Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48. Tanya

MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

"Ada rasa yang tidak bisa angin sampaikan sendirian tanpa ruang."

🌸🌸🌸
 

  Di sinilah Echa berada, mobil Jiwa. Mereka memutuskan untuk berbicara di dalam mobil agar lebih nyaman dan aman. Takut-takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.

    Echa menyandarkan badannya pada sandaran kursi, mencari posisi ternyaman di sana. "Jangan ada pembahasan soal kamu sama Nathalie."

    Jiwa menoleh cepat ke arah Echa. Wajah yang tadinya bersemangat mendadak kusut. "Yah, padahal-"

    "Kalau Jiwa mau ngomongin Nathalie, mending nggak usah! Echa udah maafin Jiwa, udah rela-rela aja diboongin. Jadi, tolong. Jangan bahas itu."

    Jiwa menatap Echa penuh rasa bersalah. Tapi Echa berusaha tegar. "Jadi, Jiwa mau ngomongin apa? Echa lagi nggak suka basa-basi."

    Perlahan, tatapan Jiwa berubah, suhu dalam mobil juga berubah drastis. Seperti tatapan Jiwa yang dingin, mendadak perasaan Echa tak enak bersamaan udara dingin yang menyelimutinya.

    "Ada yang ngikutin lo."

    Mata tak bisa berbohong 'kan? Lalu, kenapa Echa masih bisa melihat kekhawatiran dalam mata teduh itu? Mengapa Echa merasa Jiwa masih menyukainya? Jiwa peduli, dan Jiwa selalu mengawasinya sampai tahu ada yang membuntutinya.

    "Jiwa tau dari mana?"

    Jiwa mendengus kesal. "Lo sebahagia itu ya sama Raga sampai nggak sadar gue intilin?"

    Echa terkekeh sinis. "Kayaknya yang penguntit itu Jiwa deh."

    Jiwa merengut, lelaki itu menatap Echa serius. "Gue serius, Cha. Ada yang sering ngikutin lo. Dia selalu pakai pakaian serba hitam. Gue rasa, dia punya niat jahat sama lo."

    "Kenapa Jiwa berpikiran gitu?"

    "Lo inget waktu gue ke rumah lo ngasih buku?"

    Jelas saja Echa ingat! Itu adalah hari di mana Jiwa berkata menyukainya. Hari sebelum harapannya pupus secara tak terduga. Echa hanya bergumam.

    Jiwa mengangguk ragu. Tersadar pertanyaannya sudah membuka luka di hati Echa. "Maaf ngingetin lo sama hari itu."

    Echa mengangguk kecil. "Nggak apa. Jadi?"

    "Gue ngikutin lo sama Raga ke perpustakaan daerah. Waktu itu, gue sadar ada yang ngikutin lo, orangnya berpakaian selayaknya orang biasa, makanya gue anggap itu cuma perasaan gue doang. Tapi, saat gue ngikutin kalian berdua sampai depan rumah lo, orang itu juga ngintilin lo sampai depan rumah lo, dan gue langsung berpikiran kalau pemikiran gue bener. Dia seorang penguntit."

    "Anehnya, sejak papa lo dirawat di rumah sakit. Ah, ralat. Kayaknya pas papa lo udah siuman, deh. Orangnya ganti, badannya lebih kecil dari yang di perpustakaan, pakaiannya pun selalu serba hitam."

    Echa terdiam. Ya, dia kemarin melihat orang itu. "Echa kemarin liat orang itu di gerbang sekolah. Dan Echa juga ngerasa dia ngawasin Echa."

    Jiwa menghembuskan napas gusar. "Ini alasan kenapa gue nggak mau sampai Raga tahu."

    Echa menatap Jiwa dengan alis bertautan. "Kenapa?"

    Jiwa mengulum senyum. "Lo nggak tahu seberapa besar rasa sayang Raga buat lo? Bisa-bisa dia gila kalo tahu ada yang mau nyelakain lo."

   Echa semakin terdiam. Jujur, dia kaget Jiwa menanyakan hal itu.

    Tapi, ada yang aneh. Mendadak, wajah Jiwa memucat, lelaki itu terdiam seperti telah mengucapkan kalimat yang seharusnya tidak ia ucapkan. "Ah, maksud gue. Dia pacar lo 'kan? Dia pasti sayang banget sama lo."

    Echa semakin yakin. Ada yang aneh di sini. Apakah Raga benar-benar menyukainya? Bahkan Jiwa sampai tahu akan hal itu. Seandainya Raga tidak menyukainya, maka mustahil Raga berkoar-koar menyukai Echa di belakang gadis itu. Selama beberapa hari menjalankan drama, Raga hanya akan mengaku menyayangi atau menyukai Echa dalam keadaan mendesak saja, dan itu dilakukan di hadapannya. Atau ... Raga mengatakannya saat di rumah? Saat hanya ada Raga dan Jiwa saja? Kemungkinan besar iya, Raga pasti hanya ingin meyakinkan Jiwa akan hubungannya dengan Echa.

    "Intinya, just in case and keep watching around. Gue akan selalu awasi lo dari jauh. Gue nggak mau lo kenapa-napa. Dan jangan kasih tahu Raga, dia udah terlalu banyak masalah, jangan ditambah. Masalah lo yang ini, biar gue yang urus."

    Echa ingin membantah, tapi tatapan tajam Jiwa yang selalu terarah ke orang lain muncul. Membuat nyalinya menciut.

    "Gue tahu lo mau nolak. Tapi, kali ini aja, Cha, jangan nolak. Jangan biarin gue nggak jagain lo, meski ada Nathalie sekalipun."

    Rasanya Echa ingin menangis saja. Jika sudah ada Nathalie, kenapa Jiwa masih peduli????

Dasar tukang PHP!

🌸🌸🌸

    Natasha tersenyum lebar. Wanita paruh baya itu menyambut uluran tangan Echa dengan senang hati. "Assalamualaikum, Mama Natasha."

    "Waalaikumsalam, Echa. Ah..., udah dari tadi Mama tunggu. Mama kira kamu nggak jadi dateng, Raga bilangnya gitu sih tadi."

    Echa mencondongkan tubuhnya ke arah Natasha. "Dia lagi marah, Ma," katanya berbisik.

    Natasha tersenyum maklum. "Cemburu ya sama Jiwa?"

Eh?

    Echa menggeleng kuat. "Enggak!"

    Natasha terkekeh kecil. "Ayo, masuk dulu."

    Echa mengangguk dan berjalan masuk ke rumah Jiwa didampingi Natasha. Matanya berbinar saat tebakannya benar.

Raga nggak mungkin ada acara mendadak. Raga pasti pulang ke rumah.

    "Tuh, dari tadi cemberut. Hibur sana. Kita ngobrolnya nanti aja." Natasha menunjuk Raga yang sedang menonton televisi dengan dagunya. Melihat Echa yang diam saja, Natasha mendorong pelan punggung Echa.

    "Sana. Nggak baik marahan lama-lama," nasehat Natasha dengan kerlingan aneh di matanya. Echa tertawa kecil dan mengangguk, sedangkan Natasha melangkah menuju dapur.
   
    Gadis itu berjalan perlahan mendekati Raga. Tapi, teringat sesuatu, Echa membalikkan badannya. Matanya menatap Jiwa yang akan naik ke lantai dua, lelaki itu ternyata memperhatikannya sejak tadi.

    "Good luck," kata Jiwa tanpa suara. Kemudian, dia mengerdipkan sebelah matanya dan berjalan menaiki anak tangga.

    Echa mengulum senyum. Gadis itu kembali melangkahkan kakinya ke sofa yang raga duduki. Namun, matanya tak sengaja melihat Natasha yang mengintip dari ambang pintu dapur. "Berdoa dulu. Semoga nggak digigit," kata Natasha sambil mencakar-cakar udara kosong.

    Dan Echa tidak bisa menahan senyum gelinya.

🌸🌸🌸

    Raga meminum colanya dengan santai. Matanya terus menatap layar televisi yang sedang menyiarkan kartun Spongebob Squerpants. Dia tahu, Echa sejak tadi duduk anteng di sampingnya. Dia tahu, Echa sejak tadi menatapnya kesal. Merasa diabaikan, mungkin?

    "Lama-lama kamu kayak batunya patrick tahu." Echa mendengus kesal, menatap layar televisi yang menampilkan Spongebob dan Patrick yang sedang lomba siput.

    "...." Raga meminum colanya lagi. Tak memedulikan ocehan Echa.

    Echa menghela napas lelah. "Maaf, Ga.... Echa bener-bener minta maaf...."

    "...."

    Echa menggembungkan pipi sebal. "Ya udah. Echa pulang aja! Percuma minta maaf sama tembok! Nggak akan pernah direspon-"

    Echa melotot. Gadis itu tidak bisa melanjutkan luapan emosinya karena secara tiba-tiba Raga memasukkan sebuah keripik kentang ke dalam mulutnya. "Berisik," kata Raga tajam.

    Echa melepehkan keripik itu begitu saja di sofa. Hal itu jelas membuat Raga berjengit kaget. "Jorok banget lo!"

    "Belum basah kuyup kok, cuma kena ludah dikit." Echa nyengir.

    Ternyata, tingkah absurdnya bisa membuat Raga merespon dirinya. "Lain kali jangan diulangin lagi."

    Echa menaikkan alisnya antusias. "Iya! Echa nggak akan ngulangin lagi ngobrol sama Jiwa!"

    Raga menjitak pelan dahi Echa. "Bukan itu. Lo harus ngomong sama gue kalau ada apa-apa."

    Menyadari perkataannya yang aneh, Raga menambahi, "selagi lo juga ada apa-apa sama gue."

    Alis Echa semakin terangkat bersamaan dengan kebingungannya yang menjadi. "Echa nggak paham."

    Raga membuang napas kasar. Lelaki itu meletakkan bungkus keripik kentangnya di meja lalu memusatkan perhatian hanya pada Echa. "Lo ada janji sama gue. Tapi, lo juga ada janji sama Jiwa. Lo seharusnya ngomong ke gue kalau ada janji juga sama Jiwa. Gue nggak masalah kalau emang kalian mau ngobrol." Raga menjeda kalimatnya. "Tapi gue harus ada di tempat kalian ngobrol."

    Echa mendengus kasar. "Itu melanggar hak orang berbicara empat mata."

    Raga terkekeh sinis. "Ya enggaklah, nggak melanggar. Gue itu harus tahu semua tentang lo."

    Echa menaikkan sebelah alisnya. "Kok?"

    Raga menaikkan bahu. "Karena gue pacar lo. Ya..., walau pura-pura sama aja! Gue tetep punya hak buat tahu!"

    Echa tergelak tawa. "Kenapa sepercaya diri itu bilang kalau Raga punya hak?"

    Raga lagi-lagi mengangkat bahu. "Karena gue pikir, walau kita pura-pura pacaran, lo udah kecantol sama gue."

    Tawa Echa semakin keras. "Denger, ya, Ga. Buat yang Echa nggak bilang ke Raga, Echa bener-bener minta maaf. Echa tahu Raga nggak suka nunggu. Tapi, kalau buat yang terakhir? Kita cuma pura-pura pacaran, Raga jelas nggak ada hak buat ngatur-ngatur Echa. Dan lagi, jangan ke-PD-an! Echa nggak mungkin kecantol sama Raga, wlek," Echa menjulurkan lidahnya.

    "Gue bercanda kali! Lagian, gue juga tahu lo nggak suka sama gue! Gue cuma bercanda!" Gengsi, gensi terlalu tinggi bisa membuat semua usaha sia-sia.

    "Oh..., gitu? Raga cuma bercanda ternyata?"

    "Iya!"

    "Kalau yang kemarin? Bercanda nggak?"

    Raga tampak gelegapan, tapi akhirnya dia mengangguk juga.

    "Echa kira Raga beneran suka sama Echa lho."

    "Enggaklah!!" sergah Raga cepat.

    Entah kenapa, Echa merasa semakin tertantang. Tertantang untuk membuktikan perasaan Raga kepadanya seperti yang Jiwa bilang. Ralat, seperti yang kemarin Raga katakan. Mana mungkin Raga berbohong dengan ekspresi seserius itu??

    Echa tersenyum kecil. "Alhandulillah kalau gitu, Echa nggak perlu repot-repot jaga hati Raga semisal Echa mau deketin Jiwa lagi."

    Raga tercengang. Mendekati Jiwa??? Lagi?? "Maksud lo?"

    Echa tersenyum smirk. "Ya..., deketin Jiwa. Echa rasa Jiwa masih suka sama Echa." Echa bangkit dari duduknya dan hendak naik ke lantai dua. Gadis itu melirik Raga yang mendadak bungkam seribu bahasa.

    Senyumnya semakin lebar. Echa mulai berjalan ke arah tangga sambil menghitung dalam hati.

Satu

Dua

Tiga

    Tidak terjadi apa-apa. Echa mendesah pasrah saat perkiraannya salah. Dengan kesal, gadis itu berjalan tergesa menaiki anak tangga.

    "Selangkah lagi naik, gue pastiin lo nggak bisa jalan."

    Echa mematung. Senyumnya yang hilang perlahan terbit. Gadis itu membalikkan badannya bersemangat dan menatap Raga dengan binar mata. "Jadi??? Raga bener-bener suka sama Echa??"

    Raga mengeryitkan dahinya. "Siapa yang bilang? Gue 'kan cuma nyuruh elo nggak jalan lagi. Gue nggak ada ngomong kalau gue suka sama lo."

    Sial, Raga memang sangat menyebalkan!! Echa menghentakkan kakinya ke lantai dan hendak menaiki anak tangga lagi. Tapi, perkataan Raga selanjutnya membuat dadanya berdesir hebat.

    "Tapi, Cha. Gue ngerasain yang lebih dari sekedar suka."

    "...."

   "Gue jatuh cinta."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro