31. Ayunan
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Udara di sekitar kita seakan membeku, membiarkan dingin yang menguasai."
🌸🌸🌸
Echa menatap mobil Lauren dan orang tuanya yang meninggalkan rumah Raga. Jujur saja, gadis itu merasa tidak enak hati karena hadir tiba-tiba di acara yang bahkan tidak dia tahu apa. Tapi, setelah mendengar perkataan Dilla tadi, dia tahu kehadirannya sungguh merusak acara bahagia itu; pertunangan Raga.
Perhatian gadis yang memakai dress hitam itu teralihkan saat mendengar suara langkah kaki dari tangga di samping Natasha. Napas Echa tercekat. Gadis itu lupa satu fakta jika Raga dan Jiwa berada dalam satu rumah.
Echa menelan ludahnya kasar. Setelah perang batin, gadis itu membuang muka. Dia tidak boleh menatap Jiwa terlalu lama, efeknya sungguh berhasil membuat matanya memanas. Lelaki itu terlihat sangat tampan dengan kemeja hitam yang mekelat di tubuhnya.
Cocok sebenernya sama Echa yang pake dress item, tapi gimana lagi? Dia udah ada Nathalie.
"Tante Dilla sama Om Bayu kemana, Ma?"
Natasha tersenyum tipis. Wanita paruh baya itu mengelus pundak Jiwa pelan.
"Udah pulang barusan, mereka ngerubah hari pertunangan Raga. Atau..., dibatalin mungkin." Natasha menatap Echa dengan sorot canggung. Natasha merasa tak enak hati pada Echa.
Jiwa menatap Echa dari atas sampai bawah. Jika boleh jujur, Jiwa sangat merindukan Echa. Jika situasinya masih seperti awal-awal mengenal gadis itu, mungkin Jiwa akan memeluk Echa dengan erat sekarang. Namun, mau bagaimana lagi? Dia sudah memilih, dan pilihannya tidak bisa membuat dirinya dan Echa baik-baik saja seperti dulu.
"Lo cantik." Jiwa menatap Echa tanpa berkedip.
Echa menahan napasnya. Dia tidak boleh menangis di sana. Terlebih ada Natasha di sampingnya. "Makasih," balasnya singkat.
Merasa atmosfer di sekitarnya semakin tidak enak, Natasha membuka suara. "Kita makan, yuk. Sayurnya keburu dingin, nanti nggak enak." Natasha mengulurkan tangannya pada Echa.
Dengan canggung Echa menerima uluran tangan Natasha. Perlahan kakinya berjalan ke meja makan, dia memilih duduk di samping Raga karena jelas dia mengingat pesan Raga untuk selalu di dekat lelaki itu.
Echa bergerak tidak nyaman di tempat duduknya, entah kenapa sejak Jiwa turun dari lantai atas, Raga tak berhenti menatap matanya. "Duduk anteng, kalau mau nangis tahan dulu. Cengeng banget."
Echa mencebik. Matanya melirik Natasha yang duduk di depannya. Semoga Natasha tak mendengar bisikan Raga di telinganya.
"Sebelumnya maaf, ya, Cha. Tente bener-bener nggak tahu kalau kalian pacaran." Natasha menaruh daging dan sayur asem ke piringnya.
"Uhuk, uhuk."
Tiga pasang mata langsung menatap Jiwa yang memukul-mukul dadanya. Lelaki itu tersendak. Jiwa mengambil gelas berisi air putih di depannya dan meminumnya sampai tandas. Setelah tenggorokannya sudah tidak sakit, dia menatap Echa terang-terangan. "Jadi, lo beneran pacaran sama Raga?" Jiwa menunjuk Raga dengan dagunya. Saat mata teduh itu menatap Raga, Raga balas menatapnya tajam.
"Iya, Ji. Kenapa? Keberatan?"
Raga tersenyum sinis. Echa mulai mendalami perannya. Walau Raga tahu, Echa membawa masalah Nathalie dalam pertanyaan ketus itu, tapi tak apa.
"Mungkin dia mau bela Lauren," ucapnya.
Jiwa menghembuskan napas kasar. Dia yang membuat keputusan, dia juga yang merasa sakit. Dari awal seharusnya Jiwa tahu konsekuensi apa yang akan dia dapat setelah memilih. "Asal lo tahu, gue nggak bela siapa-siapa. Gue cuma nanya. Gue kira lo lagi bercanda malam itu."
"Gue nggak pernah bercanda asal lo tahu juga."
"...."
Echa menatap Raga, Jiwa, dan Natasha bergantian. Echa rasa, makan malam mereka sepertinya selalu didominasi dengan perdebatan. Sangat jauh dengan dirinya dan Ben. Walau makan malam hanya berdua, suasana hangat yang selalu tercipta.
"Gimana, Ma? Masih mau nepatin janji konyol itu? Raga udah punya Echa." Raga menatap malas Mamanya sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Mama nggak tahu," Natasha menatap Raha penuh keraguan, "di satu sisi Mama mau kamu bahagia dengan pilihan kamu, tapi di sisi lain Mama juga harus menepati janji Mama dan Papa dulu, Ga."
Brakk
Natasha, Echa, dan Jiwa menatap Raga yang berdiri dari duduknya. Mata elang itu kembali muncul. Bahkan sorot tajamnya lebih dingin dari biasanya. "Silakan Mama pikirkan berkali-kali pilihan yang tepat. Yang bisa bikin kita bahagia tentunya. Masa iya seorang Ibu malah mikirin dirinya sendiri? Lah, anaknya?"
Natasha menatap Raga yang meninggalkan meja makan dengan setitik air mata di pelupuk matanya.
Aku gagal lagi, Mas.
"Ma." Jiwa memeluk Natasha dari samping. Bulir-bulir air mata sudah berjatuhan di pipi wanita itu.
Jujur, melihat Natasha menangis, Echa jadi teringat mendiang mamanya. Dia seakan melihat mamanya dengan wajah orang lain sedang menderita karena dia.
"Mama gagal lagi, Ji." Natasha terisak.
Echa hanya bisa diam. Tak tahu harus melakukan apa. Namun, perkataan Natasha berikutnya membuat dia ikut menitikkan air mata.
"Mama nggak kuat hidup, Ji. Mama nggak kuat hidup lagi. Mama malu, Mama bukan Mama yang baik buat Raga."
"Ma, Mama jangan ngomong begitu."
"Iya, Tante nggak boleh ngomong gitu!"
Natasha menatap Echa beberapa detik, lalu menghapus air matanya dengan kasar. Dia terkekeh pelan, teringat ada Echa di sana. "Aduh, maaf, ya. Kamu jadi nonton drama indosyair di sini."
Echa menggeleng pelan. Air matanya makin banyak berjatuhan mendengar tawa kecil Natasha. Seorang ibu pasti akan berusaha terlihat baik-baik saja di depan anak-anaknya. "Echa selalu pengin liat mama Echa. Saat Echa liat Tante nangis, Echa liat mama Echa nangis. Echa nggak suka. Echa pengin Tente senyum. Mungkin Echa lancang udah bilang kayak gini, tapi jujur, Tan. Echa selalu pengin ngerasain kehadiran mama. Dan Echa rasa, Raga salah udah bikin Tante nangis."
Jeda beberapa detik. Natasha menatap Echa yang menggigit bibir bawahnya. "Kalau Tante mau Echa jauhin Raga, Echa siap, Tante. Asal Tante sama Raga bisa baik-baik aja. Asal Tante nggak nangis lagi."
Natasha tersenyum lebar. Perlahan, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke tempat duduk Echa dan memeluk gadis itu. "Nggak perlu. Echa cukup ada di sisi Raga dan beri dia kasih sayang, Tante sudah sangat berterima kasih."
Echa membalas pelukan Natasha dan tersenyum tipis. "Echa janji."
"Makasih, Sayang," ucap Natasha terharu.
"Sama-sama, Tante. Echa seneng bisa bantu Tante." Echa mengeratkan pelukannya. Ini pelukan terhangat yang pernah dia rasakan.
"Kamu boleh panggil Tante dengan sebutan Mama. Anggap aja Mama sendiri."
Dan, senyum tipis milik Echa melebar. "Mama."
🌸🌸🌸
Echa masih saja menunduk, menatap sepasang sepatunya yang menggantung di atas tanah. Kedua tangannya memegang erat tali ayunan di kanan-kirinya. Dia menggerak-gerakkan kakinya seiring debaran jantungnya yang makin menggila setiap kali deheman Jiwa memenuhi gendang telinganya.
Sejak sepuluh menit yang lalu, Jiwa maupun Echa tak ada yang mau menghilangkan keheningan di antara keduanya. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing sampai lupa jika mereka tidak sendirian.
"Cha." Jiwa menggigit bibir bawahnya. Dia tahu, Echa mendengar. Hanya saja gadis itu mungkin masih marah padanya.
Bukan cuma mungkin, dia emang masih marah.
"Soal permintaan Mama tadi, gimana?" Jiwa bodoh! Jiwa meruntuki dirinya sendiri. Bukan itu yang ingin dia tanyakan, tapi kenapa malah pertanyaan sialan itu yang keluar dari mulutnya?! Pertanyaan itu justru serasa menusuk-nusuk hatinya.
Echa menatap Jiwa yang duduk di ayunan sebelahnya. "Oh, soal itu? Echa setuju. Echa 'kan juga udah janji."
"Lo..., mau bujuk Raga?"
"Maulah."
Jiwa memainkan jemarinya. "Raga sulit dibujuk lho."
"Tahu kok. Dia keras kepala."
"Cha, aku minta-"
"Udah Echa maafin," jawab Echa cepat.
"Cha, aku nggak-"
"Nggak mau kita kayak gini?"
Jiwa terdiam.
"Jiwa udah punya Nathalie, harusnya Jiwa nggak usah sok deket gini sama Echa pake aku-kamu lagi." Echa menatap Jiwa risi. Gadis itu tak habis pikir. Apakah Jiwa tidak punya otak? Lelaki itu sendiri yang memilih Nathalie dan sempat menghindarinya, bahkan menjadi pribadi yang dingin padanya. Namun, sekarang? Lelaki itu ingin hubungannya dengan Jiwa baik-baik saja? Shit! Siapa yang bisa baik-baik saja dengan perasaan tidak baik-baik saja?
"Tapi, Cha. Aku mau kita-"
"Nggak bisa. Jiwa pikir hati Echa sekuat apa?" Echa terkekeh sinis, "mau minta kita temenan biasa? Haha. Kamu pikir Echa bisa?"
"...."
"Harusnya Echa nggak nge-iya-in pas Mama Natasha nyuruh Echa pulang sama kamu." Echa lompat dari ayunan. Gadis itu mengeratkan jaket Natasha yang membalut tubuh bagian atasnya.
"Echa nyesel harus terjebak di taman kota sama cowok nggak punya perasaan kayak kamu," Echa menatap Jiwa sengit, "BTW makasih tumpangannya. Echa bisa lanjut pulang sendiri, bye." Gadis itu berlalu begitu saja meninggalkan Jiwa yang mematung.
"Echa!"
Echa menghembuskan napas kasar. Gadis itu membalikkan badannya 180 derajat menghadap jiwa. "Apa?"
"Aku..., aku sayang banget sama kamu, Cha. Aku serius."
Echa membatu.
"Aku harap, kamu masih punya perasaan yang sama kayak aku. Aku akan nunggu kamu."
Cukup! Echa menahan bahunya yang mulai bergerak tidak beraturan. Dengan cepat, gadis itu membalik badannya lagi agar memunggungi Jiwa. "Nggak usah bercanda. Mbak kunti aja tahu ini nggak lucu! Echa pulang duluan." Echa menahan isakannya. Dia berjalan tak tentu arah. Dia harus cepat pergi dari sana! Dia tidak mau mendengar suara Jiwa!
Bercandanya terlalu nyelekit, Ji. Echa nggak suka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro