Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Gadis Liar

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.

***

Walau gak ada yang peduli, tetap lanjut aja. Sebab, kehidupanmu gak dipengaruhi oleh seberapa banyak orang yang mengikuti.

🧡🧡🧡

Pada saat sinar mentari menyelundup masuk melalui fentilasi kamar, saya masih bergelung dibalik selimut. Kalau boleh jujur, selepas subuh tadi saya kembali tidur. Seluruh badan saya rasanya lemas, padahal saya sudah sampai di Bandung sejak kemarin sore. Mungkin rasa lelahnya masih terasa sampai sekarang. Alhasil, saya yang tidak biasa tidur sehabis subuh pun terpaksa melakukan itu sebab mata yang tidak bisa diajak kompromi.

Melihat jam digital yang menempel di dinding, napas saya berembus. Ditariknya selimut ke atas agar menutupi seluruh bagian badan. Selama belum ada orang yang menyuruh saya keluar, saya akan tetap bertahan di sini. Di dalam selimut yang mendekap saya dengan penuh kehangatan. Sebenarnya saya benci bersikap seperti ini, tapi ya sudahlah. Sesekali.

Di luar masih hening, sama sekali belum terdengar kegaduhan yang biasa terjadi setiap pagi. Jelaslah, orang yang ada di rumah ini hanya Ummah, Abbah, dan saya. Tidak ada yang lain. Ummah pasti masih sibuk dengan peralatan dapurnya, sampai dia melupakan anaknya yang masih tergeletak manja di atas kasur. Abbah, sudah pasti sibuk menyirami kebun di belakang rumah. Sementara Syifa sekarang sudah tinggal di Jakarta bersama dengan suaminya, dan Syahdan masih berada di pesantren.

Tak ada yang tersisa di rumah ini selain kenangan. Baiklah, semua sudah memiliki kesibukan masing-masing, terkecuali saya. Mumpung baru pukul enam, alangkah baiknya saya tidur lagi, sampai Ummah membangunkan saya dengan panggilan khasnya.

Belum ada satu menit mata saya terpejam, suara pintu terbuka berhasil menahan kelopak mata saya untuk tetap terjaga. Disusul bunyi decitan pada ranjang yang saya tiduri akibat seseorang mendudukinya. Siap-siap, itu pasti Ummah.

"SYAFIQ, BANGUN UDAH SIANG!" Teriak seorang perempuan tepat di telinga kiri saya, bersamaan dengan selimut yang ditarik sekencang mungkin.

Seketika saya terbangun, dan langsung menatap tajam orang yang kini sedang berdiri tak jauh dari ranjang. "Astagfirullah, kamu apa-apaan sih, pagi-pagi sudah teriak-teriak," protes saya, yang disambut senyuman lebar oleh orang itu. "Lagi pula siapa yang mengizinkan kamu masuk ke kamar saya? Gak sopan!"

"Biasa aja dong ngomongnya, gak usah nyolot bisa, kan?" Syifa--saudara kembar saya--kembali mendaratkan tubuhnya di sisi ranjang. "Iya sih, gak ada yang nyuruh aku masuk ke sini, tapi ... harus ya, aku izin dulu, padahal ini kamar saudara sendiri?"

Seketika napas saya berembus kencang. "Kamu dengar ya, Fa, kita itu sudah dewasa, saya punya privasi yang harus dijaga, jadi kamu seharusnya paham. Apalagi sekarang kamu sudah menikah, harusnya bisa jaga sikap."

Mulanya Syifa memberengut saat saya memberinya wejangan. Bahkan bibir ranumnya sampai maju beberapa inci. "Oke, lain kali aku akan izin dulu," ujarnya, setengah hati.

Perkataan Syifa tadi hanya saya balas dengan senyuman. Baru juga saya memberi peringatan, dia sudah kembali berulah. "Ya ampun Syifa, ngapain sih kamu peluk-peluk saya? Lepasin gak!" Saking kesalnya, saya sampai mendorong tubuh Syifa agak keras.

"Ih, kasar banget sih jadi cowok, pantesan gak laku-laku, orang kasar gitu."

"Lagian, kamu kenapa main peluk saya sembarangan?"

"Ya ... aku kan, kangen sama kamu, Fiq, masa peluk aja gak boleh? Udah tujuh bulan kita gak ketemu, emangnya kamu gak kangen sama aku? Kita, kan kembar, masa kamu gak ada rasa kangen sedikit pun sama aku?"

"Iya, saya tau, tapi apa yang kamu lakukan barusan itu gak pantas!"

"Huh, dasar. Ribet banget jadi orang, banyak aturan," gerutu Syifa, menghentakkan kakinya keras-keras, seraya melangkah keluar kamar.

Melihatnya kesal seperti itu, saya jadi merasa bersalah. "Hei, tunggu." Buru-buru saya mengejarnya, lalu meraih tangannya begitu Syifa sampai di ambang pintu. Dengan lembut, saya ajak dia kembali masuk ke kamar, lantas mendudukkannya di atas ranjang.

"Maaf ya, kalau sikap saya tadi menyinggung perasaan kamu," ujar saya setelah cukup lama menatap Syifa yang tetap diam tanpa ekspresi.

"Bodo amat! Malas aku berhadapan sama kamu."

Syifa sudah hendak beranjak, tapi dengan cepat saya menahannya. "Hei, mau ke mana?"

"Mau keluar," jawabnya, masih saja jutek.

"Tapi, kan kita belum ngobrol, katanya tadi kamu kangen sama saya."

"Gak jadi."

Menghadapi sikap Syifa, saya hampir saja ingin meledakkan tawa yang sedari tadi ditahan. Bisa-bisanya dia bersikap kekanak-kanakan seperti ini, padahal statusnya sudah berganti menjadi seorang istri.

"Oke, gak papa kalau kamu gak jadi kangen sama saya. Tapi ... setidaknya kamu kasih satu pertanyaan buat saya."

Dahi Syifa mulai berkerut. "Pertanyaan apa?"

"Apa saja, terserah. Kamu bisa tanya bagaimana kehidupan saya selama di Semarang, atau tanya soal magang, bebas. Tanya soal Syahrul juga bisa."

"Syafiq! Buat apa aku tanya soal dia, udah gak ada urusan kali."

Kali ini saya benar-benar terkekeh. Masih berjongkok di depan Syifa, saya raih tangan putihnya yang tersimpan di atas pangkuan. "Tanya mengenai kabar, memangnya gak boleh?"

"Ish, malas deh sama kamu."

"Oke, oke, kali ini saya serius. Kalau kamu gak mau kasih pertanyaan ke saya, biar saya yang kasih pertanyaan ke kamu." Bersamaan dengan saya duduk di sampingnya, Syifa menatap saya lekat. "Kamu ke Bandung sama siapa?"

"Sendiri," jawabnya, sambil melengos.

"Loh, memangnya Mas Sam ke mana?"

"Sibuk."

Mendengar jawaban Syifa, tak pelak napas saya berembus, lagi. "Fa, sesibuk-sibuknya suami, dia harus tetap bisa meluangkan waktunya untuk istri. Apalagi kamu harus bepergian jauh, perjalanan dari Jakarta ke Bandung itu lumayan loh. Masa iya Mas Sam gak antar kamu ke sini."

"Terus kamu maunya gimana? Mau aku memaksa Mas Sam untuk mengantarkan aku dulu kemari, begitu? Gak akan bisa! Kamu tau sendiri kan, bagaimana pekerjaan seorang dokter? Gak ada waktu untuk bersantai, selain hari libur yang cuma sehari."

Tak bisa menyangkal, saya hanya menggaruk bagian kepala dengan asal. "Mmm, soal keponakan, bagaimana? Saya sudah bisa mendengar kabar baik itu?"

Untuk sekarang, raut Syifa tampak sendu. Tanpa dijawab pun, saya sudah bisa menebak apa hasilnya. Saya salah, seharusnya tadi saya tidak bertanya soal itu. "Oh iya, sebelum ke sini kamu makan dulu?" Segera saya mengalihkan pembicaraan, agar Syifa tidak terus memikirkan pertanyaan saya sebelumnya.

"Iyalah, kalau enggak mana mungkin Mas Sam ngizinin aku pergi."

Seketika saya terdiam hanya untuk memikirkan sesuatu. Ini baru jam 6 lebih beberapa menit. Waktu yang biasa dibutuhkan dari Jakarta menuju Bandung, kurang lebih tiga sampai empat jam. Jika iya, jam berapa Syifa berangkat? Jam 3 dini hari?

"Kamu serius baru datang dari Jakarta?"

Sebelum menjawab, Syifa memamerkan giginya lebih dulu. "Sebenarnya sih, aku udah ada di sini dari semalam. Mas Sam yang antar."

Saya hanya melongo menanggapi perkataan Syifa. Dari semalam? "Terus kenapa kamu gak temui saya dari semalam?"

"Kamu udah tidur kali, memangnya kamu mau tidur sucimu aku ganggu? Tadi aja marah, apalagi malam."

Senyum tipis tak lekang dari bibir saya. Entah kenapa, pagi ini saya merasa sangat bahagia. Apalagi bisa mengobrol dengan Syifa setelah sekian lama, rasanya saya seperti sedang mengulang masa yang telah lalu. Semenjak kuliah, kami sudah tidak memiliki banyak waktu untuk bertukar cerita, terlebih sekarang Syifa sudah menikah. Dan Alhamdulillah, hari ini Allah memberi waktu pada saya dan Syifa agar bisa bercengkerama seperti dulu.

"Oh iya, bagaimana kesibukan kamu selama di Semarang?" Tiba-tiba Syifa bertanya.

"Seperti biasa, saya sibuk kerja, mengerjakan tugas kuliah, mengikuti kajian, dan ... mantai."

Tampak sudut bibir Syifa terangkat sebelah. "Fiks, yang terakhir itu gak ada kerjaan banget," katanya, tergelak.

"Memang iya. Saya ke pantai saat gak ada kerjaan. Ya ... hitung-hitung refreshing lah, menjernihkan otak yang sudah terlalu penuh dengan kemelut dunia. Di pantai juga saya bisa lebih banyak berbaur dengan alam."

"Terus, gimana kabar hati kamu?"

Pertanyaan Syifa kali ini cukup menyentil perasaan saya. Apa maksudnya dia bertanya seperti itu? "Mmm, insya Allah baik," jawab saya, seadanya.

Lagi-lagi Syifa tersenyum sinis. "Kalau ... kabar tentang cewek gimana, aku udah bisa dengar soal itu?"

"Belum." Saya berpura-pura sibuk merapikan tempat tidur. Agar Syifa tidak melulu menatap saya dengan intens.

"Masa sih? Berapa bulan kamu di Semarang?"

"Enam bulan."

"Itu cukup lama, harusnya ada gadis Semarang yang menarik di mata kamu. Karena kata orang, gadis-gadis Jawa itu pada cantik-cantik."

"Gak ada." Padahal saya bohong. Buktinya, gadis jingga itu berhasil masuk ke dalam pikiran saya. Astagfirullah!

"Masa gak ada satu pun yang menarik buat kamu sih," protes Syifa, berlagak kaget. "Aku jadi heran, jangan-jangan kamu...."

"Jangan-jangan apa," potong saya, cepat. "Sudahlah, Fa, jangan berpikiran yang aneh-aneh."

"Gimana aku gak berpikir yang aneh-aneh, kalau kamu sendiri malah terlihat seperti orang aneh. Dari dulu sampai sekarang, aku belum pernah dengar kamu bahas soal cewek. Kan, aku jadi curiga, kalau saudara kembarku ini gak normal. Di saat para cowok seusia kamu pada gencar mendekati cewek idaman, termasuk teman kamu itu, kamu malah cuek macam bebek. Seolah-olah gadis di dunia ini gak berguna dalam kehidupan kamu."

Seperti biasa, penyakit bawel Syifa kambuh lagi. Masih mending kalau bawelnya berfaedah, lah ini, malah tidak ada gunanya sama sekali. Saya tidak mengerti apa yang ada di kepala gadis ini. Seharusnya dia senang melihat saya tidak banyak berhubungan dengan gadis-gadis di luaran sana, tapi dia malah heran saya menjomblo sampai sekarang.

"Jadi, kamu mau saya berpacaran, begitu? Membuat perempuan di luaran sana berharap pada saya, lalu saya tinggalkan begitu saja setelah harapan itu melambung tinggi. Sampai akhirnya mereka beranggapan kalau saya PHP, gak bisa kasih kepastian, dan anggapan-anggapan lainnya." Sesekali, Syifa terlihat mencuri pandang ke arah saya. Dari raut yang tampak, sepertinya dia kesal. Atau mungkin takut.

"Bukannya kamu sendiri yang selalu bilang kalau menjalin hubungan sebelum menikah itu dilarang? Kamu juga dulu gak pernah pacaran, kan? Tapi sekarang kamu malah bicara seperti itu sama saya. Bilang saya cuek, gak normal, dingin. Kamu lupa, bagaimana sikap kamu terhadap lelaki dulu? Cuek, kan? Bahkan kamu selalu judes sama mereka. Sampai Syahrul saja gak pernah kamu anggap."

Syifa masih diam tak berkutik. "Sekarang katakan, apa yang kamu mau dari saya?"

"Maksud aku gak gitu, Fiq." Tatapan Syifa melembut, menerobos langsung ke dalam bola mata saya.

"Lalu?"

"Mmm, gini, kamu sekarang udah 20 tahun, sebentar lagi juga lulus kuliah. Kamu gak bisa cuek terus sama cewek, karena suatu saat kamu harus menikah."

Demi membenarkan ucapan Syifa, saya mengangguk beberapa kali. "Suatu saat, kan, bukan sekarang? Jadi kamu tenang saja, toh jodoh gak akan ke mana. Mau saya cuek, dingin, atau bahkan gak menganggap adanya perempuan di dunia ini, gak masalah. Karena pada akhirnya, secuek apa pun saya, Allah pasti akan mempertemukan saya dengan jodoh yang telah Dia siapkan. Dengan cara yang gak terduga tentunya." Saya kembali duduk di samping Syifa. "Yang penting sekarang saya bisa fokus dulu meraih apa yang saya mau, untuk membahagiakan jodoh saya di masa depan," pungkas saya, seraya mengusap puncak kepala Syifa.

"Kamu memang keras kepala, Fiq. Tapi ya udahlah, kalau itu yang menjadi tujuan kamu, aku gak bisa ngomong apa-apa lagi."

Jam di dinding menjadi pusat perhatian saya saat ini. Tanpa menimpali lagi ucapan Syifa, saya beranjak begitu saja.

"Hei, Fiq, mau ke mana kamu?"

"Saya belum mandi, belum makan juga. Jadi saya mau mandi dulu, setelah itu sarapan," sahut saya, menutup pintu kamar pelan-pelan.

🧡🧡🧡

Perjalanan baru yang saya mulai dua tahun lalu, berawal di kota metropolitan. Kini, saya sudah kembali ke kota itu. Kota yang selalu menyimpan ribuan misteri bagi para perantau. Sudah satu Minggu saya di Jakarta, hanya untuk meneruskan studi saya yang baru berjalan empat semester. Jika takdir saya di sini, setelah lulus kuliah nanti, mungkin saya akan tetap tinggal di kota yang tak pernah mati ini.

Namun, seandainya takdir saya membawa ke tempat lain, seperti Bandung, misalnya, sudah pasti saya akan pulang. Atau mungkin ke ... Semarang. Ah, kenapa harus mengingat kota itu? Mustahil saya bisa kembali ke sana, sebab tujuan yang bisa membawa saya datang lagi ke Semarang sudah tidak ada. Kecuali ... jika Allah berkehendak lain.

Baiklah, lupakan dulu urusan mengenai takdir. Biarkan saja itu menjadi tugas Sang Pencipta. Yang harus menjadi fokus utama saya sekarang hanyalah belajar. Apalagi, Senin besok saya akan menghadapi ujian akhir semester. Akan sangat lucu bila tiba waktunya ujian, yang dipikirkan malah sesuatu yang tidak ada kaitannya.

Sambil menyusuri jalanan kompleks, tak lekang mata beredar ke setiap penjuru. Saya baru saja pulang dari rumah teman. Dia meminta saya datang karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan terkait acara tahunan di kampus. Keadaan sunyi begitu terasa setiap saya melangkah dari satu tempat ke tempat lain. Jarum jam yang sudah menunjuk pada angka 9, membuat daerah sekitar kompleks terasa mencekam. Apalagi lokasinya cukup jauh dari jalan besar.

Sebenarnya sebelum pulang, teman saya sempat menawarkan diri untuk mengantar, tapi saya tidak mau merepotkan. Alhasil, saya memilih berjalan kaki agar bisa sampai di jalan besar. Dari sana, baru saya akan naik taksi, atau mencari ojek, angkot pun tidak masalah, jika masih ada yang lewat.

Sesampainya di persimpangan, saya mendesah perlahan. Melihat sekitaran begitu sepi, saya cukup heran. Tidak biasanya seperti ini, bahkan tukang ojek yang biasa mangkal pun sudah tak terlihat. Kalau begini, bagaimana caranya saya pulang? Hanya tinggal satu harapan saya saat ini. Semoga saja masih ada taksi lewat.

Hingga sepuluh menit berlalu, apa yang saya harapkan tak kunjung datang. Telepon seluler saya kehabisan kuota, saya tidak bisa memesan taksi atau ojek online. Sementara hari semakin larut, tapi saya masih bertahan di sini. Apa lebih baik saya menunggu taksi sambil jalan saja, siapa tahu nanti di depan ada kendaraan umum?

Tanpa menunggu lagi, saya pun melangkahkan kaki, membawanya menjauh dari persimpangan. Sayang, setelah satu kilo meter berjalan, saya masih belum menemukan taksi, ataupun pangkalan ojek. Sepertinya malam ini saya terpaksa berjalan kaki, padahal jarak dari sini ke tempat kos masih lumayan jauh. Apa lebih baik saya menggunakan jalan lain?

Tapi....

Ya sudahlah, semoga apa yang saya takutkan tidak terjadi. Karena hanya itu satu-satunya alternatif yang bisa saya lewati sekarang agar tidak memakan waktu lama. Walau kemungkinan besar jalan itu akan ramai digunakan para berandal untuk balapan liar, siapa tahu malam ini berlangsung sebaliknya.

Setelah menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya cukup kencang, saya pun masuk ke sebuah gang sempit. Benar saja, ketika keluar dari gang, jalanan itu ternyata sangat lengang. Tidak ada tanda-tanda kebisingan di sini, artinya aksi balapan liar sedang tidak terjadi.

"Ayo, Syafiq, sebentar lagi sampai," kata saya menyemangati diri sendiri. Tinggal menyeberang di belokan sana, lalu masuk gang lagi, dan sampai.

Begitu akan menyeberang, sesuatu yang datang dari arah barat hampir menyambar tubuh saya. Refleks, saya kembali mundur, tak lama dari itu terdengar bunyi benda menghantam sesuatu cukup keras.

Brukkk!

Saya terkejut saat melihat seseorang tergeletak di pinggir jalan dekat pohon besar. Lebih terkejut lagi ketika sebuah motor berhenti di dekatnya, tapi tidak menolongnya.

"Kenapa lu, Rey, jatuh?" Orang itu malah tertawa. "Siap-siap aja menyambut kekalahan lu," imbuhnya sebelum menancap gas, lantas berlalu begitu saja. Membawa kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Ternyata dugaan saya salah. Sepertinya malam ini sedang terjadi balapan liar. Lalu bagaimana, apakah saya harus menolong orang yang terjatuh itu? Dengan perasaan was-was, saya menghampiri orang yang masih berbaring. Kasihan jika dibiarkan begitu saja, dia jatuh juga karena saya.

"Mas gak papa?" Tanya saya, membantunya membangunkan motor yang terguling tak jauh dari tempatnya.

"Mas, Mas, lu pikir gua Abang lu!" Mendengar dia protes, niat saya untuk membantunya bangun urung. Alhasil, tubuhnya yang sudah setengah bangun kembali jatuh menghantam aspal. "Aduh! Lu jadi cowok gak punya perasaan sama sekali apa? Sakit tau!"

Suaranya ... seperti perempuan? "Ma-maaf, saya gak sengaja. Kok suaranya...."

"Kenapa? Kaget karena suara gua kayak cewek? Iyalah, orang gua cewek. Nih, lihat! Gua cantik, jadi lu gak pantas panggil gua Mas!"

Saya hanya melongo saat dia membuka kaca helmnya. Astagfirullah, kenapa bisa? Seorang gadis ikut balapan liar?

"Minggir lu, gara-gara lu gua jadi jatuh, kan." Dengan keras dia mendorong tubuh saya. "Awas aja kalau gua sampai kalah, gua gak akan segan-segan menyalahkan lu!"

Mesin motor sudah kembali hidup. Sekali tancap gas, gadis itu menghilang dari pandangan saya. Hingga beberapa jenak saya dibuat ternganga, sampai akhirnya saya menyadari sesuatu.

"Ini gak bisa dibiarkan. Balapan liar yang terjadi saat ini bisa mengganggu kenyamanan orang lain." Tak ingin membuang waktu, saya segera menghubungi nomor seseorang. "Halo...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro