8. Insiden Jalan Sepi
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.
***
Wanita seperti halnya obor api, jika laki-laki tahu cara menggenggamnya, ia akan menerangi jalannya. Tetapi jika laki-laki salah dalam menggenggamnya, ia akan membakarnya.
~Anonim~
🧡🧡🧡
Usai mengakhiri panggilan, saya lekas mencari keberadaan orang-orang yang tengah mengadakan balapan liar. Selain bisa memberi petunjuk pada para polisi, saya juga bisa mencari tahu tentang gadis yang jatuh tadi. Entah kenapa, saya masih merasa bersalah atas kejadian beberapa menit lalu. Takutnya hal yang tidak diinginkan menimpa gadis itu.
10 meter dari persimpangan, saya melihat segerombol orang berkumpul di tengah jalan. Itulah mereka, kawanan pembalap liar yang selalu meresahkan. Saya lihat mereka sedang asyik tertawa.
Apa yang sedang mereka tertawakan?
Kelopak mata saya melebar begitu menjumpai sosok gadis yang tadi terjatuh tengah dikerumuni para lelaki. Tak pelak jantung saya berdegup kencang menyaksikan tangan nakal si lelaki meraba setiap lekuk tubuh gadis itu. Sepertinya ada yang tidak beres di sini.
"Udahlah, Rey, gak usah jual mahal. Lu udah kalah, itu artinya lu kalah taruhan. Dan lu tau, kan, apa yang harus lu lakukan kalau lu kalah?"
"Gak, gua gak mau!" Tampak gadis itu ketakutan saat jaraknya semakin dekat dengan lelaki yang tadi berbicara.
"Gua gak peduli, mau gak mau, pokoknya lu harus layani gua!"
Saya tersentak begitu mendengar kata 'layani' diucapkan oleh si pria. Melayani? Melayani dalam artian apa? "Baj*ngan! Lepasin gua!"
Tersentak untuk kedua kalinya. Gadis yang dipanggil Rey meronta saat si pria berniat mencumbunya. Di depan semua orang. Saya yang tidak bisa melihat perempuan diperlakukan dengan tidak senonoh, memberanikan diri untuk maju.
"Lepaskan dia!" Netra semua orang langsung tertuju pada saya. Menambah rasa takut yang sebelumnya sudah menyelimuti sebagian hati. Terlebih ketika sepasang mata pria itu menatap saya dengan sengit.
"Lu siapa, berani-beraninya memerintah gua?"
Sebelum menjawab, saya sempatkan menatap Rey barang sebentar. "Calon suaminya."
Bukan hanya pria itu saja yang terkejut mendengar penuturan saya, si gadis pun sampai membelalakkan mata saking tidak percaya.
"Apa? Calon suami?" Usai membeo, gelegar suara tawa pun mulai berderai. "Eh, Rey, serius, dia calon suami lu?" Tanya pria itu setelah berhasil menghentikan tawanya. Karena tak ada jawaban, si pria kembali berujar, "bilang sama gua, kalau yang dia katakan itu bohong. Bilang, Rey!"
Bukannya menjawab, si Rey malah menatap bingung pada saya. Aduh, gadis itu, kenapa tidak mengiyakan saja? "Rey, bilang," desaknya, mencengkeram kuat lengan bagian atas Rey.
"Emang lu mau apa kalau dia benar calon suami gua?"
Seketika napas saya berembus lega. Namun hanya beberapa saat saja, karena setelahnya, pria itu mendorong tubuh Rey, lantas berjalan menghampiri saya. Dengan kilat amarah yang menyorot tajam dari dua matanya, dia terus melangkah. Membuat saya menggerakkan kaki sedikit demi sedikit agar bisa menjauhinya.
Allah, tolong lindungi saya dari bahaya malam ini.
Dalam hati tak henti saya berdoa, berharap aparat segera sampai di tempat. Untuk beberapa saat, saya mencoba tetap tenang. Apalagi ketika pria itu memandang saya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Lu calon suaminya, ya," katanya disusul senyum mengerikkan. "Lihat, apa yang akan gua perbuat dengan calon istri lu. Sebelum lu miliki dia, gua pastikan dia akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya."
"Jangan macam-macam dengannya, atau kamu akan menanggung akibat dari perbuatanmu itu."
"Oh, gua gak macam-macam, gua cuma minta satu macam, dan kebetulan calon istri lu menyanggupi. Jadi, jangan salahin gua kalau hal itu sampai terjadi."
Kami saling melempar tatapan tajam. Entah yang saya lakukan ini sudah benar, atau tidak. Karena tadi saya hanya ingin membuat mereka diamankan oleh pihak kepolisian. Namun, karena tidak tega pada gadis bernama Rey itu, saya jadi harus mengaku sebagai calon suaminya. Padahal kenal saja tidak.
"Ayo Rey, ikut gua."
Saya benar-benar kelabakan saat pria itu menarik tangan Rey. Bagaimana ini, apa yang harus saya lakukan? Jika dibiarkan begitu saja, pria itu pasti akan menyakiti Rey. "Jangan sentuh tangannya," sentak saya, melepas tangan si pria yang melingkar di pergelangan tangan Rey.
"Berani lu sama gua!"
Sambil melotot ke arahnya, saya berkata, "apa pun akan saya lakukan untuk melindungi wanita yang saya cintai."
"Sialan!"
Bughhh!
Saya terpelanting beberapa kali tatkala satu bogeman mendarat di pipi. Rasa panas yang mulai menjalar di seluruh permukaan kulit wajah membuat saya meringis. Begitu saya raba, tampak darah segar mengotori ibu jari. Setelah ini, kemungkinan saya akan kesulitan berbicara karena sudut bibir yang pecah.
"Lu dengar baik-baik!" Sekujur tubuh saya hampir bergetar karena pria itu mendadak mencengkeram bagian kerah baju saya. "Gua gak peduli lu siapanya Reyna. Gua gak peduli seberapa besar cinta yang lu miliki untuk dia. Yang gua mau sekarang, dia jadi milik gua seutuhnya!"
Saya masih berusaha untuk bangun setelah pria itu mendorong keras tubuh saya ke dasar aspal. Sekarang, tidak ada yang bisa saya lakukan lagi selain menatap Rey yang tengah ditarik paksa oleh teman-teman si pria. Ya Allah, apakah saya berdosa, jika membiarkan gadis itu diperlakukan tidak baik oleh pria lain?
Kehidupannya, masa depannya, semua harapannya akan hancur seandainya pria itu berhasil merenggut apa yang sudah dijaga Rey selama ini.
"Lepasin gua, Rel, gua gak mau!"
"Lu udah janji, Rey, dan lu juga udah setuju sama taruhan kita tadi siang!"
"Tapi, gua gak mau, Rel, gua mohon jangan lakukan itu ke gua!"
Di bawah temaramnya lampu jalan, saya bisa melihat tetes air yang keluar dari mata Rey. Dia menangis. Mungkin karena takut, atau hanya sekadar mengelabui, saya tidak terlalu memahami arti dari tangisannya itu.
"Gua akan berikan motor itu, asal lu lepasin gua, gua mohon, Rel." Dengan melas Rey bersimpuh di hadapan pria itu. "Gua gak mau ngecewain orang tua gua. Selama ini gua udah jadi anak yang nakal, dan gua gak mau mereka makin kecewa cuma gara-gara gua gak bisa jaga diri," lanjutnya, mendekap kedua kaki orang yang berdiri tegak di depannya sambil menangis sesenggukan.
"Bubar, semuanya! Bubar! Polisi datang!" Tiba-tiba seseorang berlari menuju kerumunan sambil berteriak. Karena takut, semua orang yang ada di sini berhamburan melarikan diri. "Rel, kita harus tinggalkan tempat ini secepatnya, polisi lagi menuju ke sini!"
"Sialan! Siapa yang udah berani lapor polisi?"
"Gua juga gak tau, ayo, Rel, kita cabut aja!"
Sebelum pergi, pria yang dipanggil 'Rel' oleh temannya itu menatap sekilas ke arah saya. Terlihat tatapan murka memancar dari kedua bola matanya. Sepertinya dia curiga pada saya mengenai laporan ke polisi, tapi saya senang karena akhirnya polisi datang tepat waktu.
"Urusan kita belum selesai, Rey, ingat itu," kata si pria sebelum akhirnya memacu kendaraan secepat kilat.
"Kamu gak ikut kabur?" Tanya saya pada orang yang masih berusaha menghentikan tangisnya.
"Badan gua masih lemas," ujarnya, menyeka air mata yang tersisa di pipi.
Tak lama dari itu, satu unit mobil kepolisian berhenti tepat di samping kami. "Selamat malam. Kami baru saja mendapat laporan, kalau di daerah sini sedang terjadi balapan liar. Sekarang di mana orang-orang yang terlibat itu?" Begitu keluar mobil, salah satu polisi bertanya pada saya.
"Selamat malam, Pak. Mereka baru saja kabur, tepat saat rombongan polisi datang kemari."
Polisi itu membuang napasnya dengan kencang. "Kamu yang tadi menelepon kantor?" Untuk menjawabnya, saya hanya mengangguk. "Terima kasih sudah menelepon. Sekarang kami harus melanjutkan pencarian untuk menangkap komplotan pembalap liar itu. Selamat malam."
"Baik, Pak, selamat malam."
"Oh iya, perempuan itu bukan bagian dari mereka?"
Saat polisi menunjuk Rey, pandangan saya ikut melihatnya. "Mmm, bukan, Pak, dia ... teman saya." Saya menjawab usai bergelut dengan pikiran dan hati.
"Baiklah, kalau begitu kami permisi."
Saya mengangguk, membiarkan para polisi itu kembali melanjutkan tugasnya. Seketika suasana hening. Sekarang, hanya tersisa saya dan Rey di tempat. Rey masih sibuk mengenakan jaket kulitnya, sementara saya bingung harus berbuat apa. Hari sudah semakin larut, ingin pulang duluan, tapi tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian.
"Malam ini benar-benar sial banget. Udah kalah balapan, dipermalukan depan orang banyak lagi." Mendengar gerutuan Rey, saya langsung meliriknya melalui ekor mata. "Semua ini gara-gara lu, gua jadi gak bisa bikin si cecunguk bau itu kapok. Setelah ini, dia juga pasti gak akan lepasin gua."
Rey menyalahkan saya atas kejadian tadi, padahal dia sendiri yang sudah sok berani untuk ikut balapan liar. "Memangnya kamu saja yang merasa sial malam ini? Saya sepertinya jauh lebih sial. Sudah hampir tertabrak, setelah itu saya harus berbohong di hadapan semua orang, juga berbohong di hadapan polisi demi menyelamatkan orang yang gak pantas saya selamatkan. Dan lebih parahnya, saya harus kena pukulan keras dari teman balapan kamu. Seharusnya kamu berterima kasih sama saya, karena saya masih mau menyelamatkan kamu. Kalau enggak, mungkin tadi kamu sudah digondol polisi ke kantor."
Ringisan pelan keluar dari mulut saya. Rasa sakit dari pukulan tadi masih terasa, dan saya lupa malah berbicara panjang lebar pada Rey.
"Oke, makasih karena lu udah mau menyelamatkan gua, pura-pura jadi calon suami gua, habis itu pura-pura jadi teman gua. Tapi tetap aja, lu yang salah dalam hal ini. Coba kalau tadi lu gak menghalangi jalan gua, gua gak akan jatuh, dan pastinya gua bisa mengalahkan si cecunguk bau itu."
Raut wajah saya berubah miris. Tidak menyangka kalau di dunia ini ada perempuan yang berantakan seperti dia. "Saya jadi menyesal sudah menyelamatkan kamu tadi. Kenapa tadi saya gak bilang saja, kalau kamu juga terlibat dalam aksi balap liar itu," ujar saya, mengungkapkan kekesalan.
"Gua, kan gak minta lu buat menyelamatkan gua. Itu mah, salah lu sendiri. Ngapain lu sok-sok'an pengen nyelamatin gua, mau jadi pahlawan lu?" Kedua tangan Rey terlipat di depan dada, menambah kesan angkuh yang sepertinya sudah ada sejak lahir.
"Semoga saja Tuhan gak marah karena saya sudah berani berbohong hanya untuk membela orang salah seperti kamu."
"Apa, gua salah?"
"Iyalah, balap liar itu, kamu pikir itu bukan kesalahan?"
"Balapan itu bagian dari style gua, jadi itu bukanlah kesalahan."
Bola mata saya berputar malas. "Kalau balapannya di tempat yang tepat, bukan di jalanan seperti ini."
"Alah, dasar kampungan. Orang gak gaul macam lu mana paham sama nikmatnya balapan liar."
Nada bicaranya memang tidak setinggi tadi. Namun, tetap saja saya masih bisa mendengar apa yang dikatakan gadis itu. Sudahlah, sampai kapan pun, perdebatan antara saya dan Rey tidak akan menemukan ujung. Kalau saja tidak ada yang mau mengalah. Untuk itu, kali ini saya mengalah, walau sebenarnya saya masih kesal pada gadis itu karena sudah menyalahkan saya atas segala hal yang terjadi malam ini.
"Sudah malam, saya harus pulang. Semoga setelah ini, kamu tidak mengulangi lagi kesalahan dengan mengikuti balapan liar. Karena selain membahayakan diri sendiri, apa yang kamu lakukan bisa membahayakan orang lain. Ada baiknya, kamu ikuti sesuatu yang lebih bermanfaat, bukan malah menghambur-hambur waktu dengan melakukan kemudaratan."
"Emang gua pikirin?"
"Terserah. Apa pun itu, semoga ini menjadi pertama dan terakhir kalinya saya bertemu wanita seperti kamu," pungkas saya, lantas berjalan menjauhi gadis yang masih bertengger di atas motornya.
"Emang gua wanita apaan? Eh, asal lu tau ya, gua juga gak mau kali ketemu lagi sama lu. Dasar songong lu!"
Sayup-sayup saya mendengar gadis itu terus berteriak tidak jelas. Namun, saya memilih untuk membiarkannya. Banyak berbicara dengan orang yang kurang ilmu memang begitu. Apa yang dibicarakan tidak akan pernah ada habisnya. Sepanjang apa pun saya memberi nasihat, dia akan tetap menyangkal.
🧡🧡🧡
Hari terakhir melaksanakan ujian semester. Alhamdulillah, akhirnya sebentar lagi saya bisa menghirup udara kebebasan untuk beberapa bulan ke depan. Meskipun sebelum ujian saya sudah puas main di Semarang, tetap saja rasanya berbeda.
Selama 6 bulan kemarin, saya memang bisa pergi ke sana kemari, tidak melulu terpaku pada urusan kampus. Namun, tugas kuliah yang selalu rutin datang setiap harinya cukup membuat isi kepala saya berdesakan minta keluar. Ditambah dengan urusan pekerjaan, fokus saya jadi bercabang. Alhasil, walau setiap Minggu saya sering datang ke pantai, hal itu belum bisa membuat saya bebas sepenuhnya.
"Syafiq!"
Bersamaan dengan terhentinya langkah kaki, saya membalikkan tubuh ke arah sumber suara. Dari jarak beberapa meter saya bisa melihat Zakky berlari kecil mendekati saya. "Ujian udah selesai?" Tanyanya setelah sampai.
Zakky ini bukan teman kelas saya, satu fakultas juga tidak. Pertemanan kami terjalin karena kami satu organisasi, dan satu komunitas. Ditambah kami mempunyai hobi yang sama, alhasil saat pertemuan pertama kami langsung klop. Selain Syahrul, dia yang sudah banyak membantu saya selama ini.
Meskipun di Jakarta ada Om Deri, saya segan meminta bantuan padanya. Padahal jika bertemu, Om Deri selalu mewanti-wanti agar saya tidak sungkan meminta bantuannya. Namun apa daya, saya selalu saja merasa tak enak.
"Fiq?"
"Eh, iya Ky, alhamdulillah, sudah. Kamu sendiri bagaimana, ujiannya lancar?"
"Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar." Kaki kami mulai melangkah perlahan. "Oh iya, pulang dari sini ente gak ada acara apa-apa, kan?"
"Kebetulan hari ini sedang kosong. Kenapa?"
"Ke rumah yuk, Umi ngundang ente untuk makan di sana."
Mata saya langsung berbinar. "Masya Allah, Ky, kamu serius?"
"Ya, seriuslah, emangnya ente lihat ane lagi becanda?"
Bibir yang mulanya hanya menampilkan garis tipis, kini semakin mengembang. "Suatu kehormatan bagi saya karena sudah diundang oleh ibu negara untuk makan bersama."
"Ah, ente, Fiq, gak usah berlebihan gitu, kayak sama siapa aja." Senyum Zakky berubah canggung. "Ya udah, yuk, jalan." Ia lantas merangkul bahu saya, dan kami pun berjalan beriringan menuju tempat parkir.
****
Bangunan dua tingkat dengan rerimbun pohon dan tanaman hias di depannya menjadi ciri khas dari rumah keluarga Zulfikar. Kata Zakky, uminya sangat menyukai tanaman, lebih lagi pada kelompok flora yang memang selalu memikat hati para penikmat. Jadi bukan hal yang aneh jika hampir sekeliling rumahnya dipenuhi dengan berbagai jenis pohon dan bunga. Katanya agar suasana lebih sejuk, apalagi Jakarta terkenal dengan suhu panasnya. Setidaknya pohon dan taman bunga seperti ini bisa menetralisir rasa panas.
"Fiq, ente gak keberatan, kan makan di rumah ane?"
Saya yang tengah asyik memerhatikan sekitar segera memfokuskan diri pada Zakky. "Sebenarnya saya gak enak sama keluarga kamu, tapi berhubung umi kamu sendiri yang minta, gak baik juga menolak. Bukankah kata Rosulullah salah satu haq seorang muslim terhadap muslim lainnya, adalah memenuhi undangan?"
"Bener banget. Ya udah, yuk, masuk."
Bersamaan dengan ucapan salam, Zakky membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Menampilkan beberapa ruangan dengan suasana sunyi di dalamnya. Saya tidak tahu berapa orang yang tinggal di sini, saya juga tidak tahu apakah Zakky anak tunggal, atau masih memiliki saudara. Yang jelas, selama saya mengenalnya, dan bermain ke rumahnya, saya tidak pernah bertemu dengan orang selain abi dan uminya.
"Kita langsung ke ruang makan aja, ya, kebetulan katanya Umi udah selesai masak."
Saya hanya manut saja. Berjalan di belakangnya, tanpa berani menelisik isi rumah Zakky lebih lama. Benar saja, begitu menginjakkan kaki di ruang makan, meja berukuran kurang lebih 2 meter itu sudah terisi penuh dengan berbagai macam hidangan. Di kursi yang bersebelahan dengan Zakky, saya duduk, menghadap menu makanan yang cukup membuat air liur saya menetes.
"Alhamdulillah, akhirnya Syafiq mau juga makan di sini." Tiba-tiba Bu Safna--uminya Zakky--datang dari arah dapur.
"Syafiq gak enak kalau harus nolak, Umi, katanya takut Umi sedih." Yang menjawab itu Zakky, bukan saya. Karena saya terlalu bingung bagaimana menanggapi sambutan yang diberikan uminya Zakky.
"Bagus kalau begitu, lagi pula kamu belum pernah makan di sini, kan, padahal main sudah sering." Saya pun hanya menampilkan senyum kikuk. "Sambil menunggu Abi pulang, lebih baik Syafiq minum dulu jus jeruk ini, biar segar, ya," imbuh Bu Safna, menyodorkan segelas air berwarna oranye ke hadapan saya.
"Umi, Nana izin keluar seben--loh, kok ada...."
Saya yang sedang menikmati jus oranye seketika tersedak. Bola mata saya nyaris melotot karena mendapati seseorang yang tak begitu asing ada di hadapan saya.
"Kamu...."
Kamu, kamu, kamu, kamu🤭🤭
Siapa ya? Pemain baru?
Next part, see you...
🧡
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro