60. Silam Kelam (2)
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Seindah apa pun skenario manusia, jauh lebih indah skenario Tuhan. Selurus apa pun keinginan manusia, Tuhan tahu cara memberi lika-likunya."
🌸🌸🌸
Jalanan lenggang. Mungkin karena hujan tadi orang-orang jadi malas keluar rumah. Ditambah, udara kota Bandung memanglah dingin. Pasti, mereka lebih suka berada di dalam rumah sekarang. Jika saja bukan untuk menjenguk Ben, Aren sudah bergelung di dalam selimut sambil meminum cokelat panas buatan Malvin. Tapi, demi menjenguk Ben, demi menebus rasa rindunya, Aren menyetel diri sesemangat mungkin sekebal mungkin dari udara yang dingin.
Sore itu Malvin mengendarai motornya membelah jalanan yang licin, Sedangkan Aren di belakangnya memeluk punggung Malvin erat.
"Kak Malvin udah pernah jenguk papa?"
"Kemarin Kakak jenguk papa. Alhamdulillah, udah banyak perkembangan."
Aren tersenyum di balik punggung Malvin. "Papa udah sembuh dong?"
Malvin mengangguk kecil. "Cuma, kalau keinget mama, kadang papa masih ngelakuin self harm. Tapi, nggak sesering sebelum dirawat. Jadi, ya..., perkembangannya cukup pesat. Kak Malvin bener-beber bersyukur atas perkembangan itu."
Aren mengangguk mantap. "Aren yakin Papa pasti sembuh. Nanti, kalau papa sembuh, papa bisa marahin Aren yang main hujan."
Malvin tertawa geli. "Kalau kamu yakin papa sembuh, kenapa kamu nggak pernah yakin bisa sembuh?"
Aren diam. Lebih memilih mengatupkan bibir rapat. Dia saja tidak tahu kenapa bisa sepesimis itu. Mungkin, karena dia pernah mendengar percakapan antara Dokter Angga, Ben, dan Arlyana yang membahas penyakitnya. Katanya, terapi hanya menopang hidupnya yang tidak lama lagi. Dan bersyukurnya, dia masih bisa memeluk tubuh Malvin seperti sekarang, itu tandanya Aren masih diberi kesempatan untuk menghirup udara bebas.
"Kenapa?" desak Malvin karena Aren diam saja.
"Karena..., belum ada pendonor yang cocok. Lambat laun Aren pasti pergi ketemu mama."
"Kalau Kakak punya dua hati, Kakak langsung kasih satu buat kamu," kata Malvin disusul kekehan geli, "sayangnya nggak punya."
"Kak Malvin sekarang suka halu." Aren mencubit pinggang Malvin. Malvin tergelak tawa.
"Emang kenapa? Halu nggak ada yang ngelarang."
Aren mengeratkan pelukannya. "Kata Raga, kalau kebanyakan halu bisa lupa sama yang namanya kenyataan."
"Dia anak kecil, tahu apa soal begituan. Sok gede."
"Itu kata papanya, ih."
Malvin tergelak tawa. "Kayaknya Raga suka halu makanya papanya ngomong gitu."
"Sama dong kayak Kak Malvin! Hahaha."
"Iya-in aja biar cepet kelar."
Aren mengeratkan pelukannya. "Sayang Kak Malvin."
"Sayang Aren."
"Nggak sayang Kak Nana?"
Malvin tertawa keras. "Nggaklah! Sayangnya sama Kak Caca."
"Kok nggak Kak Nana?" tanya Aren heran. Pasalnya, Nana itu menurutnya sangatlah baik. Kadang, gadis itu membawakannya boneka dan semacamnya.
Malvin menghentikan tawanya. "Dia centil gitu."
"Asyik tahu."
"Iya, sebelas dua belas sama kamu." Malvin tak mampu membendung tawanya lagi. Nana memang mirip dengan Aren, terkadang.
"Iya biar! Kak Nana cantik!"
"Arennya enggak, hahaha."
Sayangnya, tawa dan guyonan mereka harus terhenti saat di belokan sebuah mobil melesat dengan kecepatan tinggi menghantam motor yang Malvin kendarai.
Yang Aren rasakan saat itu hanyalah satu, mati rasa. Matanya menatap nanar kepala Malvin yang bersimpah darah di seberangnya. Dua kali. Dua kali bukanlah hal yang sedikit untuk Aren. Dua kali dia melihat orang tercintanya bermandikan darah segar.
Entah sedang berhalusinasi, Aren melihat Arlyana ada di depannya. Mamanya itu mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lembut.
Aren nggak mau ikut Mama. Aren takut Papa sendirian.
🌸🌸🌸
Pertama kali membuka mata, yang Aren lihat adalah langit-langit ruangan yang bercat putih. Badannya sangat lemas. Jadi, dia hanya bisa melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri mencari orang lain di sekitarnya. Hingga, matanya mendapati Tante Ratih yang sedang menatapnya haru. Beberapa detik setelahnya, dia melihat Dokter Angga. Dokter tampan itu berjalan tergesa ke arahnya dan langsung mengecek kondisi tubuhnya.
Senyuman lebar terpampang di wajah tampannya. "Sepertinya dia baik-baik saja. Kita tunggu beberapa hari untuk memastikan hatinya bekerja sesuai semestinya dan cocok dengan tubuhnya."
Tante Ratih mengangguk-anggukkan kepalanya antusias. "Makasih, Dokter," ucap Tante Ratih sambil menatap Dokter Angga lekat.
"Itu sudah kewajiban saya sebagai seorang Dokter. Apalagi, Pak Ben adalah teman saya. Jadi, ini adalah hal yang sepantasnya saya lakukan untuk membantunya."
Setelah mengatakan itu, Dokter Angga undur diri. Sedang mata Aren, terus mengikuti Dokter Angga yang keluar ruangan bersama asistennya. Saat di ruangan itu sudah benar-benar hanya ada dirinya dan Tante Ratih, Aren tersenyum. "Aku kenapa?" tanya anak itu lirih.
Tante Ratih merengkuh tubuhnya. "Echa nggak apa-apa, cuma jatuh aja."
Aren meringis sakit saat kepalanya berkedut nyeri. "Pusing, Tante."
Tante Ratih mengelus surainya lembut. Menyusun pertanyaan-pertanyaan yang harus ia ajukan pada Echa agar tau seberapa parah amnesia yang dialaminya. "Echa inget Papa?" tanya Tante Ratih hati-hati.
"Echa siapa?"
Tante Ratih termenung. "E-Echa itu kamu."
Aren ber 'oh' saja. Meski dia tidak mengingat namanya, dia mengingat dengan jelas sosok Papanya. "Iyalah."
"Em..., Echa inget Mama?"
Aren mengernyit bingung lalu mengeleng. Mamanya.... Dahi Aren berkerut dalam. "Mama Echa? Mama Echa-"
"Mama Echa meninggal waktu ngelahirin Echa. Echa nggak inget?"
Aren terdiam lalu menggeleng lagi. "Enggak." Dia benar-benar tidak bisa mengingat seperti apa sosok Mamanya.
Tante Ratih tersenyum kecil. Wanita itu mengusap-usap surainya lagi sambil menatapnya dalam, sedangkan Aren matanya terus memandang sekeliling. Papanya dan Kak Malvin ke mana? "Kak Malvin sama Papa mana? Tadi Echa kesundul mobil."
Tante Ratih tertawa renyah. Tapi, hanya berlangsung beberapa detik saja sebelum beberapa tetes air mata jatuh di pipinya. "Bukan tadi, tapi seminggu yang lalu."
Aren melolot. "Kok lama?"
Tante Ratih mengangguk kecil. Tangannya terulur untuk mencubit gemas pipi Aren. "Kamu keenakan tidur, sih."
Aren merengut. "Kak Malvin sama papa mana?" tanyanya lagi.
Tante Ratih mengusap kasar air matanya. "Papa lagi shalat. Kalau Kak Malvin di sini," kata Tante Ratih sambil menunjuk dada Aren.
Aren terdiam.
"Kak Malvin udah ketemu mama. Tapi hatinya ada di sini," tambah Tante Ratih mencoba membuat Echa mengerti.
"Echa nggak ngerti. Echa nggak paham."
"Apa yang Echa ngerti?"
Echa menggeleng lemah. "Echa cuma tahu Echa ketabrak mobil. Echa cuma inget punya Kakak yang namanya Malvin, punya Papa yang baik hati, punya Tante Ratih yang sering masakin omlet, dan Dokter Angga yang sering nyuntik Echa. Echa.... Nggak inget hal selain itu. Echa aja nggak tahu siapa Echa."
Tante Ratih tersenyum maklum. "Nanti, sehabis Echa makan, Tante Ratih akan jelasin Echa itu siapa. Tapi sekarang, yang harus Echa tahu, Kak Malvin udah pergi jauh sama Mama. Dan dia..., donorin hatinya buat Echa."
🌸🌸🌸
Setelah kepergian Malvin, Echa hanya tinggal berdua dengan Ben. Seingat Echa, Papanya tidak pernah mengalami gangguan jiwa. Tapi kenyataannya, Papanya pernah.
Waktu itu, setelah Echa diperbolehkan pulang, mereka memutuskan membeli sebuah rumah di Jakarta. Awalnya, Echa merasa aneh sebab Ben sama sekali tidak membawa perabotan atau semacamnya, Papanya itu hanya menbawa baju serta buku-bukunya. Katanya, biar sewaktu-waktu mereka ingin ke Bandung, mereka tidak perlu membawa barang apa pun selain baju ganti.
"Raga nggak pernah ke sini sejak itu?"
Sasmita mengerucutkan bibirnya kesal. "Dia ke sini pas sama kamu doang. Katanya, dia nggak mau keinget Aren. Makanya, setiap lebaran dia cuma vidio call. Padahal, Mama Papanya ke sini."
Echa terkekeh geli. "Tapi nyatanya Raga malah ketemu Aren."
Sasnita mengangguk kecil. Matanya menatap Echa lembut. "Kamu..., suka sama Raga?"
Echa terdiam. Mendadak, dia salah tingkah. "E-enggak."
Sasmita tertawa renyah. "Raga dari dulu suka sama kamu lho. Dia selalu keliatan seneng banget sehabis main sama kamu."
Echa merengut. "Mana mungkin Raga suka Aren. Galak gitu."
"Justru karena galak. Kamu malah gampang tahu kalau dia lagi cemburu. Dan cemburu 'kan tanda cinta." Sasmita mengerling jail.
Echa merengut. "Enggak, Nek."
Sasmita menatap Echa serius. "Jangan pernah ragu sama perasaan sendiri. Karena bisa jadi, besok lusa semua sudah berubah dari semestinya."
Echa tersenyum tipis. "Iya."
"Bagus," Sasmita meminum tehnya, "gimana? Masih mau lanjut?"
Echa menggeleng pelan. Sudut bibirnya semakin tertarik ke atas. "Enggak. Udah cukup, Nek. Makasih banyak, ya."
Sasmita menepuk pipi Echa pelan. "Iya. Salam buat papamu."
Echa mengangguk. "Iya. Salam juga buat kakek."
"Nanti Nenek salamin."
"Aren..., pamit, ya, Nek? Udah ditunggu papa."
"Nggak makan dulu? Nenek masak sayur asem."
"Tadi Aren udah makan," jawab Echa rikuh.
Sasmjta mengangguk kecil. "Ya, udah. Hati-hati, ya."
"Iya." Echa bangkit dari duduknya. Dia memeluk Sasmita dan menyalaminya.
"Jaga kesehatan, ya, Nek. Aren pulang dulu. Assalamualaikum."
"Iya, pasti. Waalaikumsalam."
Gadis itu melambaikan tangannya. Tersenyum lebar lalu membalik badannya menjadi memunggungi Sasmita. Saat sampai di gerbang rumahnya, dia merogoh saku, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, dan membuka sebuah room chat. setelah itu, tangannya mengetikkan sederet kata pada keyboard.
Echa inget semuanya, Raga
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro