7. Curhat Dadakan
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Aku baru tahu, bagaimana kamu menutupi rasa cemburu dengan begitu lucu."
🌸🌸🌸
"Aren! Awas kamu, ya! Bakalan aku bales!" Tawa terlukis di wajah anak laki-laki itu sambil terus mengejar Aren. Dia menyiprat-nyipratkan air sampai sebisa mungkin mengenai wajah cantik Aren.
"Ayo, kejar aku! Bales aku kalau bisa!" Aren terus berlari memecah kesunyian di pantai yang terbilang sepi itu.
"Wah, kamu nantang aku, ya!" Anak laki-laki itu sudah berada tepat di belakang Aren dengan senyum kemenangan.
"Nggak, tuh. Aku nggak nantang." Aren celingukan mencari celah untuk lolos lagi.
"Kamu nggak akan bisa lolos. Aku bakal kejar kamu terus, bahkan sampai ujung dunia pun pasti bisa." Anak laki-laki itu berkata sombong. Dia berjalan mendekat, menipiskan jarak antara keduanya. Baru saja sampai di depan anak perempuan yang dipanggil Aren....
Brukk
Aren terjatuh di pelukannya dengan darah segar yang mengalir dari hidung mungilnya.
Echa mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali. Dia memijat pelipisnya yang cenat-cenut sedari tadi. Diliriknya perut kokoh di sampingnya. Mematung, Echa mencoba mendongak, mencari siapa pemilik perut itu. Saat berhasil melakukannya, benar saja, itu perut Raga.
Echa terpaku. Lama-lama senyum kecil terbit saat sadar dia tidur di pangkuan Raga, lebih tepatnya paha Raga. Raga juga tertidur pulas, wajah damainya mengingatkan Echa pada seseorang, tapi Echa tidak tahu siapa.
Tanpa sadar, tangannya terulur merapikan rambut Raga yang berantakan. Tangannya turun menelusuri alis tebal Raga, mata elang yang sedang tertutup, hidung Raga yang mancung, sampai bibir merah yang tebal itu. Echa tertawa membayangkan Raga ngiler.
Tak sengaja, matanya melihat sebuah kalung di leher Raga. Kalung itu tertutupi seragamnya. Baru saja mau meraihnya, suara ngebass itu membuat Echa mengurungkan niat.
"Mau apa?"
Echa memainkan jemarinya. "Em.... Anu. Anu.... Itu. Itu kalung kamu, tadi.... Cuma mau liat."
"Terus ngapain pegang-pegang muka gue?" Raga menaikkan sebelah alisnya.
"Em.... Ya, nggak kenapa-napa."
"Ganggu." Raga menatap sinis Echa.
"Maaf." Echa menunduk dalam.
Raga menghela napas. "Betah banget tidur di sini. Pegel tahu nggak? Lo itu berat!"
Echa tersadar bahwa sedari tadi dia belum beranjak dari paha Raga. Dia langsung loncat, duduk di samping Raga.
Raga mati-matian menahan senyum gelinya.
Mata Echa menelusuri setiap sudut ruangan di sekitarnya, kamar laki-laki.
Tunggu, kamar laki-laki?!!!
Matanya yang membulat lebar beralih menatap baju yang melekat ditubuhnya, detik itu juga dia menatap garang Raga.
"Raga!!! Ini di mana? Kamar siapa? Baju seragam Echa mana? Siapa yang gantiin baju Echa?!" Echa merengek. Pikiran-pikiran tidak senonoh sliweran di kepalanya.
"Gue," jawab Raga santai.
"Maksud kamu apa?!" Echa memekik. Ingin rasanya dia mencekik Raga saat itu juga.
"Ya, gue. Ini rumah gue, kamar gue, baju lo di mesin cuci gue, yang gantiin baju lo itu juga gue."
Echa menggeram. Tangannya terangkat memukuli Raha. "Ihhh!!!! Kurang ajar!!" Dia tidak menyangka dengan apa yang Raga katakan barusan. Lelaki itu menggantikan pakaiannya?!!!
Raga tertawa terbahak-bahak. Pukulan Echa yang keras membuatnya menjauh. Menurutnya, Echa gampang ditipu, dan wajahnya lucu, wajahnya sangat menggemaskan saat marah-marah. "Bercanda kali, ini rumah mama gue, kamar gue, baju lo di mesin cuci, dan yang gantiin baju lo itu mama gue." Raga terkekeh geli.
Sebuah bantal melayang mengenai tepat di wajah tampan yang sedang terkekeh itu. Raga menatap Echa horor. Sekali sambar, dia membalas timpukan bantal tadi dengan bertubi-tubi.
Echa mengerang kesal. Ditatapnya tajam Raga yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Sebuah ide cemerlang masuk ke otaknya.
Echa tersenyum miring. Mulai menghitung dalam hati.
Satu...
Dua...
Tiga...
Echa lompat, menerjang tubuh Raga dan menggelitikinya. Dia ingin balas dendam!
Raga kelabakan, dia tertawa menjadi-jadi tak kuasa menahan rasa geli di sekujur tubuhnya. "Bwahahaha.... Udah, Cupu! Gue ngaku kalah! Udah, Cupu...." Raga meronta-ronta.
Echa bersikukuh, "Eggak! Echa nggak butuh pernyataan kalah dari kamu! Yang Echa butuh kata maaf!" Dia makin gencar menggelitiki Raga.
"Bwahahaha, gu-gue nggak salah jadi nggak perlu bilang maaf. Hahaha!" Raga kehabisan napas, lelaki itu mulai ngos-ngosan. Badannya lemas sekali.
"Ya udah Echa kelitikin terus aja, sampai kaku, terus ntar mati."
Raga mengerang. "Perut gue udah kaku. Udah, Cupu.... Cupu.... Gue bisa mati kaku." Dia menggeliat-menggeliat di atas kasurnya, mencoba bangkit, Echa menahannya.
Raga yang mulai kesal menatap Echa penuh peringatan. "Berhenti atau gue cium?!"
"Nggak semuanya!"
"Aduh, Raga!"
Raga mencubit kedua pipi Echa gemas, membuat Echa memegangi kedua pipinya sambil menggosok-gosok, sakit. Dia menyingkir.
"Udah, ah. Capek." Raga mengibaskan tangannya di udara. Berjalan menuju balkon, Echa mengikutinya.
Langit sore menyambut mereka. Awan-awan putih yang menggumpal di atas sana, langit jingga dengan paduan warna merah, kuning, dan ungu, serta kicauan burung yang hinggap di pohon, menemani Raga dan Echa yang memilih duduk di balkon kamar Raga.
Keduanya terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Raga menatap lurus ke depan, sedangkan Echa memainkan jemarinya. Dia sedang memikirkan mimpinya tadi, mimpi yang terasa sangat nyata dan membuat perasaannya gundah gulana.
Echa memandangi wajah Raga dari samping. "Raga marah, ya?"
"Iya."
Echa menyelipkan anak rambutnya yang berantakan ke balik telinga. Dia mencebik. "Ya, maaf. Habisnya Raga nyebelin, sih."
"Elo yang nyebelin," kilah Raga.
"Kok jadi Echa?! Orang Raga yang iseng!"
Raga memutar bola mata malas. "Hukuman lo masih 4 hari lagi. Karena elo bikin perut gue kaku, lo harus nemenin gue makan di kantin 4 hari itu," perintah Raga dengan tegas.
"Nggak bisa. Echa 'kan harus sama temen-temen Echa."
"Ajak mereka juga." Kali ini, nada bicara dan tatapan Raga melembut.
Echa berdecak. Raga menatapnya tajam.
"Okelah, Echa mau."
"Gue nggak nanya lo mau atau enggak. Ini perintah, bukan tawaran." Raga sewot lagi
"Iya-iya Echa salah. Nggak usah sewot napa." Echa melengos.
"Idih ngapain lo? Marah? Marah aja nggak ada yang ngelarang."
"Echa marah terserah Echalah, Echa nggak minta pendapat kamu."
Raga menonyor jidat Echa. "Pinter banget ya kalau disuruh ngomong." Raga mendesis. Echa mengelus-elus jidatnya yang ternodai.
Mereka kembali hanyut pada pikiran masing-masing. "Echa bingung. Apa mungkin itu semua sebagian dari memori yang hilang karena Echa amnesia?" Echa menggumam.
"Kenapa?"
"Echa, tuh, lagi bingung. Apa ada yang papa Echa sembunyiin dari Echa ya soal masa lalu Echa."
"Masa lalu?" Raga memperhatikan Echa dengan seksama.
"Ya," Echa membalas tatapan Raga, "tadi, Echa mimpi sepasang anak kecil yang lagi main di pantai. Tapi, Echa nggak tahu siapa anak laki-laki itu. Mungkin, mimpi itu ada hubungannya sama papa yang selalu nggak mau nyeritain masa kecil Echa. Echa kepikiran terus, soalnya kayak nyata banget," Echa menghembuskan nafas lelah. Dia memeluk lututnya.
"Echa amnesia, bisa jadi itu emang memori Echa yang hilang."
Raga termenung.
"Tadi lo bilang..., sepasang?"
"Iya."
"Yang cewek siapa?"
"Yang cewek itu Aren."
Deg
Detik itu juga, Raga menoleh cepat pada Echa. Matanya melebar. Dia berhasil menemukan apa yang dia cari selama ini. Perasaan senang berambat di dadanya. Namun, semua itu malah membuatnya takut. Perasaan senangnya kalah oleh rasa takutnya yang terlalu besar.
"Aren?" tanyanya sedikit bergetar.
"Ya, anak itu aku. Tapi kenapa dipanggil Aren? Itu tanda tanya juga buat Echa." Echa menunduk, memainkan jemarinya.
Tebakan lo bener, Ga.
"Mungkin itu cuma bunga tidur." Raga menatap gadis di sampingnya lekat. Ingin rasanya dia memeluk Echa dan mengucapkan beribu maaf kepadanya.
"Farensa? Arensa? Aren?" Echa menatap langit sore dengan alis yang saling bertautan, "mungkin itu emang Echa, tapi kapan?"
Raga membuang muka. "Nggak usah dipaksain buat nginget, Cha."
Echa menoleh mendengar namanya disebut. Dia tersenyum lebar pada Raga. Raga membalas tatapannya. Cantik, itu kata yang bisa mendeskripsikan apa yang sedang dia lihat.
"Kenapa?"
Echa menggeleng. Mengulum senyum. "Tumben aja seorang Raga nyebut nama Echa. Ini momen langka."
🌸🌸🌸
"Loh, Echa? Lo kok bisa di sini? Kalian mau ke mana?" Jiwa menatap Echa kaget sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Echa ingin menjawab, tapi Raga mendahuluinya. "Bisalah! Gue mau nganterin tuyul kesasar pulang ke rumahnya. Kenapa nanya-nanya?" Raga menatap sinis Jiwa.
"Aduh!" Raga menggosok pinggangnya yang dicubit Echa.
"Cha, besok lo ada acara nggak?" Jiwa tak menghiraukan Raga yang menatapnya tajam.
"Nggak ada. Kenapa?" Echa menatap Jiwa antusis, membuat Raga mendengus kesal.
"Besokkan hari minggu, nemenin gue jalan-jalan mau?" Jiwa menggigit bibir bawahnya.
Echa tersenyum senang dan mengangguk.
"Eh, nggak bisa! Lo besok masih ngelanjutin hukuman lo! Jadi lo perginya sama gue!" Raga menatap Echa marah.
"Kali ini aja, pleaseeeeee. Jangan pelit-pelit atuh, Gaaa." Echa menggenggam telapak tangan Raga, lalu memamerkan puppy eyes-nya, menggemaskan.
"Nggak bisa!" Raga menepis genggaman Echa.
"Please, Ga...." Echa memasang wajah memelas.
"Susah amat sih jalan sama gue?! Gantengan juga gue!" Raga menatap sinis Jiwa.
Jiwa terkekeh. "Dia itu cemburu ceritanya, Cha."
Raga bergidik. "Gue? Cemburu? Ogah banget! Gue cuma pengin dia ngelanjutin hukumannya biar cepet selesai!"
"Udahlah ngaku aja. Gue tahu lo gimana pas lagi cemburu," Jiwa kembali terkekeh melihat pipi Raga yang memerah, "lagian, kalau mau cepet selesai ya dibatalin aja perjanjiannya." Jiwa mengerling pada Echa membuat gadis itu tersipu malu.
"Ya, udah gue izinin!" Raga menatap malas pada Echa.
Echa memekik tertahan.
"Tapi gue ikut!" tambahnya dengan cepat.
Senyum senang di wajah Echa pudar. "Ish, itu mah sama aja bohong, Kakek Lampir!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro