5. Sudden Attack
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Terkadang, aku berpikir. Kenapa kamu terlihat peduli, tetapi kenyataannya hanya merusuhi?"
🌸🌸🌸
"Mama tenang aja. Papa nggak mungkin bersalah...." Kyana menenangkan Karin yang menangis tersedu-sedu karena suaminya dibawa oleh polisi. Papa Kyana terjerat kasus korupsi. Tapi, entahlah, itu tuduhan atau kenyataan. Hal itu masih menjadi tanda tanya.
"Iya, Mama tahu.... Tapi Mama takut kalau pelaku sesungguhnya benar-benar ingin jatuhin papa. Mama takut itu, sayang.... Takut malah papa yang dijatuhi hukuman." Kyana mengusap air mata di pipi Karin perlahan. Mengusap-usap punggung Karin yang ada di pelukannya.
"Terus kita mau ke mana, Ma?" tanya Kyana. Tadi, mereka sudah masuk ke kantor polosi. Namun, Stevan menyuruh mereka untuk pulang saja karena sudah ada Ardan, pengacara yang sudah sering menangani kasus di keluarga Stevannold.
"Pulang aja, itu perintah papa kamu," Karin menghapus air matanya kasar. Mencoba tegar, "ayo. Mama tahu kamu capek, Sayang." Digandengnya tangan Kyana dan dituntunnya menuju mobil.
Kyana tersenyum miris. "Papa pasti pulang kok, Ma. Kyana janji."
🌸🌸🌸
Echa mendengar jelas apa yang sedang orang-orang bicarakan. Semuanya sama, Kyana. Echa juga baru tahu semua itu tadi pagi, saat papanya bertanya kepada Echa.
Hatinya terasa sesak saat sahabatnya itu menjadi bahan gosip orang-orang padahal apa yang mereka gosipkan belum tentu benar. Dan Echa yakin kalau Stevan tidak bersalah sama sekali bahkan tidak terlibat dalam kasus korupsi itu.
Echa merasa amarahnya sampai ke ubun-ubun saat mendapati kakak kelasnya, geng Checan sedang mengeroyok Kyana di kelas dengan gosip murahan itu.
"Guys! Gue peringatin buat kalian untuk jauh-jauh sama anak koruptor, ntar hidupnya jadi ikut-ikut makan uang haram." Chea menatap sinis Kyana yang menunduk dalam, menahan amarah dan rasa malunya.
"Kalian tahu nggak, sih? Jangan-jangan anaknya juga suka korupsi?" Casa menatap seisi kelas yang sepertinya berpihak padanya. Disayangkan Maora tak ada, kalau ada sudah dihujat mulut sialan itu.
Brakk
Seisi kelas menatap Echa yang mendorong keras pintu, termasuk Chea dan gengnya. Gadis itu berdiri di ambang pintu sambil melempar tatapan permusuhan. Kejahatan memang sebaiknya tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Namun, kalau sudah keterlaluan, ada baiknya jangan dibiarkan. Kalau bisa, basmi tuntas sampai ke akar-akarnya.
"Maaf sebelumnya. Mulut Kakak bisa dijaga nggak kalau ngomong?! Difilter. Jangan asal ceplos," geram Echa penuh amarah.
"Lo ngatur gue? Lo berani sama gue?!" Chea tersulut amarah karena berani-beraninya adik kelasnya itu mengaturnya. Ditambah, dia mengingat jelas siapa Echa. Dia adik kelas yang sudah membuat baju dia basah dan dijewer Miss Glen sampai ruang BK. Mengingatnya, membuat Chea bertambah marah.
"Buat apa takut sama kakak kelas yang nggak punya hati kayak kalian? Ini bisa jadi pencemaran nama baik dan pembullyan, ya, Kak!" Echa maju beberapa langkah mendekati Chea. Membuat nyali Chea sedikit menciut.
"Udah, Cha. Nggak usah diperpanjang." Kyana tak enak hati melihat sahabatnya itu seperti akan bertengkar dengan kakak kelasnya. Apalagi membayangkan jika Echa akan mendapat banyak haters karena sudah membelanya.
"Udah? Kamu bilang udah? Dengan omongan merendahkannya itu kamu biarin aja? Nggak bakal Echa diemin, Kyan!" Echa menatap Chea, Casa, Celyn bergantian.
"Lo mau berantem sama kita?!" bentak Casa.
Echa tersenyum sinis. "Dengan senang hati. Lagipula, Echa tahu Kakak takut." Echa menatap sinis Casa.
"Buktinya ngajak berantem aja bawa-bawa kata 'kita' nggak berani satu lawan satu, ya?" Senyum merendahkan terbit dibibir ranum Echa.
"Sialan lo!" Casa menatap marah Echa. Tangannya terangkat untuk menjambak rambut Echa, tetapi ditepis kasar.
"Wah, dasar! Adik kelas kurang ajar!" cerca Celyn. Gadis itu hendak membantu Casa, tetapi tangannya malah dipelintir ke belakang oleh Echa. "Sakit, Bego!"
"Echa nggak bermaksud nyakitin Kakak. Tapi kalian udah keterlaluan. Echa mohon, jangan nyebarin fitnah." Echa melepas pelintirannya. Casa mengerang.
"Nggak usah sok pahlawan!" Chea memelototi Echa dengan sisa keberaniannya. Melihat bagaimana Celyn dan Casa tidak bisa melukai gadis itu, keberanian Chea terkikis.
"Echa peringatin sekali lagi, Echa bukan cewek yang berantem jambak-jambakan, cakar-cakaran, bahkan saling ngejek, Echa bisa beladiri. Jadi, Echa mohon kalian jangan ganggu kita lagi," kata Echa dengan mata menyorot ketiganya.
"Kalau emang nggak bisa damai, mau pakai kekerasan. Ayo, siapa takut." Tentu saja Echa tidak serius. Gadis itu menggulung lengan seragamnya dan membuat trio abal-abal itu merinding. Tanpa sepatah kata pun, mereka berjalan angkuh keluar kelas.
Echa menatap Kyana. Senyum lega terlukis di bibirnya. "Aman."
Kyana mengusap lengan Echa penuh rasa terima kasih. Matanya berkaca-kaca.
Echa mengedarkan pandangannya. "Dan kalian percaya gitu aja?"
Tak ada yang berani bersuara, bahkan anak laki-laki. Ditambah hanya baru sedikit yang ada di kelas, sekitar lima belas orang saja. Pertanyaan pun Echa terbawa angin.
"Kalau kalian percaya, kalian sama nggak punya hatinya kayak kakak kelas tadi. Karena kalian pasti tahu seberapa baiknya Om Stevan." Echa mendaratkan pantatnya di bangku kosong sebelah Kyana. Seharusnya, mereka bisa berpikir jernih. Stevan itu rajin memberi santunan anak yatim ke banyak panti asuhan dan banyak yang mengetahuinya karena beberapa kali Stevan juga menyumbangkan uangnya pada anak-anak yang bersekolah di SMA Pranata karena beasiswa yang rata-rata dari keluarga menengah ke bawah bahkan ke beberapa sekolah di kabupaten atau luar kota. Beliau juga membangun sebuah sekolah untuk anak yang kurang mampu tanpa biaya sepeser pun. Sekolah untuk anak sekolah dasar.
"Tenang aja, ada Echa di sini. Nggak bakalan ada yang berani ganggu kamu." Echa menepuk bahu Kyana mencoba menenangkannya. Kyana membalasnya dengan seulas senyum sendu.
"Echa yakin, Om Stevan nggak bersalah."
Dalam hati, Kyana juga berharap seperti itu.
Iya, Cha. Papa nggak mungkin bersalah.
🌸🌸🌸
Echa, Maora, dan Kyana berjalan memasuki kantin. Mereka menjadi sorotan di sana, lebih tepatnya Kyana. Banyak yang sedang membicarakan Stevan, tetapi Kyana bersikap acuh, karena tadi Echa dan Maora sudah mewanti-wantinya agar bersikap biasa saja walau hal itu terasa sangat sulit.
"Dia anak si koruptor itu bukan, sih?"
"Hu'um. Tapi 'kan itu belum tentu bener, Dis."
"Iya juga. Tapi tetep aja, bokapnya jadi tersangka."
"Sabar aja...." Maora mengusap bahu Kyana, lalu melahap baksonya.
"Iya...." Kyana menatap hampa siomai di hadapannya.
"Kok malah beritanya jadi nyebar gini, ya?" tanya Echa di sela-sela kunyahan mienya.
"Kayak nggak tahu sosmed aja." Kyana melahap siomainya dengan tidak berselera.
"Bokap lo hari ini sidang?" Maora kembali melahap baksonya.
"Iya, doain aja yang terbaik buat dia." Kyana kembali lesu.
"Eh, gimana kabar kamu sama Aldi?" Echa tersenyum jail, mencoba mengalihkan pembicaraan, dan berhasil.
Pipi Kyana seketika merona. "Kok jadi Aldi, sih?" Aldi, sahabat Jiwa sekaligus sosok yang selalu adu mulut setiap bertemu Kyana. Sosok yang bisa merubah Kyana yang kalem mendadak menjadi singa.
"Kalian 'kan sering berantem siapa tahu tiba-tiba ada someting," goda Maora yang secara tidak langsung malah menyindir Echa. Namun, tak ada yang merasakan bahwa Echa merasa tersindir. Gadis itu menunduk dalam.
Ish amit-amit, ya, Echa ada someting sama kakek lampir!
"Lo..., kemarin gimana sama Kak Raga?"
Echa tersentak kaget. Gadis itu langsung menatap Maora dan nyengir lebar. "Biasa aja."
"Lo diajak ke mana emangnya?" tanya Kyana antusias.
Echa berdehem pelan. "Gedung tua."
Maora membulatkan matanya. "Lo nggak diapa-apain 'kan??"
Echa terkekeh geli melihat Maora sangat mengkhawatirkannya. Namun, saat mengingat betapa kampretnya seorang Raga, dia tertawa sumbang. "Enggak. Echa nggak diapa-apain kok, Mao, Kyan," Echa menatap lurus ke depan, "cuma ditinggalin aja."
🌸🌸🌸
"Lo mau kabur, Cupu?" Suara ngebas itu lagi-lagi muncul membuat telinga Echa berdengung.
"Nggak." Echa tidak mau memperpanjang perdebatan dengan si kampret. Dia langsung saja naik ke atas motor Raga.
"Ngapain lo pegangan?!" Raga menatap tak suka dari spion motor sportnya.
"Jijik gue," tambahnya.
Nusuk-nusuk terus aja! Suatu saat Echa bales!
Echa melepas pegangannya pada ujung jaket Raga. Echa selalu merasa kesal setiap bersama laki-laki urakan itu.
"Baru juga dipegang jaketnya," cibirnya.
Raga tidak mendengarnya. Dan Echa berharap begitu.
Lelaki itu mulai menjalankan motornya menjauhi sekolah. Echa harap-harap cemas. Semoga Raga tidak membawanya ke tempat yang aneh-aneh.
Samar-samar aroma tubuh Raga tercium lagi. Harumnya yang semerbak wangi seperti orang baru saja mandi berhasil membuat Echa sedikit betah berada di samping Raga, ingat cuma sedikit.
Saat sedang menikmati perjalanan yang sebenarnya tidak nikmat, sebuah motor sport hitam melaju kencang bahkan hampir menyerempet motor Raga. Entah mendapat hidayah dari mana, Raga malah menambah kecepatan laju motor dan terjadilah aksi kejar-kejaran dengan motor sport hitam itu dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali Echa hampir terjengkang karena tidak pegangan. Dia terlalu takut dibentak lagi.
"Pegangan!!" Suara ngebas itu mengusir rasa takut Echa.
Tanpa mendebat, Echa langsung melingkarkan erat tangannya ke perut rata itu. Pegangannya sangat erat karena kecepatan motor sport itu juga sangat cepat. Raga sempat tersentak karena Echa terlalu erat memeluknya dari belakang.
Jantung Echa terpompa begitu cepat, pengaruh ketakutannya atas pemikiran liar jika saja motor Raga berguling dan menabrak pembatas jalan. Echa bergidik ngeri. Kehangatan dan wangi tubuh Raga yang makin jelas di indra penciumannya berhasil mengusir pemikiran gila itu. Badannya yang gemetar, berangsur normal.
Baru beberapa detik merasa tenang, Raga malah menambah kecepatan membuat adrenalin Echa kembali meningkat.
RAGA GILA!!
"Pelan-pelan, woy!! Echa belum mau mati!!!"
Raga tak menghiraukannya. Dia tetap fokus mengendarai motornya. Mencoba untuk tetap di depan dan tidak kedahuluan. Sayangnya, motor hitam itu menyalip.
Raga mendesah. Echa pasrah. Entah berapa kecepatan motor ini. Raga berhasil mendahului motor sport hitam itu. Lagi-lagi tak berlaku lama, motor itu mendahuluinya, berhenti tepat di depan motor Raga, dan membuat Raga mengerem motornya mendadak.
Echa seperti terbang. Gadis itu memejamkan matanya erat. Echa yang bingung harus bagaimana hanya bisa mengekor saat Raga turun dari motornya.
Rival Raga turun, membuka helm, terlihat sudah wajah tampannya, seperkian detik Echa tidak bisa berkedip. Ganteng doang. Nggak, ganteng banget!!
Tempat ini sepi, kalau mereka berantem gimana?
Pikiran Echa mendadak berkelana ke mana-mana. Membayangkan kemungkinan terburuk akan Raga yang siap berkelahi.
Deru motor terdengar dari kejauhan, bukan hanya satu, tapi banyak. Motor-motor itu melaju mendekati mereka. Lebih tepatnya mengepung Raga. Echa seperti tak terlihat di sana, tak dianggap.
"Mau lo apa, Leon?!" sentak Raga pada laki-laki pengendara motor sport hitam.
"Jauhin Lauren!" Leon menatap Raga sengit.
"Dia yang deketin gue! Gue juga udah ngehindar!" Amarah Raga kian memuncak saat Leon memandangnya remeh.
Bughh
Sebuah bogeman mendarat di wajah tampan Raga.
"Bangsat!"
Tiba-tiba saja Raga dikeroyok teman-teman Leon. Echa hanya bisa menatap bingung perkelahian di hadapannya. Apa dia harus Menelepon polisi? Ah, tidak mungkin. Ponselnya saja lowbat.
Aha! Echa punya ide bagus, dia akan ikut berkelahi saja karena dilihatnya Raga mulai kewalahan. Bayangkan saja, satu lawan belasan orang.
Sebuah tonjokan mendarat di wajah Raga membuat rasa iba menyelubungi diri Echa. Tanpa pikir panjang, Echa langsung masuk ke dalam kerumunan tanpa memikirkan nasibnya.
Bughh
Echa berhasil melumpuhkan seorang laki-laki berbadan kurus dengan menghajar mukanya dan menendang tulang keringnya. Dia berguling di tanah dan tak bisa bangkit.
Echa tersenyum miring. Cih, beraninya keroyokan!
Raga melongo melihat Echa ikut dalam perkelahian. Dia syok saat tahu bahwa Echa bisa berkelahi. Pasalnya, menurut penglihatan Raga, Echa adalah gadis manja yang sekali sentak olehnya selalu diam. Namun, yang dia lihat saat ini kebalikannya!
Leon terpaku melihat gadis manis yang ikut melumpuhkan teman-temannya, dia memperhatikan gerakan-gerakan gadis itu yang terkesan lincah. Saat matanya tak sengaja bertemu....
Deg
Jantung Leon seakan berhenti berdetak, mata gadis itu begitu hitam pekat dan membuat jantungnya tak henti-henti berlari. Cantik.
Bughh
Bughh
"Arghhhh."
Bughh
"Sialan!!"
Berkali-kali Echa berhasil menjatuhkan para laki-laki kurang kerjaan itu, yang hanya karena perempuan saling menghajar. Ternyata Echa jago sekali saat berkelahi, nyatanya tak ada luka sedikit pun itu.
"Berhenti!!!" teriak Leon membuat semua anak buahnya menghentikan pukulan yang akan mereka layangkan pada Raga.
"Kita bukan pengecut yang beraninya sama cewek," lanjut Leon.
"Alah apaan! Temen-temen kamu aja pada tepar," ejek Echa.
"Kan cuma temen-temen gue yang tepar, gue nggak, tuh." Leon menatap mata hitam itu sekali lagi.
Raga menatapnya sinis. Mendesis.
"Iya kamu emang nggak tepar soalnya nggak ikut berantem! Kalau berani, lawan Echa sekarang juga!" Tanpa sadar, Echa membangunkan singa dalam diri Leon.
"Echa?" Leon memicikkan mata, "gue lawan lo gitu?" tanyanya meremehkan.
Echa melirik Raga yang menatapnya cemas, tetapi wajahnya lempeng seakan tidak mau Echa tahu bahwa lelaki itu mencemaskannya. Echa menatap dalam mata Raga. Lelaki itu terpaku.
Tersenyum miring, matanya beralih menatap Leon yang sedang berada di awang-awang.
Echa mengambil kuda-kuda dan....
Bughh
🌸🌸🌸
"Aww!"
Echa menyeringai.
"Aw! Dibilang pelan-pelan!" Raga menatap Echa geram.
"Ya, maaf...." Echa terkekeh geli. Raga mematung menatap Echa yang terkekeh.
"Kamu cemen tahu. Masa kalah sama Echa. Echa aja nggak babak belur sedikit pun itu, masa kamu lebam-lebam gini, sih." Echa menempelkan es berbalut kain ke pipi Raga.
"Diem!!" bentak Raga membuat Echa mati kutu. Gadis itu akhirnya merapatkan bibir dan kembali mengobati luka Raga. Sedang Raga, lelaki itu mengamati setiap detail ruang tamu milik Echa. Banyak perabotan dan hiasan. Namun, kosong dari foto dan semacamnya.
Echa fokus dengan aktivitasnya.
Kalian tahu? Echa tadi mengalahkan Leon, membuat Raga terbengong-bengong. Seorang Leon yang selalu menjaga nama baiknya dikalahkan oleh seorang gadis mungil. Raga sebenarnya takjub, tetapi rasa takjubnya dia tutupi karena gengsi.
Echa menarik lengan Raga. Gadis itu membersihkan darah di lengan Raga dan mengolesinya alkohol. Mata mereka bertemu dan lagi-lagi napas keduanya tercekat.
Echa memutus kontak mata. "Untung tadi nggak pada bawa senjata, kalau bawa remuk kamu, mati di tempat." Echa menempelkan plester bergambar panda ke lengan Raga.
"Diem lo," ketus Raga. Sepertinya, lelaki itu malu mengakui kebabakbelurannya yang sempat dia ejek tadi.
"Ditolongin itu bilang makasih, bukan disentak-sentak." Dengan sengaja, Echa memencet luka yang dia beri plaster.
"Awws! Sakit."
"Nih, rasain!" Echa memencetnya lagi.
"Stop it, Cupu! Sadis banget lo!" Raga mengerang.
Echa melengos. "Makanya ngaca."
Raga terdiam. Perkataan Echa berhasil menampar, menempeleng, dan menaboknya.
Echa mengerling jail. "Nah, kalau diem gini 'kan ganteng," Echa mencubit pipi Raga keras, "uuu dasar, Kakek Lampir!"
Pletak
"Ish, sakit." Echa mengusap jidatnya yang disentil.
Pletak
"Sakit!"
Pletak
"Kakek Lampir, sakit!!!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro