Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

67. Berengsek

MAAF JIKA ADA TYPO

🌸

"Hidup bisa makin sulit, kitanya harus makin kuat. Semangat, ya, kamu."

🌸🌸🌸

    Gadis dengan balutan jaket kebesaran itu menatap kosong barista yang sedang membuatkan pesanan. Tangan yang sejak tadi mengaduk-aduk milkshake dengan teratur itu terhenti saat sekelebat pertanyaan lewat di pikirannya.

    "Menurut Jiwa, Raga kenapa, ya?"

    Jiwa mendongak. Menatap Echa yang sedang menatapnya lekat. Sebelum menjawab, lelaki itu menyeduh minumannya. "Gue kurang tahu. Cuma, Lauren 'kan sahabatnya, Cha. Kita bertiga udah temenan dari kecil, dan Lauren emang paling lengket sama Raga."

    Jiwa tersenyum tipis. "Segalak-galaknya Raga sama Lauren yang rewel, sebenci-bencinya Raga sama Lauren yang rusuh banget, dia tetep sayang sama cewek itu."

    "Bisa aja Lauren nangis minta dianterin ke Mal, makanya Raga luluh dan nurut. Kalau nggak penting-penting amat Raga nggak pernah ngeladenin, Cha. Jadi, bisa aja apa yang mau Lauren beli itu penting makanya Raga mau nganter."

    Echa mengangguk. Matanya menerawang langit-langit. "Ya, bisa aja."

    Echa menoleh, menatap Jiwa. "Jiwa pernah nggak ngerasa cemburu?"

    Jiwa tersentak kecil, merasa tak percaya Echa menanyakan hal itu padanya. Padahal, Echa jelas tahu jika dirinya menyukai Echa. "Engg...," Jiwa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "pernah, sih."

     Echa yang sadar akan pertanyaan konyolnya membuang muka. "Maaf," cicitnya.

    Jiwa tertawa kecil. "Nggak apa. Lagian, setelah gue pikir-pikir, kita lebih cocok adik-kakak daripada pacaran." Jiwa tersenyum lembut.

    Echa nyengir. "Nggak juga sih. Kalau dulu Raga nggak main curang, kita bisa aja udah pacaran," kata Echa diakhiri tawa kecil.

    Jiwa tertawa. "Dia sayang banget sama lo, Cha."

    Tawa Echa luntur. Mata yang tadinya mulai berbinar kembali redup. "Mungkin."

    "Udah pasti, Cha. Bukan cuma mungkin."

    Echa tersenyum samar. "Ya ... Raga pernah sih ngomong ke Echa tentang perasaannya, akhir-akhir ini sering malahan. Tapi, dari kemarin perasaan Echa nggak enak, kayak ... Raga mulai jauh."

    "Ya kan namanya perasaan, kenyataannya nggak mungkin jauh. Dari dulu, dia udah sesayang itu sama lo. Jangan ragu, Cha. Gue yakin, awalnya Raga emang nganggep lo sebatas adiknya karena setahu gue dia selalu pengen punya adik cewek. Tapi, lama-lama rasanya berubah jadi sayang ke lawan jenis, bukan sekedar Kakak-Adik."

    "Kenapa Jiwa bisa sepercaya diri itu ngomongin tentang apa yang Raga rasain? Bukannya kalian nggak akrab, ya? Mana mungkin Raga mau curhat ke Jiwa."

    Jiwa tertawa kecil mendengar Echa meluapkan isi hatinya. "Ya emang kita nggak akrab," Jiwa menyeduh minumannya, "dia juga nggak pernah curhat. Tapi, segalak-galaknya Raga, ekspresinya gampang ditebak. Sedatar-datar mukanya, masih bisa ditebak juga, nggak kayak gue."

    Benar juga. Raga itu ekspresinya mudah ditebak. Mau pasang wajah segalak apapun, seketus apa pun, itu malah membuat lawan bicara tahu jika Raga sedang marah atau merasa tak senang pada lawan bicara. Lain halnya dengan Jiwa, sedatar-datar wajah lelaki itu, maka lawan bicara tidak akan paham dengan perasaannya. Bisa saja Jiwa sedang menutupi rasa bahagianya. Bisa saja Jiwa benar-benar tidak suka dengan lawan bicaranya.

    "Jadi, kalian beneran pacaran?"

    Echa tertegun. Pipinya memanas. "Eng-enggak, enggak kok. Dari awal kita cuma pura-pura, kata Raga biar Echa nggak keliatan ngenes ditinggal Jiwa sama Nathalie."

    Jiwa meringis.

    Echa tertawa kecil. "Tapi, dia bilang kalau dia suka sama Echa. Artinya kita TTM-an 'kan?"

    Jiwa mengangguk, tersenyum simpul, sedang gadis di depannya mendengus kesal. "Raga itu sering banget ngerusak momen yang bikin Echa deg-degan. Kemarin, waktu Echa pulang dari Bandung, Echa kira Raga mau nembak Echa, yang ngomong aja udah meyakinkan banget, eh ternyata cuma kebelet buang air besar."

    Jiwa mengangkat alisnya tinggi, menahan tawa saat melihat Echa merengut. "Emang Raga bilang apa?"

    Echa berdecak kesal. "Gue..., gue..., gua gue gua gue, Echa kira mau ngomong serius, yang dengerin udah dugem jantungnya. Eh, ternyata," sungut Echa.

     Tawa Jiwa tidak bisa ditahan, lelaki itu menatap Echa geli. Gadis itu tidak tahu saja, sepulang Raga dari rumah Echa, lelaki itu marah-marah pada kaca mobil Jiwa. Raga berlagak sedang memaki dirinya sendiri. Saking seriusnya, Raga sampai tidak melihat Jiwa yang masih berada di dalam mobil.

    "Lo tuh cupu banget, Ga. Cuma nembak apanya sih yang susah?"

    "Takut? Cuih, cowok sejati itu harus beranilah," kata Raga menunjuk-nunjuk kaca mobil yang gelap.

    "Apa gengsi?" Raga tertawa sinis, "gengsi lo setinggi apa sampai nembak aja susah banget."

    Wajah Raga memelas. "Iya takut, iya gengsi, gue bingung ngomongnya gimana."

    Saat dengan jail dia menurunkan kaca mobil, Raga langsung berlari ke dalam rumah sambil mengumpat. Jiwa tak bisa menahan tertawanya lagi.

    "Dia pernah nggak nyium lo?"

    Wajah bersungut-sungut Echa pudar, tergantikan semu merah di pipi yang tadi juga sempat datang. "Apa sih. Nanyanya gitu amat." Echa membuang muka.

    Jiwa tak tahan, dia menarik bibir Echa gemas. "Lo, tuh, gemesin tahu."

    Echa membusungkan dada dan menepuknya bangga. "Ya jelassssss," katanya sok iya.

    Jiwa lagi-lagi tertawa. "Raga pernah ngelindur."

    Echa menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Ngelindur apa?"

    Jiwa tampak membayangkan kejadian itu sampai tertawa geli. Echa menatapnya aneh. "Ngelindur kayak apa Jiwa?" tanya Echa kesal karena Jiwa malah asyik dengan pikirannya sendiri.

    Jiwa meredakan tawa gelinya dengan berdehem. "Kayak gini."

    Lelaki itu memejamkan
matanya, mengangkat tangannya ke depan seperti vampir, dan bergumam, "Cha.... Gue sayang sama lo, Cha.... Gue pengen elo...." Jiwa mempraktekkan bagaimana Raga mengigau sambil sesekali memonyongkan bibirnya.

    "Cha.... Gue sayang sama lo.... Mau muah.... Muah doang sini muah jauh amat, heran...."

    Echa tersipu, tapi tak ayal dia tertawa geli. Tidak menyangka Raga bisa mengigau seperti itu. Dia juga tidak menyangka Jiwa mau bersikap absurd hanya untuk menghiburnya. Ya, Echa tahu. Sejak tadi, lelaki itu berpikir keras, bagaimana caranya membuat Echa tertawa dan membuatnya tidak memikirkan perihal Raga dan Lauren atau kejadian kemarin malam.

    "Jiwa bohong!"

    "Beneran."

    "Kok bisa liat? Emang sekamar?"

    Jiwa mengintip. "Enggak, orang waktu itu dia ketiduran di sofa. Mama aja liat, Cha. Kalau nggak percaya tanya aja Mama."

    Pipi Echa semakin memerah. Mama Natasha liat? Mau taruh di mana muka Echa saat bertemu lagi nanti. Kepalang tanggung, Echa sudah merasa malu.

    "Diem, ih!"

    Jiwa tertawa renyah dan kembali melanjutkan aksinya. "Cha..., sini. Mau muah...."

    Echa tertawa devil saat sebuah rencana jail muncul. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan memotret Jiwa yang masih asik mempraktekkan Raga yang mengigau.

Rasain!!

Cekrek

     Sayangnya, dia tidak tahu jika mode suara pada kameranya masih aktif. Karena hal itu, Jiwa langsung menghentikan aksinya dan menatap Echa tajam.

     Echa menahan tawa, buru-buru menyembunyikan ponselnya di balik tubuh.

    "Cha..., siniin nggak HP-nya!"

    Echa tertawa. "Enggak!"

    "Siniin," geram Jiwa.

    Echa menggeleng mantap dengan tawa yang masih menghiasi wajah manisnya. "Enggak mau, wlek." Echa menjulurkan lidahnya, mulai menggoda lelaki itu. Satu sama, batinnya dalam hati.

    Jiwa menggeram, bangkit dari duduknya, dan menerjang tubuh Echa, berusaha mengambil ponsel yang Echa sembunyikan.

    Beruntung, sore itu kedai yang mereka datangi sepi. Jadi, mereka tak perlu merasa malu menjadi pusat perhatian karena hanya ada empat pelanggan yaitu Echa, Jiwa, dan dua pelanggan yang memilih menikmati kopi di luar.

    Echa bangkit, semakin mundur untuk menghindari Jiwa. "Jangan!"

    Jiwa mendengus kesal. Lelaki itu merengut. "Siniin, nggak? Itu aib, Cha."

    Echa tersenyum lebar. "Iya, aib. Siapa bilang ini foto keren?"

    Jiwa kembali menerjang tubuh Echa, mencoba menggambil ponsel sialan itu.

    Tawa Echa lagi-lagi mengudara, bahkan bertambah lebar, Jiwa yang ngambek seperti ini adalah hal langka. Biasanya, sosok itu akan tenang dalam menanggapi berbagai hal, tapi karena sebuah foto? Jiwa sampai merajuk, Echa tak bisa mengelak jika dia terhibur.

    Jiwa berkacak pinggang. Membunag napas kasar. "Cha..., gue malu...."

    Echa mengerling jail. "Ganteng kok."

    Jiwa mengacak rambutnya frustrasi, memasang kuda-kuda untuk menyerang kembali. Namun, wajah yang dia buat segarang mungkin mendadak cemas saat melihat Echa menatap nanar kaca kedai yang besar sambil menggigit bibir menahan tangis.

Jangan lagi

    Tapi, harapannya pupus saat mengikuti arah pandang Echa.

    Di luar sana, Raga sedang tertawa bersama Lauren. Gadis itu melilitkan lengannya di pinggang Raga. Walau hanya seperti itu, Jiwa yakin, ada hal lain yang membuat Echa sampai menahan tangis seperti sekarang. Tadi saja Echa bisa tahan saat Raga lebih memilih Lauren, tapi sekarang? Jiwa semakin yakin jika ada hal lain yang dia lewatkan saat dengan telinganya yang sehat walafiat, dia mendengar seorang Echa mengumpat.

    "Raga berengsek."

🌸🌸🌸

   "Lo, udah bikin gue sama Lauren putus! Puas lo?!"
   
   "Lo lupa? Cewek murahan lo itu yang selalu ngejar-ngejar gue?"

    "Sialan lo!"

    "Daripada elo? Banci! Mainnya keroyokan!"

    "Lo pikir gue mau? Lo pikir gue seneng di deketin Lauren? Gue juga punya cewek yang gue suka! Buat apa gue repot-repot ngurusin Lauren? Dia yang ngusik hidup gue!"

    "Tapi elo cium dia! Lo ambil apa yang selalu gue tahan untuk harga diri cewek!"

    "Kalau gue bilang, dia yang nyium gue duluan lo percaya?!"

    "Mana mungkin lo percaya kalau cewek yang lo bangga-banggain itu sebenernya bicth!"

    Jika Leon tidak percaya pada omongan Raga saat itu, maka Echa percaya. Echa percaya jika Raga tidak mencium Lauren, tapi Lauren lah yang mencium Raga. Buktinya, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Lauren mencium pipi Raga tadi. Artinya, gadis itu sudah sering melakukannya. Gila saja dia mencium Raga di tempat umum, dan apa yang membuat Echa merasa terbakar adalah Raga, lelaki itu bukannya marah malah tertawa setelah Lauren melancarkan aksinya.

Berengsek.

    Echa terus merapalkan kata itu dalam hati seperti doa. Tangannya terkepal di pangkuannya.

    "Cha.... Jangan nangis dong, gue nggak punya bakat nenangin orang."

    "Echa nggak nangis," kata Echa berbohong padahal jelas gadis itu sejak tadi sudah menangis sesenggukan.

     "Itu apa basah gitu pipinya, hm?"

    "Ya nggak tahu orang ngalir sendiri," kata Echa sewot.

    Jiwa sebenarnya ingin tertawa melihat Echa yang seperti itu, tapi melihat betapa kacaunya keadaan Echa, dia tidak tega.

    Perlahan, tangan kirinya menggenggam tangan kanan Echa yang meramas tangan kirinya. "Ada gue di sini."

    "Raga jahat, Ji."

    Jiwa yang memang tidak tahu apa-apa mengernyitkan dahinya. "Lauren cuma rangkul Raga 'kan?" Walau dia merasa ada yang dia lewatkan, Jiwa tetap berusaha menenangkan Echa.

    "Lauren nyium Raga!!"

    Jiwa tersentak kaget sampai melepas genggaman tangannya. Beruntung, dia tidak mengerem mobilnya karena kaget, bisa bahaya nanti karena jalanan ramai "N-nyium?" tanya Jiwa ragu.

    "Lauren nyium pipi Raga dan Raga malah ketawa," Echa menatap mata Jiwa putus asa, "artinya Raga seneng, 'kan? Artinya Raga suka 'kan digituin? Nikmatin, 'kan?" Echa terkekeh sinis, mengusap kasar air matanya yang terus keluar, "ya jelaslah seneng," tambahnya getir.

    "Mungkin aja...." Jiwa mendesah, tidak bisa menuai kata yang tepat. Benar juga, jika Raga malah tertawa artinya lelaki itu menikmati dan memperbolehkan, tapi Raga tidak mungkin seperti itu. Walau tidak akrab, Jiwa tahu bagaimana seorang Raga.

    "Bener 'kan, Ji?" Echa tersenyum miris.

    "Jangan berpikiran negatif dulu, Cha."

    Echa mendengus kesal. Jiwa masih menyuruhnya untuk positif thinking? Padahal jelas-jelas apa yang dia lihat itu hal negatif yang sama sekali nggak ada positifnya. Sekali lihat saja semua orang pasti tau jika dua orang itu tampak bahagia seperti sepasang kekasih.

    Gadis itu hanya diam, tidak menanggapi saran Jiwa yang menyuruhnya untuk berpikir positif.

Mana bisa??

    Echa mendengus kesal. Saat merasakan air matanya mengalir lagi, dia langsung menatap keluar.

    Hening menyelimuti sampai mobil Jiwa berhenti tepat di depan rumahnya, buru-buru Echa berlari masuk ke dalam meninggalkan Jiwa yang melotot kaget.

    "Makasih, Ji."

    "Cha, bentar!"

    Tapi Echa tidak menghiraukan Jiwa yang mengejarkannya, bahkan gadis itu sampai tidak menanggapi Ben yang tampak cemas melihat keadaannya.

    "Kamu kenapa?"

    Echa mundur. "Nggak apa, Pa. Echa mau istirahat dulu ya, maaf."

    Ben yang tidak tahu menahu dengan apa yang sedang terjadi pada anaknya hanya bisa menghela napas panjang dan menyugar rambutnya. Echa butuh waktu, pikirnya.

    "Assalamualaikum, Om."

    Ben menoleh, menatap Jiwa yang berdiri di ambang pintu.

    Ben menautkan alisnya, merasa pernah melihat sosok itu tapi melupakan namanya. "Waalaikumsalam, siapa, ya?" Ben tertawa kecil, "Om lupa namanya."

    Jiwa meringis canggung, menggapai tangan Ben untuk salim. "Jiwa, Om."

    Rahang Ben mengeras. "Kamu yang bikin Echa nangis, ya?" tanya Ben dengan tatapan tidak bersahabat.

    Jiwa gelagapan. "Bukan, Om!"

    "Ohh, Om kira. Lah, terus?"

    Jiwa menunduk. "Saya yang ngater Echa. Boleh saya ketemu dia?"

    Ben menatap Jiwa curiga. "Kalau bukan kamu yang buat dia nangis, kenapa kamu pengin ketemu dia?"

    "Karena saya tahu dia lagi butuh semangat, Om."

    Ben menatap Jiwa skeptis. "Biar saya saja, kamu duduk dulu." Saat Ben hendak berbalik, perkataan Jiwa membuatnya terhenti.

    "Saya nggak yakin Om bakal berhasil."

    "Kenapa?" tanya Ben.

    Jiwa yang sejak tadi menunduk mengangkat wajahnya. "Soalnya Echa sekarang lagi patah hati."

    Ben terdiam.

    "Ini masalah anak muda, Om. Boleh Jiwa aja?"

    Ben tertawa kecil. "Ya, ya, ya.... Boleh, deh. Om tahu Om udah tua, silakan."

    Jiwa tersenyum lebar. "Makasih, Om."

    Ben mengangguk. "Kembali kasih. Tapi, awas aja nggak berhasil."

    "Saya mau diapain, Om?"

    Ben mengangkat tangan kanan dan mengerakkannya seperti mengiris leher. "Kamu berakhir."

    Jiwa tertawa. "Pasti berhasil. Om tenang aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro