34. Raga Is Weird (1)
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Cuaca aja bisa diprediksi, kenapa kamu enggak?"
🌸🌸🌸
Echa merasakan keanehan yang luar biasa. Entah kenapa, pulang bersama Raga kali ini terasa berbeda. Apalagi, sejak tadi Raga seperti bukan Raga. Dia seperti bertransformasi menjadi sosok yang hangat, jayus, dan genit walau sifat galak dan judesnya muncul sesekali dalam obrolan mereka.
"Lo pasti seneng bisa masuk OSIS. Ya, 'kan?"
Echa tersenyum bangga. "Iya, dong, jelas. Bisa ketemu Jiwa-" Mengingat dirinya dan Jiwa yang sedang dalam keadaan renggang, gadis itu melunturkan senyumnya. "Nggak jadi seneng."
Mengerti akan perubahan raut Echa, Raga mengalihkan topik pembicaraan.
"Gue rasa Leon suka sama lo," kata Raga dengan nada santai. Walau santai dan bukan nada ketus, tetap saja Echa tidak suka opini itu. Leon suka dia? Itu adalah hal mustahil setelah Echa menggebuki Leon di pertemuan pertama mereka.
Echa mengeplak bahu Raga dengan kesal. "Jalanin aja motornya, nggak usah ngomong yang aneh-aneh."
Raga tersenyum sangat lebar. Sampai Echa rasa, sudut bibir Raga bisa robek jika lelaki itu terus memaksakan senyuman yang malah terlihat menyeramkan itu. Walau menyeramkan, sorot mata Raga terlihat aneh dari kaca spion, mau tidak mau tawa kecil meluncur dari bibir Echa. "Kalau nggak bisa senyum, nggak usah senyum."
Dari belakang, dengan sengaja, Echa menarik sudut bibir Raga yang melengkung ke atas kembali ke bawah. Hal itu jelas tidak pernah masuk daftar tindakan yang akan Echa lakukan kepadanya. Tapi, berkat tindakan itu, laju motor Raga memelan, berbanding terbalik dengan ritme jantung Raga yang meningkat.
"Habis bensinnya, ya?"
Pertanyaan itu membuat kesadaran Raga yang hampir hilang kembali. Lelaki itu tampak gelagapan lalu kembali melajukan motornya dengan kecepatan sedang. "Nggak, nggak habis. Nggak usah sok tahu," ketusnya.
Echa memeletkan lidahnya lalu mencibir. "Mau dong digombalin kayak tadi bukan diketusin kayak gini."
Dia rasa, cibiran-ralat- sindiran itu tidak mempan untuknya. Justru, Raga hampir menyemburkan tawanya melihat bibir Echa yang naik turun. Sayangnya, yang keluar malah kekehan sinis. Dia menyesalkan hal itu saat raut Echa yang menggemaskan berubah kusut. "Lo tahu nggak sih gombal itu apaan?"
Echa menggedikkan bahu tak acuh. "Nggak tahu dan nggak mau tahu. Dasar, Kakek Lampir." Lagi-lagi Echa mencibir. Dan hal itu sekarang membuat dia merasa lega karena tawanya benar-benar dapat terekspresikan.
Sayangnya, dia tidak melihat senyum simpul Echa karena gadis itu membuang muka. "Gombal itu menurut KBBI omong kosong, sesuatu yang bersifat bohong. Lo mau gue gombalin kaya tadi?"
"Lo cantik kalau marah," kata Raga meniru ucapannya beberapa menit yang lalu dengan suara yang aneh. Lalu, setelah mengucapkan itu dia mengedipkan sebelah mata. Echa cukup tahu jika Raga sekarang meledeknya. Ya, meledek. Raga pikir dia menyukai rentetan gombalan(kata bohong) yang sempat lelaki itu lontarkan tadi.
"Atau, lo suka bagian ini? Kayaknya tadi lo blushing deh, Cha, pas gue bilang...."
" .... "
"Kayaknya arum manis nggak semanis yang gue kira, soalnya ada yang jauh lebih manis. Echa," kata Raga jail dengan senyum menjengkelkannya. Setelah itu, ekspresi ingin muntah yang Raga perlihatkan benar-benar membuat Echa menaboki punggung tegapnya brutal.
"Udah, ah! Diem! Bohong kek, enggak kek, bodo amat! Echa nggak suka! Nggak akan suka! Nggak akan percaya! Bahkan Raga salto bareng motor, dugem di tengah jalan, atau ngelakuin hal konyol lainnya Echa nggak akan suka! Camkan itu, titik nggak pake koma, huh. Echa nggak akan ketawa atau senyum lagi. Inget itu, Kakek Lampir," kata Echa bersungut-sungut seiring tabokannya yang berhenti. Dia melipat tangan di depan dada dan menatap kesal Raga dari kaca spion.
Senyum miring tercetak di wajah tampan itu. Dengan sengaja, Raga meningkatkan laju motornya menjadi ngebut. Karena Echa dalam keadaan melipat tangan di depan dada, gadis itu hampir terjungkal jika tidak buru-buru melingkarkan tangannya pada perut Raga. Alih-alih memelankan laju motornya ke kecepatan sedang, Raga makin menggila.
"Pelan-pelan, Raga! Echa 'kan takut naik motor kenceng-kenceng!" Seakan tuli, Raga masih saja mengendarai motornya ugal-ugalan.
"Kalau lo nggak akan suka, nggak akan percaya, lo juga nggak akan blushing lagi?!" tanya Raga di sela fokusnya mengendarai motor.
Echa mengernyitkan keningnya bingung. "Apa, Ga?! NGGAK KEDENGARAN."
Raga mendengus kesal. "Bahkan lo nggak akan blushing lagi?!"
Merasakan cubitan di pinggangnya, Raga mengaduh. "Nggak kedengeran, Raga ganteng! Pelanin dulu motornya!"
Raga berdecak. "Echa!"
"Apaan, sih?! Orang nggak kedengeran juga. Raga ngomong apa?!"
Raga tahu, Echa hanya pura-pura tidak mendengar ucapannya. Dia tahu, sangat tahu. "Bahkan, kalau yang gue bilang bukan sekedar gombalan dan itu kejujuran lo nggak akan percaya?" tanyanya lirih.
Merasakan tangan Echa di perutnya menegang, Raga tahu Echa mendengarnya. Dan melihat wajah kaku Echa, firasatnya jika gadis itu sebenarnya mendengarnya jadi makin kuat.
Echa mendengar. Dia pura-pura tidak mendengar pasti karena tidak ingin menyetujui pertanyaannya.
Echa bergeming.
"TAPI, BOHONG. AHAHAHHAAH. Udah baper, yaaa."
Kali ini, ingin rasanya Echa menenggelamkan Raga ke rawa-rawa. Sial, dia sudah mengingkari ucapannya sendiri.
Nggak akan suka! Nggak akan percaya! Bahkan, dia saja merasakan pipinya yang memanas.
Echa memukul helm Raga dengan tangannya. Masa bodoh dengan motor yang mendadak oleng seperti pembaca yang di-PHP. "Dasar kakek lampir kurang piknik! Udah diem aja! Omongan kamu nggak ada yang mutu!"
🌸🌸🌸
Echa tersenyum lembut sambil menerima usapan di kepalanya. Ben terlihat sudah sehat meski Echa tahu ada yang belum pulih, memorinya yang hilang. "Papa udah makan siang?"
Ben mengangguk kecil. Diturunkannya tangan yang sejak tadi mengusap puncak kepala Echa. "Sebelum kamu dateng sama pacar kamu."
Echa mengerucutkan bibir kesal. "Udah berapa kali Echa bilang? Dia bukan pacar Echa. Papa kok percaya aja sama Tante Ratih."
Ben terkekeh geli lalu tangannya dengan jahil menarik bibir Echa membuat anaknya itu tersentak kaget. "Papa, ish! Usil banget!"
Namun, detik berikutnya keduanya tertawa. Tawa yang Echa rindukan terpampang jelas di wajah Ben. Merasa terharu, gadis dengan cardigan rajut berwarna peach itu memeluk Ben dengan erat. "Echa kangen, Papa," katanya dengan senyum lebar.
Ben membalas pelukan putrinya. "Papa juga kangen."
Echa melepas pelukannya dan mengusap pelan matanya yang berair. "Cepet sembuh, ya," ucapnya sambil menepuk punggung tangan Ben, "biar inget Echa ini kayak apa dulunya."
"Siap, Tuan Putri."
"Echa, gantian."
Echa menoleh ke sumber suara, ada Tante Ratih yang berdiri di ambang pintu sambil menenteng keranjang buah. "Gantian, Raga udah nungguin dari tadi di kantin rumah sakit. Jadi, biar Tante yang jaga Mas Ben, kamu makan siang sana sama dia." Wanita paruh baya dengan pakaian kasual itu berjalan ke ranjang Ben. Senyum keibuannya lagi-lagi tercetak.
"Iya, Tan."
Akhir-akhir ini Echa merasa Tante Ratih seperti mamanya. Tente Ratih seakan mengingatkan dirinya pada sosok mama. Senyumnya, gaya bicaranya, pakaian kasualnya, kel--tunggu, kenapa Echa merasa dia sering melihat mamanya, wanita yang hanya bisa dia lihat dalam foto sejak dulu. Bahkan, dia seakan bisa melihat wujud mamanya sekarang, mendengar tawanya, suaranya, dan melihat mamanya yang berlari ke arahnya sambil merentangkan tangan dengan wajah bahagia.
"Arggh."
Pandangan Ben dan Tante Ratih yang tadinya saling bertubrukan teralihkan pada Echa. Anak itu memegangi pelipisnya sambil meringis pelan.
"Kamu kenapa, Cha?" tanya Tante Ratih khawatir.
Echa memejamkan matanya erat-erat. Detik berikutnya dia membuka mata dan mengulas senyum tipis. "Nggak apa,Tante."
Melihat Ben yang khawatir Echa menggelengkan kepalanya pelan. "Echa nggak apa, barusan cuma pusing sedikit. Efek laper, hehehe. Jadi, Papa tenang aja."
Tante Ratih dan Ben menghela napas lega. "Ya, udah. Sana samperin pacarnya," canda Tante Ratih sambil tersenyum jahil.
Echa mendengus kesal. "Bukan pacar, Tenteeee. Kenapa sih kalian selalu ngomong gitu??"
Kali ini Ben yang tersenyum jahil. "Ya karena kalian cocok."
Echa menatap Ben dan Tante Ratih jengah lalu dengan kesal dia berjalan keluar ruangan. "Ya, ya, ya, terserah kalian aja. Echa laper mau makan, bye!"
Ben dan Tante Ratih tergelak melihat Echa yang merajuk. Setelah Echa menutup pintu, keduanya saling tatap.
"Kenapa, Mas?" tanya Tante Ratih saat Ben seperti ingin menanyakan sesuatu.
Ben tertawa renyah. "Dia emang lucu begitu, ya, anaknya?"
"Iya, anak Mas emang selalu begitu."
Ben tersenyum. Tatapannya menerawang. "Lucu dan menyenangkan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro