55. Ramalan KW
PELAN-PELAN AJA BACANYA XIXI
🌸
"Kebodoamatanmu membuat dirimu tidak peka."
🌸🌸🌸
Memaksakan senyum saat ditanya Ben dan Tante Ratih adalah hal yang cukup sulit ternyata. Jika saja Ben sedang dalam keadaan sehat, maka Echa sudah pasti menanyakan perihal rumah lamanya. Echa pasti sudah menanyakan semua yang ingin dia tanyakan.
Gadis itu berulang kali mencoba bersenang-senang bersama papanya untuk mengenyahkan sementara pertanyaan-pertanyaan yang berserang di otaknya. Tapi, nihil. Tanda tanya terus menggerayanginya.
"Ice cream-nya mau nambah?" tanya Tabte Ratih saat melihat Echa memakan habis cone ice cream-nya.
Echa tersenyum kecil lalu menggeleng. "Udah aja. Dingin, Tante."
Tante Ratih mengulum senyum. "Tante mau nyusul Mas Ben ke toilet, Echa mau ikut atau tunggu di sini?"
Echa berpikir. Matanya tak henti menatap sekitar, pada pasar malam yang sama seperti pasar malam waktu itu. "Enggak, Echa mau ke sana aja," katanya sambil menunjuk tenda peramal. Sepertinya, rasa penasaran lebih mendominasi daripada rasa parnonya.
Tante Ratih tampak tidak suka. "Kamu..., mau..., mm..., ngeramal?" tanyanya skeptis.
Echa gelagapan. "Nggak, nggak, nggak. Bukan gitu Tante."
"Lah? Terus?"
Echa memainkan jemarinya sambil menunduk dalam. "Kemarin, Echa pernah ke sini sama temen. Terus..., Echa ke sana dan...." Gadis itu menggantungkan kalimatnya. Mana mungkin dia berkata jika pernah diramal berumur pendek? Mana mungkin Echa bilang pada Tante Ratih jika Echa ingin memastikan ramalan itu? Gila saja! Bisa dikira Echa musyrik nanti! "..., Echa lupa bayar! Iya! Echa lupa bayar." Gadis itu mendongak, menatap Tante Ratih penuh harap.
Tante Ratih menatap Echa ragu.
Echa memelas. "Kasian peramalnya. Walau Echa nggak percaya, tapi udah kewajiban Echa buat bayar."
Percaya, Tante, percaya.... Demi Echa ,Tante, percaya....
"Nggak mau nungguin Tante sama Mas Ben aja? Biar bareng-bareng ke sananya."
Echa menggeleng mantap. "Biar cepet, Tante. Nggak usah. Sebentar doang kok."
Tante Ratih menghela napas pelan. Tangannya terulur mengusap pipi kiri Echa. "Ya, udah sana. Hati-hati, ya. Inget lho, jangan percaya hal-hal kayak gitu."
Echa mengangguk semangat. Gadis itu tersenyum lebar dan berlari berlawanan arah dengan Tante Ratih.
Madam Rica, Echa on the way
🌸🌸🌸
"Kamu datang lagi?" tanya Madam Rica sambil melempar senyum sejuta watt.
Echa merinding. Sumpah, keramahan Madam Rica di ruangan yang remang itu tidak bisa membuat Echa mengenyahkan kata mati. Mati-matian dia menguatkan iman agar tidak goyah untuk mempercayai hal semacam itu.
Musyrik, Cha. Musyrik!!
Ya terus kenapa kamu ke sini lagi kalau tahu musyrik?!
Karena Echa rasa ada yang belum terselesaikan!
Lah? Mana-
"Silakan duduk." Perkataan Madam Rica membuat lamunan Echa buyar. Dengan kikuk, Echa duduk di depan Madam Rica.
Lagi-lagi senyuman terlukis di wajah wanita itu. "Saya kira, kamu nggak akan ke sini lagi karena takut."
Echa hanya meringis kecil.
"Tapi, saya sangat bersyukur kamu mau datang ke sini lagi."
"K-kenapa?" tanya Echa.
Madam Rica mengerling jail. "Kemarikan tanganmu."
Echa mengulurkan tangan kanannya ragu. Pertama kali Echa melakukan ini, gadis itu diramal akan mati. Lalu, sekarang apa?
Dia memejamkan mata, tak ingin melihat wajah Madam Rica yang begitu dekat dengannya.
"Kamu tahu kenapa saya se-bersyukur ini?"
Echa menggeleng. Masih dengan menutup mata. Dia bisa mendengar jelas tawa kecil Madam. Apanya yang lucu?!
"Kamu baru mendengar ramalan saya, belum penjelasannya."
Echa membuat celah di mata kanannya, mengintip.
"Nggak usah takut. Tatap saya, biar kamu percaya seberapa seriusnya saya."
Akhirnya, Echa membuka mata sepenuhnya. Menatap wajah Madam Rica yang baru dia sadari berseri.
"Saya sering dibilang peramal. Tapi, saya tidak suka itu."
Echa mengernyit samar. "Maksud, Madam?"
"Jika saya terkena kanker otak stadium akhir, kemungkinan apa yang terjadi?"
"Sembuh..., mati?" jawab Echa ragu.
Madam Rica menggenggam tangannya erat. "Kesempatan sembuhnya cuma beberapa persen saja."
Echa mengiyakan.
"Artinya saya akan mati."
Echa mengangguk lagi.
"Sama seperti saya."
"Saya nggak paham, Madam."
Madam Rica mengulum senyum. Mengusap punggung tangan Echa dengan jempolnya. "Saya cuma bisa melihat yang sedang terjadi dan yang sudah terjadi. Saya tidak bisa melihat masa depan."
"Saya..., masih belum paham."
Madam mengangguk kecil. "Saya hanya bisa memprediksi, bukan meramal. Saya dianugerahi kemampuan melihat kejadian yang sedang terjadi dan yang sudah terjadi."
"Pernah mendengar orang yang bisa membaca garis tangan? Itu saya. Tapi, sekali lagi saya bilang, saya tidak bisa meramal masa depan. Saya hanya bisa memprediksi masa depan dengan segala kemungkinan yang sudah ada."
Echa paham sekarang. Madam Rica mengumpulkan informasi dari kejadian-kejadian yang sudah lalu. Tapi, yang Echa tidak paham, apakah dia terlihat penyakitan? Apakah karena Madam tahu Echa pernah terkena kanker hati makanya Madam memprediksi Echa akan mati?
"Saat kamu pergi sebelum saya jelaskan semuanya, saya benar-benar merasa bersalah. Saya merasa khawatir sekaligus takut jika kamu akan depresi dan semacamnya seperti yang sudah-sudah. Mereka yang seperti itu adalah orang yang tidak mau mendengarkan penjelasan saya dan terlalu mempercayai sebuah ramalan." Madam menghela napas lelah.
"Saya tahu kamu menyukai kakak kelasmu. Tapi, kamu malah dekat dengan adiknya. So, semua orang pasti bisa memprediksi jika kamu akan menyukainya hanya dengan melihat kedekatan kalian. Entah nanti, besok, atau besoknya lagi, itu bisa saja terjadi."
Juga, Echa tidak paham, apa hubungannya Echa suka Jiwa dengan kematian??
Madam tersenyum lagi kali ini. Wanita itu mengelus telapak tangan Echa. "Dan prediksi saya sudah terjadi. Saya bisa melihatnya, saya bisa merasakannya."
Dada Echa berdebar kencang. Prediksinya sudah terjadi? Mati? Echa gelagapan meraba-raba tubuhnya, masih padat bahkan Madam masih bisa menggenggam erat pergelangan tangannya.
Madam tergelak tawa. "Bukan itu! Prediksi saya memang sudah terjadi, rasa suka kamu ke Jiwa sudah mati."
Echa speechless.
Apa-apaan itu?!
"Dan ...," Madam Rica mengulum senyum, "rasa suka kamu sudah tumbuh untuk Raga."
Tunggu. APA?! ECHA SUKA SAMA RAGA?!
"Sadar nggak sadar itu sudah terjadi. Kamu nggak bisa menolak takdir."
"...."
"Perasaan kamu ke Jiwa sudah mati."
"...."
"Inilah yang saya ramalkan."
🌸🌸🌸
Iya! Echa memang akhir-akhir ini sering memikirkan Raga. Iya! Echa memang akhir-akhir ini merasa biasa saja dengan Jiwa. Justru dengan Raga, Echa merasakan yang namanya dag-dig-dug sir. Tapi, suka?! Sudahkah?
Echa meraup wajahnya kasar. Iya! Echa suka! Rasanya dia ingin menangis saja. Menangisi ketidakpekaannya pada perasanan sendiri. Harusnya, yang sadar dengan perasaan baru dalam dirinya itu ya Echa. Tapi, kenapa malah Madam Rica?! Ah, bukan Madam. Bahkan kemarin, Maora sudah menanyakan hal itu di saat Echa berusaha bodoh amat.
Mobil Ben berhenti di depan gerbang rumah. Tante Ratih berlari kecil untuk membuka gerbang. Dan sekarang, karena Ben memberhentikan mobilnya di depan gerbang, yang otomatis Echa bisa melihat rumah Nenek Sasmita dengan leluasa, pikiran Echa berubah haluan. Dari Raga, ke..., Raga lagi.
Apa nggak ada orang lain selain Raga yang bisa Echa pikirin??!
Sepertinya besok, Echa punya PR. Dia harus mendatangi rumah Nenek Sasmita. Dia harus gerak cepat mencari tahu masa lalunya. Iya, Echa harus!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro