Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3| Anak Pohon Nangka

"Katanya, madrasah pertama itu adalah ibu. Tapi, bagaimana denganku? Yang melihat wajah ibu saja tak pernah."

-*-*-*-*-

[A N P O N A]

............

Ia duduk dengan secarik kertas bertulis tinta hitam, ada gambar lingkaran jelek yang membuatnya jengkel pada lembaran itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengakui kenyataannya jika, ya Mahvash memang tidak memiliki ibu, dan ia baru menyadarinya.

"Vash keluar dari pohon nangka! Kan dia gak punya ibu!" Semua anak di kelasnya tertawa. Vash hanya tersenyum kikuk. Ia bingung harus menanggapinya bagaimana. Itu sindiran, atau cuma bercandaan? Ada kesal tapi melihat teman-temannya tertawa, ia juga ingin ikut tertawa.

Semenjak ejekan itu menyebar. Tidak ada lagi satu pun anak di kelasnya yang mau bermain dengan Vash. Dua tahun kelas terakhir di sekolah dasarnya, terasa seperti tempat yang amat memuakkan. Vash malas pergi ke sekolah lagi.

"Nak, sarapan dulu, yuk? Bapak sudah buatin telur dadar pedas kesukaan kamu."

Halim meletakkan nasi pada dua piring yang tersaji. Muncul Mahvash yang masih mengenakan baju tidur dari balik gorden pintu dapur.

"Vash nggak sekolah hari ini. Boleh, nggak?" Ia bertanya takut-takut sambil berjalan mendekati Halim.

Kening pria itu berkerut samar. "Kenapa? Vash lagi sakit, Nak?" Punggung tangan Halim ditempelkan pada dahi Mahvash. "Nggak panas. Perutnya mual?"

Gadis kecil itu menggeleng pelan. "Nggak, Pak. Vash sehat. Cuma ... Vash lagi ...."

"Lagi?"

Gadis kecil itu memalingkan wajah saat Halim menatapnya lekat-lekat. Ia tidak ingin berbohong pada bapaknya. Tapi Vash juga tidak bisa bilang kalau ada yang mengejeknya di sekolah karena tidak memiliki seorang ibu.

Sayang, meski Vash sudah bersusah payah menyembunyikannya, insting Halim sebagai seorang ayah mencium ada hal tidak beres yang sedang anaknya rahasiakan darinya. Tangan kecoklatan Halim mengangkat tubuh mungil Mahvash. Satu-satunya cara mengecek sebuah kebohongan adalah dengan menatap mata lawan bicaranya.

"Lihat mata, Bapak."

Gadis itu menuruti perintah Halim."Ada yang kamu sembunyiin dari Bapak?" tanyanya dengan nada rendah.

Kepala yang tertutup kerudung pink itu menggeleng kecil. Tentu Halim tidak akan percaya semudah itu. Lah, wong tidak ada apa-apa kok mukanya cemberut gitu?

Tidak kuat mengangkat sang anak, Halim mendudukkan Mahvash di atas meja makan. "Terus kenapa dong wajah anak bapak jadi jelek gini pagi-pagi?"

"Vash kan belum mandi, Pak. Makanya jelek!" katanya berteriak ketus. "Niiih, di mata Vash masih ada beleknyaaa." Telunjuknya diarahkan pada sudut matanya yang lebar, lalu mencuil benda putih kekuningan di sana.

Bapak satu anak itu tertawa melihat tingkah Mahvash yang selalu bisa menghiburnya setiap waktu. Kekhawatiran tentang anaknya yang merahasiakan sesuatu perlahan menguap, meski masih ada sisa rasa penasaran karena rasanya aneh sekali mendengar Mahvash tidak ingin masuk sekolah.

Boleh jadi ia sedang terkena sindrom malas, akibat jenuh bersekolah seperti yang dirasakan kids zaman now.

"Jadi anak Bapak nggak mau masuk sekolah beneran, nih?" Halim menoel pipi gembul Vash yang masih sibuk membersihkan kotoran di sudut matanya.

"Emang boleh, Pak?"

"Boleh kok. Tapi Bapak jadi bingung deh."

Vash mengernyitkan keningnya sambil memiringkan kepala. "Kok Bapak bingung?"

"Bapak bingung mau tulis keterangannya apa di surat. Ditulis sakit, Vash lagi nggak sakit. Ditulis izin, kan kita lagi nggak mau ke mana-mana. Terus bapak tulis apa dong? Bolos?"

"Ih, jangan!" Vash menjerit, lalu menutup mulutnya lagi. Telunjuk kanannya ditempelkan dekat mulut sembari berkata pelan, "jangan ditulis bolos. Nanti Vash dimarahin ibu guru."

"Loh ... kok dimarahin? Kan Vash jujur, toh?"

"Ih, bukan gitu bapaaak!" serunya gemas. Gadis setinggi pinggang ayahnya itu meletakkan kedua tangan di atas kepala lalu memutar-mutar kepalanya. "Ah, udah, ah! Vash masuk sekolah aja!"

"Lah? Katanya tadi gak mau masuk?"

"Nggak jadi! Bapak bikin Vash pusing."

"Kalau pusing jangan masuk dong Vash. Berarti kan lagi sakit."

"Aaak ...."

Kali ini Halim benar-benar terbahak, tidak sanggup menahan tawa ketika melihat tingkah menggemaskan anaknya. Kegiatan menggoda Vash seperti inilah yang paling ia suka. Tidak pernah ada bosannya mengamati setiap perubahan ekspresi bocah kecil ini.

"Ya sudah kalau mau sekolah. Sekarang, sarapan dulu atau mandi dulu?"

Jemari Vash diketuk-ketukkan pada dagunya, menirukan orang dewasa ketika sedang menimang sebuah keputusan. Jam masih menunjukkan pukul 05.38 WIB, masih banyak waktu tersisa sebelum bel berbunyi.

Jadi, Vash putuskan ...

"TIDUR DULU SAMPAI PUKUL ENAM BARU MANDI!"

Ia pun langsung melompat dan berlari kecil ke arah kamarnya lagi.

***

Mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah. Rok merah, dan seragam putihnya juga sudah disetrika rapi, harum pula. Dengan sentuhan hijab putih berhiaskan bunga kecil di tengahnya, Mahvash melangkahkan kakinya ke halaman sekolah.

"Eits, eits. Anak bapak mau ke mana itu? Belum salim sudah nyelonong, katanya males ke sekolah."

Godaan Halim menghentikan langkah anaknya. Vash memutar tubuhnya kembali, kemudian berjalan menghampiri bapaknya yang masih duduk di atas jok motor bututnya. Ia meraih tangan Halim, lantas menyalaminya.

Entah mengapa, rasanya memang ada hal yang dirahasiakan Mahvash dari dirinya. Sepanjang perjalanan, Mahvash yang biasanya berceloteh tentang kebiasaan teman-temannya di sekolah berubah menjadi pendiam. Ia tak banyak bicara, seolah sedang ketakutan akan sesuatu.

"Anak Bapak kok keliatannya nggak semangat? Jadi nggak nih sekolahnya?"

Vash mendongak, menatap mata hitam ekspresso milik bapaknya lalu tersenyum kecil. "Jadi kok, Pak. Ini Vash mau masuk ke dalam."

Ia melepaskan tangan Halim, mengucapkan salam lalu berlari masuk ke gedung sekolah. Kakinya berhenti ketika sudah memijaki lantai pualam yang sudah terpel bersih tanpa debu. Mahvash menarik napas sejenak. Mulai dari sini, langkahnya akan semakin berat. Dengan ucapan basmalah, serta diiringi doa sepanjang jalan, Vash berjalan ragu menuju kelasnya.

Tanpa Vash ketahui, Halim ternyata berniat mengikutinya dari belakang. Pria itu tidak tahan untuk tidak mengetahui sendiri, apa yang sebenarnya terjadi pada putrinya di sekolah.

"Loh, Pak Halim?" seseorang menegurnya sebelum masuk ke gedung sekolah. Halim menoleh ke arah sumber suara, menemukan Handoko yang baru saja keluar dari ruang BK.

"Pak Doko? MasyaAllah, gimana kabarnya, Pak? Sehat?"

"Alhamdulillah sehat, Pak."

Dua orang yang sudah lama tidak bersua itu tertawa-tawa sambil membahas satu hal yang menurut mereka menarik.

"Nganterin surat, Pak? Siapa yang sakit?" tanya Halim berempati. Pandangannya mengarah pada pintu ruang BK.

"Ah, anak saya. Yang bungsu, Nayya. Lagi demam habis main hujan kemarin. Terus mau nganterin bekalnya Pena, ketinggalan."

Halim bwerseru takzim. "Owalah, memang lagi musimnya, Pak. Harus jaga kesehatan. Ketulan saya juga mau ke kelas Mahvash. Bareng saja mungkin?"

Handoko tertawa hingga perutnya bergocang ke atas ke bawah. "Boleh, boleh. Mari."

Dua pria itu sama-sama melangkah masuk ke area sekolah. Banyak anak kecil berseragam sama berlarian ke sana-kemari. Bermain petak umpet, membaca buku, menikmati cemilan pagi dan banyak lainnya. Sementara di tengah lapangan, ada segerombolan siswa yang rela berbau peluh demi memasukkan bola hitam putih ke dalam gawang.

Bahagianya masa kecil mereka yang berkumpul dan belajar bersama dengan teman-teman sebayanya.

Di sekumpulan anak ini, tidak ada putri kecilnya. Ia baru menemukan Mahvash ketika tiba di ambang pintu kelasnya. Meski Halim tidak menyangka akan menemukam Mahvash yang dikucilkan oleh teman-teman sekelasnya.

Putri kecilnya membereskan kertas yang ada di atas meja, ia bahkan menunduk dalam ketika teman-temannya mengolok Mahvash dengan sebutan 'Anak yang tidak memiliki ibu,' perkataan mereka juga mengiris hati pria yang berdiri di luar sana. Handoko yang ada di dekat Halim pun terkejut, rasa empati dan ingin menolong juga ia rasakan.

Satu pria terpaku di tempat. Satunya lagi hendak menolong, andai suara anak yang dicari tidak memanggilnya.

"Loh, Ayah? Kok di sini? Ngapain?" Suara anak kecil yang familier di telinga Handoko terdengar dari arah belakang.

"Pena? Ayah ke sini mau ngasih kotak bekal kamu. Tadi kamu lupa ambil, sekalian titip sama punya Rayya, ya."

Pena berseru 'Oh' panjang. Matanya beralih pada pria di samping ayahnya yang tidak ikut menoleh. Matanya hitam, sangat pekat, tubuhnya masih tegap tegar, tidak seperti ayahnya yang gemuk dan sedikit beruban. Pria asing itu memandang dengan sorot bersalah ke arah kelas 6.C, seolah tidak akan melepaskan tatapannya meski ada tsunami menerjang.

Pena jadi penasaran, apa yang dilihat om itu, sih? Ia melangkah ke depan kelas, ikut melihat yang ada di dalam.

Rasa-rasanya temperatur emosi Pena sedang tidak baik hari ini. Tanda merah yang awalnya ada di nol, dengan drastis naik mencapai angka seratus. Pena tidak bisa tidak diam saja.

Ia masuk dengan langkah seribu, meski sang ayah meneriaki namanya, Pena tidak ingin berhenti.

***

Yang bisa Mahvash lakukan adalah bersabar hati, sama seperti yang wanita itu ajarkan dalam mimpinya. Dia tidak boleh termakan emosi, ia harus kuat. Vash tahu kok, ia pasti punya ibu. Hanya saja sang ayah tidak pernah memberitahunya.

Satu persatu Vash memunguti sampah kertas di mejanya, lalu menyembunyikannya di kolong meja.

"Ih, Vash! Ibu pohon nangkanya mana? Kasian bersihin sendirian!"

"Kalau aku ya pasti dibantu mama buat bersihin mejaku!"

"Apalagi aku! Eh, eh, bundaku masakin ayam goreng enak banget, loh. Kalau ibu kamu masakin kamu apa Vash?"

"Heh, Dita! Vash kan nggak punya ibu!"

"Ih, kata siapa? Dia punya ibu pohon nangka kok!"

"Nah, bener. Jadi mungkin bekalnya hari ini nangka goreng!"

Semua anak tertawa, kecuali Vash. Bibirnya ingin tersenyum, tapi hatinya bilang jika tidak suka dengan bercandaan teman-temannya.

Allah lihat Vash, nggak? Terus kenapa Allah tega biarin Vash tiap hari diejek temen-temen? Allah nggak sayang sama Vash, ya?

"Lebih enak gorengan nangka daripada ayam goreng punyamu itu! Udah berlemak, nggak sehat, bikin perut kamu keliatan buncit kayak gentong!"

Serentetan kalimat tadi membuatnya mendongak. Bahkan anak kecil yang berkerumun dan mengocehi kemalangan Vash menoleh ke arah sumber suara.

"Heh, kamu siapa?" tanya salah seorang murid laki-laki di kerumunan itu.

"Apa tanya-tanya namaku? Kamu naksir, hah?" jawabnya ketus. Ia lalu meraih tangan Vash yang hanya berjarak beberapa senti saja darinya yang sudah berjalan memasuki kerumunan.

"Berlagak kamu! Dasar cewek jelek!"

"Ih kamu tuh cewek ular!" balas Pena tak kalah sengit. "Denger, ya! Kalau sampai ada yang berani gangguin ...," Pena menengok ke arah sampingnya. "Siapa nama kamu?" katanya polos.

"M-Mahvash," balas Vash terbata.

"Nah, iya! Mahvash! Nanti aku plontosin kepalanya, sama kayak punya Ayah!" Pena mengakhiri kalimatnya dengan menunjuk pria di luar sana yang terkesiap menunjuk dirinya sendiri.

Anak-anak itu baru menyadari jika ada orang dewasa yang melihat tindakan mereka tadi. Otomatis semuanya ketakutan, kemudian bubar tanpa perlu diperintah lagi.

"Hih, dasar bocah nyebelin." Anak yang tidak Mahvash kenal itu masih saja menggerutu. Wajahnya chubby, dengan rambut pendek dan jepit rambut berbentuk pena yang menghiasi. Belum habis rasa penasarannya, gadis yang menolongnya itu langsung berbalik lalu menepuk dua bahu Mahvash dengan mantap.

"Salam kenal. Namaku Pena Swastamitha. Kelas 6.A, kamu kalau ada yang ngejekin jangan diem aja dong! Harus dilawan!"

"I-iya!"

"Bagus! Nggak usah khawatir. Aku bakal jadi teman kamu kok. Gak perlu takut juga, aku nggak bakal nyebelin kaya mereka!"

Mata Vash berbinar cerah, ia mengembangkan senyum yang akhir-akhir ini mulai meredup akibat kejadian di sekolah. "Beneran?"

Pena mengangguk meyakinkan. "Iya, dong! Soalnya kita sama! Aku juga nggak punya bunda!"

***

Assalamu'alaikum, semua~

Mahvash sama Pak Halim yang gemesin balik, nih😂

Wkwkwk

Gatau kenapa suka aja liat tingkah bapak sama anak ini.

Lucu gaes😂

Mau tanya, nih

Ada yang pernah jadi korban bully?

Atau ada yang suka ngejek temennya waktu masih sekolah dulu? :)

Meski kadang kita anggap itu sebagai bercandaan. Tapi tau gak perasaan orang yang kita bercandain gimana?

Belum tentu mereka suka. Kalau sampai hatinya terluka lalu menyimpan dendam. Gimana?

Direnungkan, ya~

Kalau sudah sadar, jangan diulangi lagi.

Yang menjadi korban selalu semangat. Dan, betul tuh kata Pena. Harus dilawan! Kita nggak boleh diem, itu namanya kalian membiarkan kedzoliman.

Bilang sama orang tua kalian. Jangan dipendam sendiri. Kalian itu titipan terindah :)

Yaudah, ah. Jadi bawel lagi ini😂

Terima kasih buat yang masih setia sama Vash❤

Semoga suka.

Sampai ketemu di next chap, ya!

.
.
.

Salam sayang, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro