18. Ingkar
MAAF JIKA ADA TIPO
🌸
"Ragamu masih sama, tapi jiwamu entah pergi ke mana."
🌸🌸🌸
"Raga pelan-pelan bawa mobilnya!"
Raga mendengus kesal. Tidak bisakah Echa membiarkannya fokus menyetir? "Lo tahu jam berapa sekarang? Gue hampir telat!!"
"Echa tahu, tapi pelan-pelan dong, Ga!"
"...."
"Raga, awas ada kakek-kakek!"
"...."
"Ya Allah, Raga! Hampir aja kamu nabrak si kakek!"
"Diem deh, Cha! Berisik!"
Jantung Echa masih terpompa begitu cepatnya. Rasanya seperti sedang uji nyali. Raga benar-benar gila. Dia baru saja sembuh. Dan apa sekarang? Apakah Raga mau membuat Echa dan dirinya terluka?
"RAGA, STOP!"
Citttttt
"Astagfirullah, Raga! Kok direm beneran, sih?!"
Raga melirik Echa sekilas. "Lo bawel banget, sih, Cha? Gue hampir telat pertandingan! Diem!"
Echa hanya mengangguk samar. Raga sudah mulai ganas lagi tatapannya. Jadi dia bisa apa saat Raga menatapnya tajam atau terlihat mengintimindasi?
Raga kembali melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta yang mulai padat. Pertandingan basket itu memang dilaksanakan di SMA Pranata. SMA Pranata menjadi tuan rumah. Dan dengan bodohnya Raga bangun jam enam pagi.
Bisa dilihat dari depan gerbang SMA Pranata banyak siswa-siswi yang berlalu lalang. Parkiran penuh oleh motor dan mobil.
Raga keluar dari mobilnya disusul Echa. Banyak pasang mata yang menatap mereka dengan berbagai macam raut wajah. Mungkin sebagian dari mereka berpikir, siapa gadis yang berangkat sekolah bersama kapten basket SMA Pranata?
"Lo ke kelas dulu aja. Ntar pas pertandingan baru lo kelapangan."
Echa yang tak mau berlama-lama dengan Raga hanya mengangguk dan berlalu begitu saja.
"Teriak yang paling kenceng, ya!! Jangan lupa air mineral sama sapu tangannya!"
Echa berbalik. Ditatapnya Raga dari kejauhan dengan alis terangkat. Apa ia harus seperti para fans Raga kala itu?
"Satu lagi! Siapin jantung lo saat liat gue minum dan banjir keringat! Jangan sampai pingsan!"
"Dih, dasar ke-PD-an!"
🌸🌸🌸
"Cha, Kak Raga nanti tanding bareng Kak Vino?"
Echa yang tengah menjilati ice cream coklat langsung memfokuskan pandangannya pada Maora yang tengah memandangnya penuh keantusiasan.
Echa mengamati sekelilingnya, memastikan Kyana yang sedang ke perpus belum ada tanda-tanda memasuki kelas dan memastikan jika tidak akan ada yang akan mendengar ucapannya. Dia memajukan wajahnya lalu berbisik tepat di depan telinga Maora. "Maora suka sama Kak Vino?"
Maora mengangkat sebelah alisnya lalu mengangguk. "Dikit elah. Kenapa emangnya?"
Echa kembali mencondongkan tubuhnya lalu berbisik. "Kabarnya, si Kyana sama Kak Vino lagi deket."
"Apa??!!"
"Mereka deket."
"Ekhem."
Semua mata tertuju pada sosok laki-laki jangkung di ambang pintu kelas. Laki-laki itu Jiwa, tersenyum kikuk mendapati dirinya malah mendapat tatapan dari teman kelas Echa, bukan Echa. Echa malah terlihat asyik mengobrol dengan Maora.
"Cha," panggilnya saat telah berada tepat di samping gadis itu.
Echa mendongak. Dia tersenyum ramah saat tahu siapa yang memanggilnya. "Eh, ada apa Jiwa. Kenapa?"
"Lo ada waktu nggak? Gue mau ngobrol sebentar sama lo." Jiwa tersenyum kikuk pada Maora yang tampak kesal karena kehadirannya.
"Ada kok, Ji." Senyum di bibir Echa makin lebar.
Echa terkekeh keli menyadari Maora yang berkali-kali mendengus kesal. "Sabar Mao, habis ini Echa bakal cerita semuanya ke kamu. Tapi, Echa pergi sebentar ya sama Jiwa?"
Maora hanya mengangkat bahu. "Terserah lo."
Jiwa menggandeng tangan Echa untuk keluar kelas. Lagi-lagi, perasaan itu hadir. Jantung yang terpacu lebih cepat dan otot-otot Echa yang melemas tatkala diperlakukan seperti itu oleh Jiwa. Maora yang melihat kejadian itu hanya menatap sengit Jiwa yang telah menunda acara gosipnya dengan Echa.
Sekolah begitu ramai, di lapangan Indoor terlihat banyak pemain basket yang sedang melakukan pemanasan. Seketika Echa teringat perkataan Raga padanya tadi.
"Ntar pas pertandingan baru lo ke lapangan."
Echa menunduk, memperhatikan jemarinya yang mungil bertautan dengan jemari Jiwa. "Jiwa mau ngomongin apa?" Echa masih menunduk, ia ingin meredakan detakan jantungnya yang begitu cepat. Rasanya aneh saat Jiwa menggandeng tangannya saat banyak pasang mata menatap mereka iri.
"Nanti aja ngomongnya."
Echa mengangguk sekilas. Ia mendongak, pandangannya terpaku melihat tempat apa yang akan mereka tuju. Ruang OSIS? Echa sangat yakin jika Jiwa akan membawanya ke ruang OSIS, tapi untuk apa? Bukannya tidak ada yang boleh masuk ke dalam sana jika tidak ada keperluan mendesak. Ah, Echa lupa. Jiwa adalah Ketua Osis. Tapi untuk apa?! LDK-nya saja dilaksanakan besok senin. Jadi, Echa seharusnya belum punya urusan apa-apa.
Jiwa memasukkan kunci ke lubang kunci. Memutarnya perlahan lalu membuka pintu ruangan bercat putih bersih itu. Echa menatap ruangan dengan ukuran dua kali lipat dibanding kelasnya itu. Ruangan ini dibagi menjadi beberapa sekat dengan papan nama di atas meja seperti "Sekretaris" atau "Ketua Osis".
Jiwa mempersilakan Echa duduk di kursinya Echa memang ragu, tetapi pada akhirnya menuruti apa yang Jiwa suruh.
Jiwa terlihat membongkar isi sebuah map yang di dalamnya berisi formulir.
"Raga ngomong apa tentang ini?" Jiwa mengulurkan sebuah formulir pendaftaran OSIS yang tadi pagi Tasya taruh di map itu.
Echa meneguk salivanya. Dia harus menjawab apa? Mana mungkin dia mengatakan bahwa Raga ingin masuk OSIS karena TOD?!!
"Mungkin Raga emang serius."
Jiwa meraup wajahnya dengan tangan kanan. "Gimana kalau dia kepilih? Secara adik gue itu pinter dan punya banyak kemampuan yang akan dapet nilai plus dari para guru?"
"Bukannya bagus?"
"Gimana kalau dia cuma main-main, Cha? Guru-guru pasti mikir kalau Raga mau tobat. Mereka bakal ngasih jalan ke Raga. Dan kalo dia malah mau ngancurin OSIS gimana?"
Echa mendengus kesal. "Tahu dari mana?"
Jiwa menatap Echa dalam. "Cha. Gimana kalau dia cuma mau ikut-ikutan elo? Dia mau lebih deket sama lo setelah perjanjian konyol kalian selesai lewat organisasi ini?"
Jiwa salah. Raga tidak seperti itu.
🌸🌸🌸
Echa berjalan perlahan menuju tempat di mana Raga duduk. Laki-laki itu tampak sedang marah. Sangat marah! Dengan kepala menunduk Echa terus berjalan dan tidak menghiraukan kicauan siswa SMA lain yang menggodanya saat Echa melewati mereka.
"Ga, ma-"
"Lo ke mana aja?!" Raga menatap Echa tajam. Tatapan itu mampu menghunus pandangan Echa, membuat nyali anak itu hilang tanpa bekas. Echa tak berani menatap Raga.
"Ga, Echa min-"
"Lo ke mana tadi pas gue tanding?!" Seketika, meraka menjadi pusat perhatian. Dengan kasar, Raga menarik Echa menuju taman belakang sekolah. Rasanya benar-benar sakit! Raga kasar!
Echa merintih kesakitan saat Raga menghempaskan tangannya yang kebiruan karena cengkramannya tadi. Echa makin menunduk. Dia berusaha tidak menangis di depan Raga.
"Mana janji lo?" Suara dingin itu mangalun di kuping Echa. Kenapa dengan Raga? Semarah itukah Raga hanya karena Echa tidak menontonnya bertanding? Ralat, harus ada dan menyemangati dengan suara paling keras?
"Maaf, Ga...."
Raga terkekeh sinis. "Lo malah enak-enakan sama Jiwa saat gue berusaha mengaharumkan nama SMA kita?"
Semua orang, jika melihat ini pasti mengira Echa adalah pacar yang terciduk sedang bermesraan dengan cowok lain saat cowoknya tengah mempertaruhkan nama baiknya. Tapi nyatanya, yang Raga katakan hanyalah menuntut sebuah hukuman karena tanpa sengaja Echa menabraknya! Ingat! Tanpa sengaja!
"Echa tadi nguru-"
"Lo bener-bener nggak bisa dipercaya!" Raga mencengkeram kedua bahu Echa. Ditariknya dagu Echa agar Echa bisa berhadapan langsung dengan wajahnya. Tapi yang Raga lihat adalah pipi Echa yang basah, pelupuk mata Echa yang berair, dan bibir Echa yang bergetar. Echa ketakutan. Tatapan Raga melembut. Rasa bersalah menyelimutinya. Ditariknya Echa kedalam pelukannya. Saat itulah tangis Echa pecah.
"Maaf, Ga.... Maaf...."
"Lagian pasti banyak 'kan yang ngasih minum ke Raga? Kenapa harus Echa? Bukannya itu hal sepele?"
Tenggorokan Raga tercekat, seakan ia tak bisa membantah apa yang Echa katakan barusan.
"Karena ini hukuman. Lo harus mau jadi salah satu dari suporter gue."
"Bukannya hukumannya cuma seminggu? Hari ini selesai 'kan, Ga?"
lagi, Raga terlihat benar-bebar bodoh.
"Kenapa juga harus Echa yang ngelap keringet Raga? Bukannya Raga pernah bilang jijik sama Echa? Emang Raga nganggep Echa apa?"
"Gue..., nggak tahu, Cha."
"Kenapa nggak tahu?"
Raga menggigit bibir dalamnya. "Ya, mana gue tahu! Gue selalu pengin ngelakuin itu tanpa sadar!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro