65. Tertunda
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Nggak semua hal di dunia ini perlu kita tahu alasannya. Beberapa hal cukup diterima atau direlakan."
Fiersa Besari
🌸🌸🌸
"Mama ke Supermarket bentar, ya."
Perkataan Natasha yang tiba-tiba itu membuat Jiwa dan Raga yang sedang perang dingin saling berpandangan.
"Aku anterin, Ma," celetuk Jiwa.
Raga memutar bola mata malas. "Sok baik," cibirnya.
"Huss, nggak boleh gitu, Ga," tegur Natasha pada Raga. Setelah menegur Raga, perhatiannya teralihkan pada anak sulungnya. "Udahlah, Ji. Habisin makanannya aja dulu, tuh sekalian lauknya, biar Mama nggak usah manasin lagi. Mama bisa kok sendiri, udah biasa kali."
Jiwa menghela napas pelan. "Ya, udah. Hati-hati ya, Ma."
Natasha tersenyum lebar, mengacak rambut Raga dan Jiwa bergantian, mengucapkan salam, beranjak dari duduknya, dan berjalan menjauh sambil melambaikan tangan kanannya. "Mama pergi dulu, ya. Jangan berantem lho. Awas aja kalau sampai berantem, Mama jadiin sarden," ancam Natasha.
Sepeninggal Natasha, hening menguasai. Raga yang mood-nya sedang jelek sejak tadi pagi menambah secentong nasi dengan bar-bar.
Jiwa merasa sedang dikode. "Ga, gue 'kan tadi udah bilang, gue nggak tahu kalau Echa nguping. Mana gue tahu bakal kayak gini kejadiannya."
Raga meletakkan sendoknya sampai berdenting. Matanya menatap Jiwa penuh intimidasi. "Oh, ya?" tanyanya nyolot.
Jika Raga bukan adiknya, sudah dipastikan Jiwa sejak tadi tidak ingin berurusan degannya lagi. Ah, ralat. Sejak dulu. Tapi masalahnya, sosok di seberangnya ini adalah adik satu-satunya sekaligus adik yang benar-benar dia sayangi. Dia hanya bisa terus bersikap dewasa dan mengesampingkan egonya untuk memusuhi.
"Ga...," panggilnya lirih. Raga bergeming, menyuap nasi ke dalam mulut dengan kesal.
Jiwa menghela napas pasrah. Perlu berapa kali lagi Jiwa minta maaf agar Raga memaafkannya? Perlu berapa kali lagi dia menjelaskan kronologinya agar Raga percaya?
"Ga.... Gue minta maaf...," rengeknya membuat telinga Raga geli.
"Gue bakal bantu bujuk Echa, deh. Lo deketin aja, lo pepet sampai mentok, nanti gue yang bujuk Echa sampai berhasil. Gue janji. Gue yakin, Echa nggak bener-bener marah sama lo, dia cuma kecewa sama kelakuan lo yang satu itu."
Jiwa menghembuskan napas resah. Raga mendiamkannya lagi. "Ga, gue minta maaf, kita baru aja baikan loh setelah bertahun-tahun, ya kali udah mau-"
"Iya-iya, udah! Bosen gue dengernya. Gue yang harusnya minta maaf karena gue yang salah di sini. Gue terlalu pengecut sampai bertarung secara nggak sehat." Raga menggigit paha ayam dengan kasar.
Sudut bibir Jiwa berkedut. Raga minta maaf? Jadi, Raga memaafkan keteledorannya?
"Halah. Muka lo bikin enek nahan senyum gitu. Pergi lo sana, bikin mood gue makin anjlok aja."
Jiwa tak bisa menahan senyumnya lagi. Lelaki itu berjalan mendekati Raga yang asik menggigiti paha ayam dengan tatapan intens.
"Ngapain lo?" tanya Raga horor.
Hanya hitungan detik setelah pertanyaan Raga, Jiwa memeluk Raga dengan erat dan berulang kali menggoyangkan badan Raga ke kanan dan ke kiri. "Adek gue yang gantengnya ngalahin Nicholas Saputraaaa. Mending lo buruan ke rumah Echa, dia udah nungguin lo."
Pantas! Pantas saja Jiwa menyuruhnya cepat-cepat ke rumah Echa. Rupanya, dia juga hendak ke sana. Mungkin, Jiwa pikir jika dia yang lebih dulu datang, maka besar kemungkinan dia akan terlibat pembicaraan dulu dengan Echa tentang masalah mereka. Sayangnya, Raga belum siap untuk itu. Aura Echa yang tidak biasa membuat nyalinya menciut. Apalagi, tatapannya yang seakan mengatakan, "BURUAN PULANG DARI RUMAH ECHA!" itu membuat Raga memilih bungkam dan menurut daripada diusir.
Malangnya, apa yang Raga lihat saat ini membuat dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, dia tidak bisa menahan decakan dari bibinya, Raga sudah bodoh amat dengan wajah stay cool-nya yang musnah tergantikan wajah penuh gurat kecemburuan.
Sejak tadi, Echa terus saja mendiamkannya. Iya kalau mendiamkannya ya benar-benar diam tanpa mengobrol dengan sosok yang satunya. Lah ini? Gadis itu malah asyik menanyai Jiwa tentang ini itu seakan dunia milik berdua.
Terus gue ini apa? Pajangan??
"Besok Echa tampilnya berdasarkan nomor undian, dong?"
Jiwa mencuri pandang ke arah Raga. Mengangguk ragu. "Iya. Lo sama Raga tampilnya berdasarkan nomor undian."
Echa mendengus saat Jiwa membawa-bawa nama Raga. "Jiwa udah makan?"
Jiwa melirik Raga yang menyetel musik dari ponselnya dengan volume full. Lelaki itu meringis. "Udah tadi sama Raga di rumah."
Echa memelototi Jiwa. Memberi kode agar lelaki itu tidak terus menyebut-nyebut nama Raga.
"Tolong matiin, dong, berisik," kata Echa sarkas.
Raga mengerucutkan bibir kesal. Tak ayal, jemarinya bermain di atas ponsel dan memencet tombol off.
"Oh, iya. Besok ada rapat, kalian udah tahu, 'kan?" tanya Jiwa mencoba menetralisir suasana.
Echa dan Raga mengangguk bersamaan. "Tadi udah dikasih tahu Kak Radega di grup Osis Pranata," jelas Echa.
Jiwa mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ya ampun lupa!" Echa menepuk jidatnya, dia bangkit dari duduknya. "Bentar ya bentar, tadi Echa lupa nutup korden kamar." Tergesa, gadis itu berlari ke lantai dua menyisakan Jiwa dan Raga yang saling tatap.
"Sorry, Ga," kata Jiwa untuk yang kesekian kalinya penuh rasa penyesalan.
Raga mendengus kesal. "Lo nggak bilang kalau mau ke rumah Echa juga."
Jiwa menggaruk tengkuknya. "Dia yang maksa biar gue nggak ngomong ke elo. Gue juga udah terlanjur janji nggak bilang-bilang."
Raga mencibir.
"Ya, maaf...."
"Iya-iya, ah. Lo dari tadi minta maaf mulu, bantuin gue elah."
Jiwa meringis lebar. "Belum ada saran. Echa mode ngambek nakutin juga auranya."
Raga menekuk wajahnya. "Gue nggak berani ngomong ke dia."
"Lo tawuran aja berani masa kayak gini enggak?"
"Ya lo tadikan juga ngakuin Echa nakutin auranya kalo lagi marah. Artinya lo bisa dong ngerasain jadi gue??" tanya Raga dengan intonasi yang naik satu oktaf.
"Hehe, iya juga."
"HEHAHEHE. Gue harus gimana, dong," katanya melas.
Jiwa mengangkat bahunya. "Dia bilang lagi nggak mau deket-deket sama lo. Gimana ya, tadi 'kan gue udah ngasih saran, pepet dia walau dia nggak mau deket-deket sama lo. Secepetnya, keburu jamuran dia nungguin lo minta maaf."
Raga berdecak kesal. "Ck. Sekarang gue belum berani, besok gue harus nganter-"
"Nih, Echa punya pizza." Echa meletakkan sekotak pizza di atas meja. Tersenyum sumringah dan bersimpuh di depan televisi.
"Nonton dulu nggak apa?"
"Ah, sorry, Cha. Udah malem, kita pulang aja, ya?" tanya Jiwa tak enak hati melihat keantusiasan Echa.
"Yah...," desahnya kecewa.
"Ya udah deh nggak apa. Mungkin lain kali...," Echa melirik Raga sekilas, "ya, Jiwa," tambahnya cepat.
Raga mendengus kesal. "Yi, Jiwi. Yi, Jiwi," cibirnya terang-terangan.
Echa menatapnya sinis. "Apa, sih. Sana pulang, ganggu aja." Echa melotot.
Raga mengerucutkan bibirnya kesal. "Cha."
"Apa?!" tanya Echa sambil melotot.
Raga bangkit dari duduknya. Matanya menyorot Echa penuh intimidasi. Jiwa yang sadar Raga sudah mulai berani, beralih duduk menjauh dan mencoba menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya.
Raga semakin mendekat, membungkuk untuk mensejajarkan tingginya dengan Echa yang bersimpuh di depan televisi. "Cha," panggilnya lirih.
Echa bergeming. Tidak merasa takut, semakin mengangkat dagunya tinggi. "Apa?" jawabnya sewot.
"Gue minta maaf."
Echa membatu. Permohonan dengan nada kelewat tulus dan pasrah itu membuat tatapannya melembut.
Raga berjongkok, menatap Echa penuh penyesalan. "Gue salah, gue salah banget dan gue nyesel ngelakuin itu demi lo. Gue tahu lo ngak suka sama kelakuan gue yang bikin banyak orang susah. Maafin gue, Cha."
Echa masih diam. Menggigit bibir dalamnya.
Tangan kanan Raga terangkat, bertengger di pundak kirinya. Lelaki itu menatapnya dalam, matanya memerah menahan tangis? "Gue...," Raga tak kuasa melanjutkan kalimat yang ingin dia ucapkan. Frustrasi hanya karena menurunkan gengsi, dia meraup wajahnya. "Gue nggak mau kehilangan lo lagi, Cha. Gue minta maaf-"
"Shit!" Raga mengerang lalu berdiri. Dia merongoh sakunya yang bergetar dan mengambil ponselnya yang terus berdering. Tanpa melihat nama si penelepon Raga menarik ke atas tombol merah yang terpampang di layar.
"Haloo??!"
"...."
Wajah Raga menegang. Seakan pikirannya sekarang hanya tertuju kepada si penelepon, Raga berlari keluar rumah dan tidak menghiraukan tatapan heran Jiwa atau pun Echa yang jelas-jelas ada di depannya.
Sebegitu pentingnya kah urusan Raga? Sampai-sampai Raga kesetanan berlari keluar rumah tanpa pamit dan meninggalkan gitar kesayangannya di samping Jiwa. Raga..., seperti melupakan keberadaannya dengan Jiwa. Raga..., seperti sangat mengkhawatirkan sesuatu.
Echa menyeka ujung matanya yang berair. Dia merasa, Raga selalu memberinya harapan palsu. Seperti tempo hari, dia kira Raga ingin menyatakan perasaannya, tapi nyatanya Raga hanya kebelet buang air besar. Dan sekarang?
"Cha."
Echa mendongak, menatap Jiwa yang menatapnya cemas.
Echa tersenyum tipis. Tangannya terangkat saat Jiwa ingin bicara. "Nggak, Ji. Raga emang nggak pernah serius."
Jiwa mendesah. "Bukan gitu, Cha. Mungkin aja dia lagi-" Jiwa menelan ludah kasar. Tatapan Echa sekarang tidak terbantahkan.
"Iya, ji. Cuma mungkin. Apa yang bikin dia ngelupain kita pasti adalah hal yang bener-bener berharga buat Raga. And certainly, perasaan Echa ini bukan apa-apa buat Raga."
Jiwa bangkit dari duduknya, lelaki itu hendak menggenggam tangan Echa namun ditepis. "Jiwa mending pulang aja. Echa lagi nggak mood. Maaf udah ngerepotin dengan nyuruh Jiwa ke sini buat nemenin Echa yang nggak mau ketemu sama Raga."
"Cha. Lo jangan berpikiran negatif gitu, Raga-"
"Raga pergi, 'kan? Tanpa pamitan. Masih kurang jelas? Echa ini nggak ada artinya."
"Raga pasti lagi ada masalah, Cha. Lo harus ngertiin dia." Jiwa hanya menelan bulat-bulat ucapannya dalam batin karena melihat Echa menutup telinga erat dan beranjak dari tempatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro