum senyum. Lucu juga mendengar Echa memanggilnya Abang. "Iya, Cha. Bawel banget."

    Echa melepas pelukannya. Gadis itu mengacungkan jempolnya sambil nyengir lalu memutar tubuh Jiwa untuk menghadap Nathalie.

    Nathalie tersenyum tipis. Gadis itu menunduk. Sebenarnya, dia tidak mau diajak LDR. Dia tidak suka hubungan jarak jauh. Apalagi dengan Jiwa yang memiliki paras tampan dan otak yang encer. Lelaki itu bisa mendapatkan perempuan dengan mudah.

    "Tha."

    Nathalie mendongak. Jiwa bisa melihat dengan jelas kedua bola matanya memerah.

    Jiwa menghela napas. Lelaki itu merengkuh tubuh Nathalie dan mengusap punggung gadisnya naik turun. Akhirnya, tepat saat Jiwa mengecup puncak kepala Nathalie, pertahanannya roboh. "H-hati-hati. Semoga selamat sampai Jogja."

    Jiwa mengeratkan pelukannya. "Iya, aamiin."

    "Jangan bandel, ya. Aku sentil dari Jakarta."

    Jiwa tertawa kecil. Lelaki itu melepas pelukannya lalu mengusap pipi Nathalie yang dibanjiri air mata. "Mama aja nggak nangis kejer kayak kamu, masa kamu begini?" candanya.

    Nathalie merengut. Gadis itu mengusap kasar air matanya.

    Jiwa mengusap puncak kepala gadisnya lalu mengecupnya lagi sekilas. "Jaga diri baik-baik."

    Setelah itu, Jiwa tersenyum kecil dan menjauh dari sana. Pergi, meninggalkan orang-orang tersayangnya untuk menggapai cita-citanya.

    "Assalamualaikum. Jiwa pamit."

🌸🌸🌸

    Echa menjilat jempolnya yang terkena krim cokelat dari donat.

    Raha berdecak. Lelaki itu menarik tangan Echa dan mengelap bekas jilatannya dengan tisu. "Jorok," cibirnya.

    Echa nyengir lebar. "Harusnya, tuh, tadi kita beli es krim juga."

    Raga memasukkan tisu bekas tadi ke dalam keresek di sampingnya. "Tadi pagi 'kan udah sebelum nganter Jiwa."

    Echa menggembungkan pipi sebal. "Tapi sekarang belum."

    "Terus? Mau beli sekarang?"

    Echa nyengir lebar lagi. "Nggak deng, di sini dulu aja. Jarang-jarang kita ke sini." Gadis itu menatap ke depan. Matanya menatap hamparan air yang luas dengan mata berbinar.

     "Makanya itu." Raga menonyor jidat Echa.

    Echa mencebik. Menggigiti donatnya.

    Raga menyodorkan sesuatu yang ia ambil dari keresek satunya. "Nih, sosisnya."

    "Raga kalo mau ambil duluan aja. Echa masih ada donat."

     Raga mengangguk. Lelaki itu dengan santai memakan sosis itu dalam diam.

    "Raga mau lanjut di Jogja juga?"

    Raga menoleh pada Echa. Mata lelaki itu tampak sedikit membulat. "Ha?"

    Echa tersenyum kecut. Gadis itu menggigit donatnya lagi sebelum bertanya, "Raga habis lulus SMA mau ke Jogja juga kayak Jiwa?"

    Raga menggigit habis sosisnya, mengunyahnya, dan menelannya sambil memikirkan jawaban dari pertanyaan Echa. "Gue sebenernya belum mikir ke situ." Raga tersenyum kecil sambil menatap burung-burung yang berterbangan di atas ais laut.

    "Mulai mikirlah. Raga 'kan udah kelas 12." Echa menaruh boks donatnya yang telah kosong dan mengambil alih plastik berisi sosis di pangkuan Raga.

    Raga menghela napas lelah. "Mama emang nggak apa-apa sendirian?"

    Echa menatap Raga. "Maksudnya?"

    "Jiwa ke Jogja, Leon ngelanjutin study di Bandung, kalau gue nggak di Jakarta mama sendiri, 'kan?"

    Echa menghabiskan sosisnya. Lalu, dia menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Raga. "'Kan ada papa."

     "Papa kerja, Cha," ucap Raga lirih. Tatapan lelaki itu menyorot pada Echa, membuat Echa tau Raga sangat mengkhawatirkan Natasha.

    Echa mengusap surai Raga. "Nggak sehari penuh."

    Raga menggangguk. Ya, dia tau itu. Tapi, tetap saja hati kecilnya khawatir jika Mamanya kesepian.

     Echa menarik lembut pipi Raga agar lelaki itu menatapnya. "Echa cuma berdua sama papa." Mata gadis itu menerawang.

    "Tapi, Echa sukses dan punya pekerjaan tetap itu cita-cita papa juga. Kata papa, besok kalau udah gede Echa harus sekolah yang tinggi. Jangan sampai Echa nggak berusaha wujudin keinginan Echa. Papa nggak mau nanti Echa nyesel udah kehilangan kesempatan itu, apalagi cuma karena papa sendiri di rumah. Nyatanya, masih ada Mbok Inem, Pak Tejo, sama Pak Ali."

    "Tapi, mama nggak punya Mbok Inem, Pak Tejo, sama Pak Ali."

    Echa mengusap pipi Raga. "Mama punya pekerjaan, pekerjaan itu bisa buat mama punya kesibukan. Nanti pas pulang kerja, mama bersih-bersih sama masak. Pas deh, semua selesai, papa pulang."

    "Kalau elo?" Napas Raga tercekat.

   Echa tertawa. Gadis itu memundurkan badannya. "Apa?"

    Raga mendengus. "Mau jadi apa?"

    Echa tampan berpikir dengan tangan yang diketukkan ke jidat. "Sebenarnya mau Echa banyak."

    Raga mencibir. "Emang."

    Echa tertawa. "Tapi, dari kecil Echa pengin jadi Dokter."

    "Dokter apa?"

    "Dokter anak!" Mata Echa berbinar. Gadis itu tampak snagatmemimpikannya. "Echa pengen bisa nolongin mereka yang kayak Echa dulu, sakit-sakitan, nggak boleh inilah nggak boleh itulah."

    Raga terkekeh. "Besok kalau lo jadi Dokter pasti juga ngelarang mereka ini itu."

    "Yeee, tapi 'kan beda. Echa nggak akan membatasi mereka. Umur manusia nggak ada yang tahu, Ga. Bisa jadi, besok anak itu meninggal, tapi hari ini kita kubur harapannya untuk main dalam-dalam."

    Raga tersenyum miris. "Mikir sampai sana, ya?"

    Echa mengangguk. "Karena Echa pernah jadi mereka. Hampirrrrr aja. Kalau misal hati yang Dokter Angga dapet nggak cocok. Wah, Echa nggak akan bisa ketemu Raga lagi."

    Raga tersenyum simpul. Lelaki itu mengusap surai Echa.

    "Echa ini termasuk beruntung."

    Raga mengangguk. "Iya."

    Gadis itu mengedikkan bahu. "Seandainya dulu Echa meninggal, ya lumayanlah Echa udah banyak bahagia."

     Tangan kanan Echa menggenggam tangan kiri Raga. "Echa juga udah pernah ngerasain main layangan, hujan-hujanan, kecebur di danau, naik rumah pohon, main petak umpet, belajar bareng temen-temen, main bola, main boneka sama-sama."

    Raga mengeratkan genggaman Echa.

    "Nggak cuma berdiam diri di rumah. Terlentang di atas kasur natap langit-langit kamar. Kerjaannya cuma makan, minum, tidur lagi. Makan, minum, tidur lagi. Persis orang habis kena PHK, galau."

    Raga tertawa. Lelaki itu menarik Echa dalam pelulannya. Dia mengusap lengan Echa teratur.

    "Dari sana Echa belajar. Emang bener, yang dibutuhin sama anak-anak kayak gitu tu istirahat biar cepet sembuh. Tapi, apa salahnya ngasih kebebasan kecil supaya mereka bisa ngerasain kehidupan normal? Siapa tahu 'kan, tiba-tiba meninggal? Sekali pun Dokter bilang, kesehatannya mulai membaik, tapi tetap jangan melakukan banyak aktivitas. Halah, sama aja. Kalau Tuhan menghendaki hambanya meninggal saat itu juga, ya udah. Nanti paling orang tuanya nyesel sendiri."

    "Ya, Echa tahu efeknya baik buat kesehatan. Tapi nggak baik juga buat psikis. Makanya, Echa pengen jadi Dokter. Dokter anak, biar Echa bisa buat mereka senyum sampai mereka sembuh atau sampai mereka diambil Tuhan." Echa tersenyum lebar sambil menatap Raga senang.

    Raga ikutan tersenyum. "Dari dulu aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu, Cha."

    Echa menjauhkan dirinya. Gadis itu menatap Raga heran sebelum tertawa ngakak sampai memukuli dada Raga.

    "Apaan sih," ketus Raga.

    "Aku?"

    Raga mengangguk. "Kenapa? Ada yang salah?"

    "Jadi duta sabun lain?"

    Wajah Raga semakin tertekuk.

    "Pernah, sih. Sampai kulitnya licin selicin mobil dikasih oli. Nyamuk aja kepeleset, hahahaha."

    Raga berdecak. "Ya udah kalau nggak suka. Nggak usah gitu juga kali." Raga menggigit sosisnya kasar.

    Echa semakin tertawa.

    Melihat Raga yang sepertinya benar-benar marah, Echa meredam tawanya. "Bercandaaaa, Ganteng."

    Raga hanya melirik Echa. Tapi, Echa bisa melihat lelaki iti menahan senyum.

    "Echa suka kok," dia mengulum senyum, "suka banget."

    Raga lagi-lagi melirik Echa. Lelaki itu mendesis. "Pret."

    "Nggak percayaan!"

    "Emang."

    Echa mendengus, sejurus kemudian dia mengerling jail. "Jadi..., Raga mau jadi apa?"

    Raga diam sejenak. "Jadi bapak dari anak-anak lo."

    "Dih? Yang bener aja!" Echa mengeplak lengan Raga, "mau jadi apa? Echa nanya serius nih."

    Raga tertawa kecil. "Kayaknya gue pengin jadi polisi."

     "Gue?"

    Raga mendengus. "Aku."

    "Aku apa?" goda Echa.

    Raga tertawa geli saat Echa menarik-narik ujung kausnya. "Apa?"

    Echa mengerucutkan bibirnya. "Raga apaaa."

    Raga tertawa renyah. "Sayang Echa."

    "Ha? Apa? Echa merem, gelap gulita, nggak bisa denger."

    Antara kesal dan ingin tertawa, Raga memilih menarik Echa masuk ke dalam pelukannya dan mengacak-acak rambut Echa. "Dasar, Bocil!"

    "Ampun, Pak Polisi!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro