72. H-1
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Kamu itu kayak putri malu, senggol dulu baru gerak."
🌸🌸🌸
"Gue sama Lauren pacaran cuma cinta sepihak."
"Lauren suka Raga udah dari kecil."
"Lauren nggak bisa lepas dari Raga. Kadang gue mikir, itu cewek bisa gila kalau Raga punya pacar dan bener-bener nyuekin dia."
"Ya..., gimana, ya. Lauren, tuh, suka mikirin terlalu keras suatu masalah. Jadi, chat-nya dicuekin Raga aja dia udah kayak orang stres, apalagi Raga punya pacar? Makanya gue bisa mikir begitu."
"Suatu hari gue liat Lauren nyium Raga. Gue pikir Raga yang udah nyium Lauren. Makanya, gue marah sama cowok itu."
"Cemburulah."
"Nggak, konflik kita bukan karena Lauren awalnya. Awalnya, karena kita berdua udah sering jadi rival. Entah rival saat tanding basket atau rival di arena balap. Kita berdua selalu bersaing sampe akhirnya gue tahu kalau cewek gue itu sahabat Raga dan cewek gue suka sama sahabatnya sendiri."
"Kita putus, gue nggak betah digituin."
"Hehe, masih sayang dikit sih. Tapi, gimana ya, hidup gue masih panjang, masalah cinta pikir belakangan."
"Raga? Setahu gue dia sayang sama Lauren cuma sebatas sahabat. Raga tu profesional. Kalau Lauren butuhin dia sebagai sahabat, cowok itu akan langsung pasang badan, tapi kalau Lauren butuhin dia sebagai laki-laki, Raga nggak akan ngeladenin Lauren."
"Gue yakin, Raga punya alasan kenapa dia bisa sampe gituin lo."
Dari semua perkataan Leon kemarin, bukan tentang Lauren yang menjadi pertanyaannya sekarang. Namun, bagaimana Leon bisa tahu Raga sedetail itu? Bahkan lelaki itu memberinya wejangan seperti Leon mengenal Raga luar dalam dan lama. Dari mana Leon tahu semua itu? Bahkan Leon seperti mengetahui masalahnya dengan Raga tanpa perlu Echa bercerita.
"Ngelamun aja lo!"
Echa memelototi Maora.
"Dimakan itu, jangan didiemin aja, kasian."
Echa mengangguk kecil. Tangannya mulai menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya.
"Lo sama Raga masih diem-dieman?"
Echa melirik Kyana sekilas. "Menurut, Kyana?"
Kyana tertawa kecil. "Sensi amat ditanya begituan."
Maora menepuk bahu Kyana pelan. "Dia kan udah bosen, Kyan. Makanya sewot. Palingan dari tadi juga ngelamunin si doi."
Kyana membetulkan omongan Maora.
"Echa akhir-akhir ini lagi bingung."
Kyana menyerutup jusnya. "Lo bingung kenapa lagi sekarang?"
"Kalau kemarin kan Echa bingung kenapa Raga bisa segitunya sama Echa, Echa pikir Raga bakal nemuin Echa, nyatanya enggak. Tapi kalau sekarang, Echa tu bingung mau nanya sama Raga gimana lagi. Setiap Echa deketin dia selalu pergi, keseringan sama Lauren buat Echa ngerasa kalau Echa ini udah nggak ada artinya lagi buat Raga."
"Kayak gitu?"
Echa mendongak, menatap Maora penuh tanda tanya. Maora masih menatap ke arah pintu kafe sambil memberi kode agar Echa ikut menatap apa yang dia tatap.
Echa menoleh, tepat saat matanya melihat apa yang Maora lihat, matanya bertemu dengan mata elang milik Raga. Lelaki itu di sana, bersama Lauren yang menggandeng tangannya mesra.
🌸🌸🌸
"Lo besok harus nonton gue tampil."
Echa mengangguk kecil. "Maora jadi ikut drama musikal atau mentasin cerita Kabayan?"
Kyana tertawa. "Jadi istrinya Kabayan dia."
Maora mendengus kesal. "Awalnya gue nggak mau, karena Kak Vino ikutnya yang drama musikal."
Echa mengulum senyum. Tangannya dengan jail menjawil dagu Maora. "Kesel, ya?"
"Banget! Apalagi pas tahu kalau lawan main Kak Vino ternyata Kyana," Maora memutar bola mata malas, "kesel abis gue."
Echa tertawa. "Udah nasib kamu meranin isteri Kabayan."
Maora hanya mengiyakan dengan gaya malasnya. Echa beralih menatap Kyana. "Drama musikalnya judulnya apa?"
Kyana berdehem pelan. "Putri tidur."
Echa menatap Kyana jail. "Ada adegan ciuman-"
"Nggaklah!" sergah Kyana cepat.
"Ini, tuh, tentang anak SMA yang namanya Putri. Dia kebo banget sampai nggak ada cowok yang suka sama dia. Why? Because gayanya pas tidur bikin orang yang liat mau muntah. Mana dia bisa tidur di mana aja. Nah, akhirnya suatu hari dia ketemu cowok namanya pangeran yang super duper disiplin dan galaknya ngalahin singa kelaperan di Bonbin," kata Kyana menjelaskan.
"Pokoknya kalau lo kepo, lo wajib nonton. Gue nggak mau spoiler sampai ending. Ntar ujung-ujungnya lo nggak nonton malah leyeh-leyeh di ruang OSIS."
Echa menahan tawanya. Hal itu membuat Kyana dan Maora saling berpandangan, tak mengerti apa yang membuat Echa menahan tawa. "Ada yang lucu?" tanya Kyana heran.
Echa menyemburkan tawanya. "Ada. Itu si Putri kebo kamu yang meranin dong? Cocok banget kayaknya sama sifat kamu."
Kyana menatap Echa datar, sedangkan Maora yang sadar tentang perkataan Echa membuat dia ikut tertawa. "Anjir si Echa. Dia ngatain lo cocok jadi Putri tidur, bwahahaha."
"Iya, sih. Muka lo cocok banget sama sifat si Putri yang cuek abis dan belaga tolol."
Echa masih asyik tertawa sambil mencolek-colek lengan Kyana. Tapi, lama-lama Kyana dan Maora sadar juga, Echa tidak sepenuhnya menertawakan nasib Kyana yang memerankan Putri Tidur, di mana Echa berpikir jika kepribadiannya sama dengan Kyana, Echa juga sedang menahan sesuatu yang sudah gadis itu tahan berminggu-minggu.
Walau Echa tertawa, tapi tangan gadis itu terkepal erat. Walau Echa tertawa sampai mengeluarkan air mata, tapi gadis itu sejatinya tidak benar-benar sedang tertawa.
Maora dan Kyana tersenyum miris.
"Udah ketawanya," kata Kyana lembut sambil mengusap punggung tangan Echa.
Echa menghentikan tawanya sambil menyeka sudut matanya yang berair. "Echa tu lucu aja gitu bayangin kamu besok meranin si Putri."
Maora semakin merasa miris melihat Echa yang seperti ini. Jika bukan karena wejangan Echa, Maora sudah angkat kaki dari mejanya dan menerjang Raga dengan makian-makian pedasnya. Tak hanya itu, Maora berani saja disuruh menampar atau mengguyurkan air minum ke muka Raga yang sok polos. Akan tetapi, Maora tidak mau membuat Echa kecewa dengan kelakuan bar-barnya.
"Echa tiba-tiba punya ide. Agak konyol sih tapi."
Kyana dan Maora saling pandang.
Echa menatap Lauren yang tengah menyuapi Raga sesendok es krim. Gadis itu tersenyum miring sebelum menyeka sudut matanya. Lihat saja, hal bodoh yang akan Echa lakukan lagi. Dia sudah tidak tahan dengan semua ulah Raga di depan matanya.
Cukup bayangin, Cha. Bayangin.
Echa menarik napas dalam-dalam. Gadis itu mulai membayangkan hal yang bisa melancarkan aksinya; darah, yang banyak, di area kepala.
"Huek." Echa membekap mulutnya. Jangan sampai dia benar-benar muntah dan membuat para pengunjung jijik untuk melanjutkan makannya.
Maora dan Kyana terkejut. Kedua gadis itu langsung panik membuat banyak pengunjung menatap mereka kaget, termasuk Raga.
"Kenapa, Mbak?" tanya salah satu pelayan lelaki berumur sekitar 22-an. Lelaki itu tampak menatap Echa yang berwajah pucat dengan khawatir.
Kyana menggeleng. "Kurang enak badan kayanya, Mas," Kyana mengedarkan pandangan ke sekitar sambil mengantupkan tangan di depan dada, "maaf mengganggu," katanya lirih. Setelah Kyana mengucapkan itu, semua tampak kembali ke aktivitas masing-masing kecuali Raga.
"Ke rumah sakit, Cha?" tanya Kyana khawatir, benar-benar khawatir karena dia belum sadar jika Echa hanya sedang berakting.
Echa menggeleng lemah. "Nggak usah. Bentar lagi sembuh kok," katanya lirih.
Maora berdecak kesal. Saat ini, menghadapi Kyana yang lola a.k.a loading lama, aktingnya yang bagus sangat diperlukan. "Lo kok gitu sih?! Ayo buruan ke rumah sakit. Mas, tolong gendong temen saya dong. Kayaknya dia pusing banget dan nggak bisa jalan."
"Sempoyongan 'kan, Cha? Ya 'kan?"
Echa tersenyum miring. Maora peka banget.
"Eeh, sembarangan aja," kata Kyana menyela.
Maora melotot kecil. "Ayo, Mas. Tolong. Nggak usah dengerin dia." Maora lagi-lagi melotot, mencoba membuat kyana paham akan situasi saat ini.
"O-oh, iya. Biar saya bantu."
Echa mengangguk kecil. Gadis itu mengulurkan tangannya agar si Pelayan bisa leluasa menggendongnya. Namun, saat si Pelayan hendak menggendong Echa, tangan orang lain sudah mendahuluinya.
Echa menahan senyumnya. Rencana, berhasil.
"Biar gue aja. Lo nggak usah pegang-pegang cewek gue."
🌸🌸🌸
Meski Echa hanya pura-pura, Maora dan Kyana bisa merasakan suasana mobil mendadak suram, sesuram wajah Raga. Lelaki itu tampak menunjukkan raut abstrak dan aura suram yang mendominasi. Padahal, Maora dan kyana sudah mencoba biasa saja. Tapi tetap saja suasana mobil masih sesuram itu karena ada Raga.
Maora melirik Raga dari kaca spion. Lelaki itu tampak mengusap-usap bahu Echa yang ada di pelukannya. Matanya beralih menatap Echa. Lalu, setelah memastikan Echa siap, Maora memberi kode pada Kyana, mencoba bertanya lewat tatapan mata dimana tempat yang aman untuk memberhentikan mobilnya.
Di jalanan yang jauh dari pemukiman. Hanya ada beberapa ruko sepi yang berjajar dan pengendara motor yang berlalu-lalang.
"Kenapa berhenti?" tanya Raga sarat akan kekhawatiran. "Nanti Echa keburu pingsan."
"Echa nggak apa," cicit Echa setelah menegakkan badannya. Gadis itu menunduk dalam sambil memainkan jemarinya.
Raga menatap Echa dalam. "Lo sakit 'kan? Kita harus ke rumah sakit, gue nggak mau lo kenapa-kenapa."
Echa mendongak. "Tanpa Echa sakit pun, Echa udah kenapa-kenapa." Gadis itu menatap Raga dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maaf bohongin Raga, Echa nggak sakit kok. Echa sehat."
Raga menggeram. "Lo bohong?!" tanyanya dengan intonasi yang meninggi.
Echa mengangguk. Memangnya salah?
Raga menyugar rambutnya, lelaki itu mendadak tampak frustrasi. "Gara-gara lo pura-pura sakit, Lauren gue tinggal sendirian di kafe." Tatapan raga tidak selembut tadi. Lelaki itu menatap Echa penuh kemarahan. Memangnya Echa sesalah itu sampai Raga harus marah-narah? Memangnya Lauren tidak bisa pulang sendiri sampai Raga sebegitu khawatirnya?
"Echa cuma kangen sama Raga. Apa itu salah?"
Raga menatap Echa tajam. "Nggak salah, sama sekali nggak salah."
"Terus kenapa marah-marah?"
"Lo nggak tahu apa-apa, jadi lo nggak ngerasain yang gue rasain, Cha. Sebingung apa gue sekarang."
"Ya gimana Echa mau tahu kalau Raga nggak cerita?! Raga selalu menghindar kalau Echa datengin. Raga selalu nyari alesan kalau Echa ajak ngobrol. Gimana Echa mau tahu, gimana Echa mau paham kalau Raga aja kayak gitu?!"
Raga menghela napas panjang. "Gue tahu waktu di UKS lo juga pura-pura pingsan."
"Waktu itu gue udah bilang kan kalau gue belum bisa jelasin semuanya?" tambah Raga.
"Nggak harus dengan pergi, Ga. Echa yakin Echa bisa ngertiin Raga. Tapi nggak gini caranya. Raga udah buat jarak yang terlalu jauh."
Raga mengangkat tangannya mengisyaratkan agar Echa diam. "Lo udah buang-buang waktu gue, gue pergi." Raga keluar dari dalam mobil membuat Echa, Maora, dan kyana sontak mengikuti lelaki itu.
Echa mencekal lengan Raga. "Raga mau ke mana?"
"Lauren butuh gue," desis Raga.
Echa melepas cekalannya. Perlahan, air matanya luruh bersama rasa percayanya yang hilang.
"Kenapa nggak bilang dari awal aja?" Echa tersenyum getir.
"Harusnya Raga bilang dari awal. Biar Echa nggak berharap lebih!"
Raga hendak menggenggam tangan Echa, namun gadis itu menepisnya. "Nggak gitu, Cha."
Echa mendongak, menatap Raga tajam. "Sekarang Raga pilih, Echa atau Lauren?"
Raga terdiam. Lelaki itu tampak berkelana dengan dunianya sendiri.
"Nggak bisa jawab?" tanya Echa sinis.
Raga meraup wajahnya kesal. "Cha, gue nggak bisa...."
"Oke, Echa tahu sekarang, Echa paham sekarang. Semua kata positif thinking harusnya nggak pernah ada di otak Echa. Karena emang itu kenyataannya kan, Ga? Semua yang Echa lihat itu emang kenyataannya 'kan?"
Raga menatap Echa yang sedang menatapnya tajam. Gadis itu menangis, karenanya.
"Kenyataannya Lauren lebih segalanya dari Echa. Kenyataannya Raga udah nggak sayang lagi sama Echa. Dan kenyataannya Raga udah nggak mau temenan sama Echa. Oke, Echa paham sama Raga," kata Echa.
Gadis itu membuang muka. "Apa pun hubungan kita sebelumnya, entah temen atau sahabat, sampe sini aja. Echa nggak tahan lagi sama sikap kamu yang aneh. Hati-hati di jalan, di sini sepi. Nanti ada apa-apa sama kamu, kasian Lauren," Echa menatap Maora dan Kyana yang mematung di tempatnya, "yuk, Mao, Kyan. Kita pulang aja. Echa udah puas."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro