Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

80. Sahabat

MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

"Karena kalau emang dia udah kita anggap sahabat, mau sebesar apa pun kesalahan yang dia perbuat, sulit buat kita untuk bilang dia bangsat. He is a friend, it's like a family, and it would be like that forever."
-Raga-

🌸🌸🌸

    Mentari pagi bersinar terang membuat langit pagi ini tampak sangat cerah secerah wajah Echa. Gadis yang mengenakan seragam sekolah itu mengeratkan tali tasnya sambil sesekali bersenandung kecil.

    Matanya terus mengedar ke sekitar mencari hal-hal menarik yang enak diliat, sampai sebuah motor berhenti tepat di depannya membuat gumamannya terhenti. Wajah cerah Echa bertambah cerah tatkala si pengemudi menaikkan kaca pada helmnya. "Pagi," sapa si pengendara dengan senyum sejuta watt yang akhir-akhir ini sering terlihat di wajah galaknya.

     Echa menarik sudut bibirnya lebar. "Pagi...."

    "Jok belakang kosong, nggak mau naik?" tanya Raga dibumbui tawa renyah penambah semangat yang selalu Echa nanti.

    "Ya naiklah," Echa buru-buru naik ke atas motor Raga dan menepuk bahu Raga, "ayo, jalan, Mang."

    Raga mendengus keras. "Lo pikir tukang ojek?" tanya Raga sinis.

Duk

    Echa memukul pelan helm bagian belakang milik Raga. "Pagi-pagi nggak boleh sinis."

    "Lagian lo nyebelin."

Brum brum brum

    "Berisikkk, nanti tetangga pada keluar buat ngelemparin kepala kamu pakai alat kebersihan, mau?"

     Raga tergelak. "Pakai panci juga nggak? Kayak pas gue tawuran waktu itu."

     Echa yang mendadak mengingat saat Raga tawuran menggunakan alat masak tergelak juga. "Bisa aja, tapi isi pancinya semur jengkol."

     "Kok tahu?" tanya Raga tak lagi mengegas motornya.

     "Tadi, sebelum kamu sampai sini tetangga sebelah masak jengkol, karena kebanyakan dia bagiin ke tetangga-tetangga termasuk rumah Echa."

     Raga bergidik ngeri. "Kalau dimakan mah enak, kalau diguyurin.... Hih, nggak kebayang."

     Echa mengeplak punggung Raga. "Ya makanya cepetan jalan, keburu telat!"

    Omelan Echa terhenti saat Raga dengan jail melajukan motornya secara mendadak. Lelaki itu tidak kira-kira melajukan motornya dengan kecepatan tinggi membuat Echa bisa terjengkang jika gadis itu tidak langsung melilitkan tangannya di perut Raga.

    "RAGA!!!! PELAN-PELAN AJA!!"

    "Apa?! Nggak kedengeran!"

    Echa mencengkeram erat perut Raga membuat lelaki itu meringis sakit. "Pelan-pelan!"

     Raga menuli.

     "HIHHHHH!!! DASAR TUKANG MODUSS!! JANGAN PIKIR ECHA NGGAK TAHU YA SOAL DUET KITA YANG UDAH KAMU RENCANAIN!"

🌸🌸🌸

     Echa mengernyitkan dahinya saat menyadari bahwa pintu kelasnya paling ditutup rapat dan sepi. Padahal, sepanjang jalan menuju kelasnya, semua kelas pintunya tampak terbuka lebar dan ramai akan anak-anak yang nongkrong di depan kelas mereka. Tapi kelasnya, kenapa sesepi room chat pembaca dengan doi?

     Tangan Echa terangkat untuk menaik-turunkan handel pintu.

Klek klek

     Echa mengangkat bahu acuh, sepertinya tidak dikunci. Mungkin memang belum ada yang berangkat, pikirnya. Dengan sekali dorong, pintu terbuka lebar dan menampakkan wajah berseri anak kelasnya beserta warna-warni balon dan kertas krep yang dihias sedemikian rupa di setiap sudut ruang kelasnya itu.

     "SELAMAT ULANG TAHUN ECHA DAN SELAMAT KEMBALI SEKOLAH LAGI!"

Prettttt

     Suara terompet yang Regas tiup dan potongan kecil-kecil kertas lipat berhamburan di atasnya membuat perasaan bahagia Echa kian membuncah.

     "Happy birthday, Echa.... Happy birthday, Echa.... Happy birthday happy birthday, happy birthday, Echa.... Yeayyyy."

     Echa tersenyum haru. Gadis itu menyeka sudut matanya yang berair sambil berjalan mendekati Maora, Dea, dan Kyana yang membawa kue ulang tahun berukuran sedang di tangan masing-masing. "Banyak banget...."

     "Alah, sekali-kali nggak apa-apa," celetuk Dito.

     "Iya, Cha. Kita juga nyambut kepulangan lo dari rumah sakit. Udah sehat, 'kan?"

     Echa mengangguk kecil. "Udah, makasih ya semuanya.... Echa seneng banget."

     "Iya nggak usah sungkan, kemarin lo kan juga ikut ngerayain pas Dea sama Kaisar ultah."

     Echa mengangguk kecil masih dengan senyum di wajahnya.

    "Tiup-tiup lilinya," interuksi Maya yang sibuk mengabadikan momen itu dengan ponselnya.

     "Doa dulu aja," sergah Kyana saat Echa hendak meniup lilin di kue yang ia bawa.

     Echa menautkan alisnya. "Doa?" cicitnya.

     Melihat semuanya mengangguk serempak, Echa mengangkat kedua tangannya dan berdoa. "Em..., apa, ya?"

     "Ya terserah lo, Cha."

    "Oh, iya! Ya Allah.... Semoga semua temen Echa nanti pas ulangan fisika dapet nilai di atas 90, aamiin," doa Echa penuh penghayatan.

Krik krik

     Echa yang heran suasana mendadak hening, menatap satu persatu wajah temannya termasuk Maora dan Kyana. Mereka tampak mematung sambil mencerna doa Echa barusan.

     "Anjir lupa gue kalau sekarang ulangan fisika!" heboh Maora yang pertama kali nyantol dengan perkataan Echa tadi.

     "OH IYA ASTAGFIRULLAH!"

     "Gila! Gue kok lupa, ya?!"

     "Ayo, ayo, belajar, belajar, jangan pada bacot."

     "Gila sih ini gue sampai lupa belajar!! Huaaaa emak nilai anakmu ini berapa nantiii."

     Echa nyengir lebar. Bagaimana teman-temannya yang sekolah sampai lupa jika ada ulangan, sedangkan Echa yang baru saja masuk bisa mengingatnya dengan jelas? "Kok bisa pada lupa?"

    Echa bisa melihat hidung teman-temannya yang kembang kempis. "KARENA NYIAPIN KEJUTAN BUAT LO!" kata teman kelasnya serempak.

     Echa mengerucutkan bibirnya kesal. Jika dipikir-pikir, itu bukan salah Echa. Tapi..., kasian juga jika teman-temannya nanti tidak bisa mengerjakan soal ulangan. "Nanti Echa kasih contekan, deh.... Semalem Echa belajarnya lamaaa banget sampai hafal letak titik koma di materinya," kata Echa menatap teman-temannya yang sudah berkutat dengan buku paket masing-masing.

     Mendengar penawaran emas dari Echa, semuanya lantas mendongak dengan binar mata seperti menemukan harta karun. "Alhamdulillah Ya Allah Ya Rabbi...."

🌸🌸🌸

     Echa mengemasi barang-barang sambil sesekali melirik Raga yang bersandar di ambang pintu. Lelaki itu tengah melipat tangan di depan dada sambil menatapnya tak sabaran.

     "Sabar...," kata Echa menasehati.

     "Lo tadi ke kantor ngapain?"

      Echa mencangklong tasnya dan berjalan mendekati Raga. "Bawain bukunya Pak Bento."

     "Kok enggak Dea aja?"

    "Nggak tahu."

    Raga mendengus kesal. "Tahu aja dia mana yang glowing mana yang glowsong."

    Echa melotot, tangannya melayang untuk menepuk bibir Raga tidak terlalu keras hingga menyebabkan lelaki itu mengerjap beberapa kali karena kaget. "Ngawur aja!"

    Raga mengangkat bahunya. "Ya bener, 'kan?"

     "Nggaklah! Orang Dea bening gitu."

    "Enggak, biasa aja."

    "Bening!"

     "Iya-iya, beninggg." Raga mengalah.

     Echa nyengir. "Jadi nggak?" tanyanya.

     "Ya, jadi dong!" Raga menggenggam tangan kanan Echa dan menuntun gadis itu untuk berjalan mengikutinya.

     "Emang Raga mau ngajak Echa ke mana?"

     "Raga mau ngajak Echa ke Bonbin."

    Echa mengerutkan dahinya dalam. "Ngapain ke Bonbin?"

     "Njenguk saudara lo."

     Echa merengut dengan kilat mata penuh amarah. "Ngaco!" pekiknya sambil mencubit perut Raga.

    Raga tergelak. "Ya kali gue ngajakin lo ke Bonbin."

     "Terus ke mana?" tanya Echa tak sabaran.

    "Sabar...," nasihat Raga meniru ucapan Echa tadi.

     Echa mendengus kesal. "Ya, udah. Kalau gitu Echa nggak mau ikut," kata Echa sambil menjauhkan dirinya dari Raga.

    "Ya jangan gitu...."

     "Makanya bilang mau ke mana!"

    "Ketemu Reza," kata Raga lirih.

     Echa mendongak, matanya terpaku menatap Raga. "Ketemu kak Reza?"

     Raga mengangguk. "Iya, Reza."

🌸🌸🌸

     Echa menautkan jemarinya. Gadis itu tampak enggan melangkahkan kakinya untuk memasuki sebuah ruangan yang telah disediakan untuk menjenguk tahanan.

     "Kenapa?" tanya Raga lirih sambil menarik Echa agar lebih dekat dengannya. Raga lilitkan tangan kanannya pada pinggang Echa. Lelaki itu sedikit menunduk agar bisa melihat wajah Echa yang pias.

     Echa tertegun. Gadis itu mendongak. Ditatapnya Raga yang sedang menatapnya heran cukup lama. "Kak Reza kasian," cicitnya menjawab pertanyaan Raga.

     Raga menghela napas panjang. "Kita udah ngobrolin ini sepanjang perjalanan. Kalau lo nggak percaya sama yang gue omongin tadi, lo bisa tanya orangnya langsung," kata Raga sambil menunjuk seorang lelaki yang tengah duduk tak jauh darinya dengan dagunya.

     "Echa cabut aja ya tuntutannya."

    "Jangan."

    "Kasian Kak Rezanya. Dia aja mau nolongin Echa waktu itu."

    "Lo tenang aja, dia udah ditebus kok."

    "Masa? Boong, ya.... Orang Om Darma minta sendiri sama Echa suruh nuntut Kak Reza."

    "Auah gelap."

    Echa menghela napas panjang. Kakinya mulai melangkah mengikuti ke mana Raga menuntunnya.

     Di sanalah Echa berada. Berhadapan dengan Reza yang menatapnya penuh penyesalan. "Maaf, Cha."

     Echa mengangguk kecil. "Iya. Echa tahu Kakak nggak bermaksud bunuh Echa."

     Reza menunduk dalam saat tatapan Raga menghunus manik matanya. "Maaf, Ga. Gue udah berkhianat, gue udah jadi musuh di balik selimut."

     Raga mengangkat bahunya tak acuh. Lelaki itu menarik kursi di hadapannya dan mendudukinya. Kemudian, dia menginteruksikan pada Echa agar gadis itu duduk tepat di sampingnya.

     Echa menurut.

    "Kak Reza, sehat?"

     Reza mengulum senyum. "Sehat, Cha. Lo..., udah sembuh?"

     Echa mengangguk semangat, lalu tangannya bergerak untuk mengelus perutnya. "Cuma masih nyeri aja kalau kebanyakan berdiri-duduk-berdiri-duduk. Em..., luka Kak Reza udah dijahit?"

     Reza mengangkat tangannya memperlihatkan sebuah bekas jahitan yang sudah mengering. "Udah, nih."

      "Ekhem." Raga berdehem keras membuat dua orang yang sedang mengobrol itu seketika menyadari keberadaannya yang terabaikan. Reza meringis rikuh.

     "Soal hukuman Reza, sebenernya dia dijatuhi banyak pasal dan harus mendekam lama dipenjara. Lo udah tahu 'kan waktu sidang?" kata Raga mencoba menjelaskan sesuatu pada Echa. Sesuatu yang sejak tadi mereka perdebatkan di jalan.

     Echa mengangguk. Ya, dia ingat. Saat itu Echa tidak ingin menutut Reza, tapi justru Pak Darma ayah Reza, meminta langsung kepadanya untuk menuntut Reza dan menyetujui keputusan hakim agar Reza mendekam di balik jeruji besi.

      "Walau lo bilang Reza udah berusaha nolongin lo, tapi nyatanya Reza turut andil dalam penculikan yang Lauren rencanain," Raga melirik Reza yang masih menunduk, "dan orang yang berbuat jahat emang patut dihukum," kata Raga penuh penegasan.

      Echa menatap Reza kasihan. Reza yang sadar Echa terus menatapnya pun mendongak. Lelaki yang memiliki senyum manis itu tersenyum tipis. "Maaf sekali lagi, Cha...."

     Echa mengangguk. Tangannya terangkat untuk mengusap punggung tangan Reza sebelum sebuah tangan mendahuluinya menbuat Echa malah menyentuh punggung tangan orang itu, Raga. Echa mendesis. "Minggir nggak?"

     Raga menatap Echa tak suka. "Emang kenapa?" tanya Raga sensi.

     Echa mendengus kesal dan menyingkirkan tangan Raga yang melingkupi punggung tangan Reza. "Echa, tuh, mau ngasih semangat tahu, jangan ganggu. Awas kalau ganggu, Echa nggak mau ketemu Raga lagi."

     Raga mengerucutkan bibirnya sekilas. "Jangan lama-lama," katanya sambil menyandarkan punggung di sandaran kursi. Matanya awas menatap setiap gerak gerik Echa saat gadis itu tampak sangat kasian pada Reza dan hendak menangis saat Reza berulang kali mengucapkan kata maaf dan menjelaskan berulang kali alasan Papanya meminta Echa untuk menyetujui keputusan hakim.

     "Lo tenang aja, gue cuma sebulan kok di sini. Gue udah ditebus sama bokap gue, Cha. Cuma..., ya..., gue nurut sama keputusannya untuk tetep nginep di sini sebulan supaya gue jera dan nggak macem-macem lagi."

     "Gue bener-bener minta maaf, Cha...."

    "Iya, Kak. Echa tahu kok Kakak aslinya nggak jahat. Echa udah maafin Kakak. Semangat, ya, Kak."

     Raga menghela napas panjang. Ditariknya lengan Echa saat gadis itu matanya mulai berkaca-kaca. "Za, sorry nggak bisa lama-lama."

     Reza bangkit, menatap Echa dan Raga bergantian. "G-gue eng..., maaf banget ya, Ga-"

     "Kita udah bahas ini kemarin sama anak Batam lainnya, keputusan gue udah bulat nggak bisa diganggu gugat."

    Echa mendongak, menatap Raga penuh tanya. Keputusan apa?

     "Sampai kapan pun, lo tetep bagian dari Batam. Lo udah jadi sahabat sekaligus keluarga buat kita semua."

     Raga menepuk bahu Reza pelan. "Kalau lo nolak sekali lagi dan bilang nggak pantes, anak Batam bakal sekalian pura-pura nggak kenal sama lo."

     Sudut bibir Echa berkedut. Jadi..., Reza tidak dikeluarkan dari Geng Batam? Mereka tetap menganggap Reza keluarga, 'kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro