Bab 4| Pigura Kenangan
-*-*-*-*-
[P I N A N G A N]
............
"Vash punya ibu kan, Pak?" Mata bulatnya menatap ragu-ragu pada sosok Halim di meja makan. Ada kilat amarah, sedih, dan rasa bingung.
Halim tersenyum seraya mengusap kepala Mahvash yang tertutupi kerudung hijau. "Punya kok. Vash mau liat wajah ibu, nggak? Cantik loh, sama persis kaya Mahvash!"
Anak kecil yang semula menundukkan kepalanya itu mendongak semangat. "Mau, Pak! Vash mau liat wajah ibu!"
"Okeee, putri bapak tunggu di sini dulu, ya. Duduk yang cantik!"
Vash menuruti perintah Halim. Ia duduk menggemaskan masih sambil tersenyum-senyum karena bahagia. Sementara bapaknya sudah pergi ke kamar dengan kain lap untuk mengambil foto ia dan Rembulan yang lama tersimpan di kotak kayu.
Pigura berukuran 16R dikeluarkam dari kardus. Menyusul 5 pigura kecil yang biasa diletakkan di meja, lalu 3 buah album: pernikahan, keharmonisan selama empat tahun, dan album kehamilan rembulan. Halim tidak dapat menahan senyumnya ketika mengusap kaca pigura menggunakan kain yang sudah ia basahi.
Dulu Halim tak pernah kuasa ketika suatu hari putri kecilnya bertanya, "di mana ibu?" atau merengek-rengek ingin bertemu dengan ibunya. Sehingga ia menyimpan semua hal tentang Rembulan dalam kotak kayu yang dibuatnya sendiri. Sesekali Halim mengecek keadaan kotak menjelang sepertiga malam. Membersihkannya, lalu menyimpannya lagi.
Sulit mengikhlaskam sesuatu yang sudah lama bersama kita. Menemani suka dan duka, bahkan menjadi objek pertama yang kita temui saat kali pertama membuka mata. Namun, yang namanya titipan, suatu saat pasti akan kembali. Dan Halim perlahan harus benar-benar ikhlas atas ketetapan yang sudah Allah buat.
"Ini dia ibu Mahvash!" Beberapa tumpukan pigura dan album dibawa susah payah.
Vash melompat dari duduknya, sigap membantu bapaknya membawa dua album yang ternyata sangat berat. "Uwowo."
"Hati-hati, berat loh. Vash kuat, nggak?"
"Kuat, dong! Kan bentar lagi Vash mau ketemu ibu!"
Pada hati pria itu saat ini, ada pilu yang menyelimuti. Vash memang masih kecil, belum cukup besar untuk menerima kenyataan, ia juga takut setelah melihat wajah Rembulan dan tahu jika ibunya sudah tak lagi di sini, Vash akan kecewa dan murung sepanjang hari.
Halim memaksakan seulas senyum. "Yuk, yuk, duduk. Kita liat wajah ibu Vash yang caaaantiiiik banget!"
"Ayuk, ayuk!"
Album dan pigura kecil yang bertumpuk ditata satu persatu di meja makan. Dibantu Vash yang sudah sangat antusias mendengar cerita bapaknya.
"Nah, Vash. Ini foto bapak sama ibu waktu akad." Halim menyodorkan foto dalam pigura besar.
Gadis itu berdiri di atas kursi lantas menyeret hati-hati dan memiringkan kepalanya. "Akad?" katanya sambil menekuri foto yang diberikan Halim. Rasanya Vash pernah lihat wanita di foto ini. Namun, ia menyimpan pertanyaannya dalam kepala.
"Iya, akad. Vash pernah denger yang kaya gini, nggak. 'Saya terima nikahnya Rembulan Asyifa binti Muhammad Guntur dengan blablablabla."
Wajah kebingungan Vash langsung berubah semangat. Dia pernah mendengar kalimat itu saat pernikahan Tante Meli dan Om Iwan--Adik sepupu Halim--di Bandung. "Saaah!" sahutnya panjang.
Halim dan Vash tertawa kecil. "Wah, anak bapak pinter, nih."
"Iya dong! Vash kan pernah denger waktu pernikahannya Tante Meli. Jadi ini foto waktu bapak sama ibu nikah, ya?" Mahvash bertanya antusias.
"Iya. Gimana? Cantik kan? Kalau Bapak mah jangan ditanya, pasti jelas ganteng!"
"Ih, enggaaak." Vash menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Perut bapak ternyata dulu buncit!"
"Buncitnya dikit itu, sekarang kan udah nggak."
Vash tertawa geli. "Tapi yang di sini buncit. Ini keliatan bajunya nyembul."
Gadis kecil itu berdiri lagi di atas kursi, mendorong perutnya maju, lalu tangannya bergerak-gerak dari perut atas ke perut bawah membentuk sebuah lingkaran. "Begini, begini," katanya masih memperagakan sebuah perut buncit sambil memainkan alis.
Halim terbahak lantas menepuk kecil perut Mahvash, putrinya itu sekarang mengaduh lebay, menampilkan ekspresi kesakitan luar biasa di atas tempat duduknya. "Aduuuh, sakiiit! Bapak jahat!"
"Ish, ish. Anak bapak lebay ternyata, ya!"
Obrolan bapak dan anak itu terus berlanjut, diselingi candaan tiap sesinya. Halim juga menceritakan tentang bagaimana dia bertemu dengan Rembulan, godaan Eyang Kakong dan Eyang Putri juga saudara-saudara Rembulan karena pasutri itu belum juga dikaruniai momongan, ketika setiap malam berdoa pada Allah untuk dititipkan seorang anak, sampai akhirnya Rembulan hamil, dan Mahvash ada di sini.
"Terus sekarang ibu di mana, Pak?"
Halim membeku, tawa bahkan senyumnya mendadak sirna. Wajah ceria yang tadi hilang berganti kebingungan. Ini pertanyaan yang selalu Halim takutkan. Selalu saja dihantui rasa takut jika putrinya bertanya tentang keberadaan Rembulan.
"Pak? Bapak kenapa?" Vash menyentuh tangan kokoh berwarna kecoklatan akibat terbakar sinar matahari itu.
Saat bercerita tadi, sempat beberapa kali Halim meneteskan air mata dan tiba-tiba diam menatap kosong ke depan. Vash khawatir, tapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa.
Halim bukannya tidak menyadari kegelisahan anak di sampingnya. Ia tahu Vash ingin bertanya banyak hal tapi menjadi serba salah ketika Halim tiba-tiba diam.
Tubuhnya berbalik menghadap Mahvash yang duduk di sampingnya. Mengangkat putri kecilnya itu, lalu mendudukkan Vash di pangkuannya. Sambil memeluk dan mengecup kening Vash, Halim menguatkan dirinya sendiri untuk menyampaikan ke mana Rembulan pergi sekarang ini.
"Vash, vash tau kalau bapak, Vash, Eyang, Budhe, Pakde semua adalah titipan dari Allah?"
Kepala mungil itu berputar ke belakang, mendongak untuk melihat wajah bapaknya. "Kenapa Allah menitipkan semuanya? Vash dititipkan sama bapak. Bapak dititipkan sama Eyang, terus Eyang? Nggak usah dititipkan, ya?"
"Eyang dititipkan kok. Eyang dititipkan sama ayahnya Eyang. Buyut."
"Trus buyut? Sama buyutnya buyut?"
Halim mengangguk. "Allah menitipkan kita agar bisa saling melindungi satu sama lain. Menjaga, memperingatkan, mengisi waktu satu sama lain, banyak hal."
"Termasuk ibu sama bapak, ya?"
Halim mengangguk. "Karena kita semua titipan, ada masanya kita harus kembali sama yang punya kita, Vash."
"Yang punya kita Allah, kan?"
Sekali lagi Halim mengangguk, ia menciumi kening Mahvash lagi. "Ibu Mahvash, ibu Rembulan juga adalah titipan Allah. Saat Mahvash lahir, ibu berjuang sekuat tenaga agar Vash bisa melihat dunia dan menemani bapak di sini."
Vash masih menatap polos, lalu mengulang pertanyaan yang aama."Terus, ibu sekarang di mana, Pak? Kok nggak di sini sama Vash?"
Halim bergeming sejenak. Lidahnya tidak ingin melanjutkan, meski hatinya terus mendorong ia agar memberitahu anaknya. Dengan iringan bismillah, ia berharap semoga Mahvash tak kecewa. "Waktu Vash lahir ke dunia. Ibu sangaaat kecapean, ibu Mahvash tertidur lamaaa sekali. Semua berdoa supaya ibu bisa bangun trus liat anaknya yang cantik ini." Halim memeluk Vash, sangat erat.
"Tapi, Allah ternyata lebih sayang sama ibunya Mahvash. Sudah waktunya Allah mengambil titipan-Nya dari Eyang dan bapak. Jadi, sekarang ibu Mahvash sudah beristirahat lebih dulu, Nak."
Air mata tiba-tiba saja menggenang di pelupuk matanya, bibir kecil yang biasanya selalu tersenyum dan tertawa riang bergetar menahan tangis yang siap dimuntahkan. "Maksudnya ibu Mahvash udah meninggal?"
Air mata mulai jatuh, sesenggukan kecil tertahan seiring pertanyaannya. Benar kan apa kata Halim? Ia tidak bisa memberitahu Mahvash, karena pasti akan membuat anak itu sedih.
"Iya, Nak. Ibu Rembulan, ibunya Mahvash sudah meninggal sejak Mahvash lahir ke bumi."
"Ini salah Mahvash ya, Pak?" Wajah cantik dan mata besar Mahvash kini memerah. Gadis kecil itu merasa bersalah, entah karena apa yang tidak ia mengerti. Ada rasa sesak ketika bapaknya mengatakan jika ibunya sudah tiada. Meski ia belum pernah bertemu dengan sang ibu selama ini, diam-diam Vash selalu merindukan sosok Rembulan. "Vash pernah mimpi beberapa kali ketemu sama ibu yang di foto ini. Jadi itu ibu Mahvash ya?"
Dahi Halim mengernyit. "Di mimpi?"
"Iya, ibu yang di foto ini bilang kalau Mahvash harus jadi anak solehah, berbakti sama Bapak, nggak boleh ngerepotin Bapak. Trus harus jadi anak yang kuat."
MasyaAllah, laa quwwata illaa billaah. Halim membatin. Mungkin benar yang anaknya mimpikan adalah sang ibu, mungkin Allah memberikan ibu dan anak ini kesempatan untuk saling bertemu meski lewat mimpi.
Laki-laki memang jarang mengeluarkan air mata. Namun, bukan berarti mereka tidak boleh menangis. Bapak dan anak itu saling berpelukan, melepas tangis masing-masing dan saling menjadi penguat. Dengan lembut Halim mengulang kebiasaan mengelus puncak kepala Mahvash. Ia berkata, "Semua bukan salah Mahvash. Ini semua kehendak Allah. Semua adalah jalan yang sudah Allah tetapkan. Karena kematian pasti akan datang, mau itu besok atau hari ini. Vash nggak boleh menyalahkan diri, ya. Karena ibu sudah berjuang, Vash harus menuruti nasehat ibu. Jadi anak yang sholehah, Nak. Selalu doakan ibu biar bahagia di sana."
Kepala kecil dalam pelukan Halim mengangguk. "Aamiin. Semoga Vash, Bapak dan Ibu bisa kumpul di surganya Allah, ya Pak."
***
Assalamu'alaikum 😆
Ini updatenya pagi karena nanti malam mayan sibuk😂
Seperti apa sosok bapak dalam kehidupan kalian?
Kebanyakan akan menggambarkan jika bapak itu kaku, cuek, tegas, dsb.
Nah, lewat Halim. Aku memberikan gambaran, kalau gak semua bapak itu kaku. Nggak semua bapak itu menyeramkan.
Lewat Halim pula, mungkin kita mengidamkan seorang suami yang menyayangi keluarganya❤
Sudah tau alasan kenapa Halim belum cerita apa pun sama Mahvash tentang ibunya, kan?
Kehilangan seseorang yang dicinta itu sulit gaes😂. Lidah itu rasanya masih gak rela buat ngucap, meski sudah bertahun-tahun kehilangan.
Yaudah itu aja :) gak mau bawel, ntar pembaca pada kabur😂
Kita akan berpisah sama Mahvash kecil😭 padahal masih sayang.
Oh, iya. Makasih juga buat fathiya31 yang sudah buatin ini ....
SUKA BANGET😍😍😘
Tunggu next chap dari cerita Mahvash dan Bapak Halim, yaaaa.
Dadah~
.
.
.
Salam sayang, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro