6. Sebatas Cerita
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.
***
Lanjuuutttt, ayo aku bisa! Pasti bisa!
Yang penasaran, merapat! Yang gak penasaran, cobain deh, pasti ketagihan😁👍
🧡🧡🧡
Mungkin ini menjadi kali terakhir saya datang ke tempat yang menyimpan sejuta keindahan. Tempat yang membuat saya jatuh cinta saat pertama kali melihatnya. Selepas ini, saya tidak akan lagi menyaksikan megahnya semburat jingga di waktu senja. Saya tidak akan mendengar gemuruh ombak yang merdu bak lagu alam. Dan ... burung camar yang senantiasa beterbangan di kala senja, mungkin hanya akan menjadi bayang bila mata menerawang cakrawala.
Semarang. Tidak pernah terlintas dalam benak sebelumnya kalau kota itu akan menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Kota yang sudah banyak mengajarkan arti sebuah kehidupan. Di kota ini, saya menemukan arti persahabatan yang sesungguhnya. Di kota ini pula, saya mampu merasakan bagaimana sakitnya menahan rindu terhadap orang-orang yang jauh di sana. Termasuk menemukan cinta.
Memang terdengar klise, tapi itu yang menjadi kenyatannya. Bahwa di Semarang, saya berhasil menemukan sesuatu yang tidak bisa saya temukan di kota kelahiran saya, dan di tempat saya mengenyam pendidikan--Jakarta. Perihal cinta, siapa pun bisa merasakannya. Namun bagi saya, hal itu terlalu tabu. Selama hidup saya tidak pernah sembarangan membuka hati pada setiap gadis. Bahkan saya masih ingat, dari pertama saya balig sampai sebesar ini, saya tidak berani menggunakan hati untuk mencintai gadis lain.
Baru kali ini, rasa itu hadir dengan sendirinya. Semula memang selalu saya tampik, tapi semakin ditampik, semakin besarlah rasa terhadap gadis itu. Hingga pada akhirnya saya menyerah, dan di hari terakhir saya di kota ini, saya benar-benar mengakuinya pada diri sendiri. Pada alam.
Menyadari itu semua, entah saya harus menyesal, atau bahagia. Yang terpenting saya harus tetap bersyukur, karena saya bisa membuktikan bahwa hati ini masih berfungsi dengan semestinya. Cinta itu anugerah, mana bisa saya menyalahkan kehadirannya? Yang harusnya disalahkan dalam hal ini adalah saya, karena sudah berani melakukan sesuatu yang memang dilarang oleh-Nya.
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Quran surah An Nur, ayat 30. Ya, semua berawal dari pandangan. Pantas saja Allah dan rosul-Nya selalu memberi peringatan tentang itu, karena akibatnya bisa fatal. Mata merupakan jendelanya hati. Apa yang dilihat, akan langsung dirasakan hati, baik itu kebaikan, maupun keburukan. Sama halnya dengan apa yang saya lakukan selama ini. Seandainya dari awal saya mampu menjaga pandangan, mungkin rasa itu tidak akan pernah hadir dalam hati saya.
"Pandangan pertama tidak mengapa bagimu, namun yang kedua terhitung dosa." Itulah kata-kata Said bin Jubair kepada sahabatnya, Musa Al Juhany ketika berpapasan dengan seorang perempuan.
Sayangnya saya sempat melupakan nasihat itu, dan kini semua sudah terlambat. Harapan saya ke depannya, semoga saya bisa meredam semua rasa yang hadir. Perihal gadis yang pernah singgah, biarlah waktu yang menghapus bayangnya. Saya sama sekali tidak ada niatan untuk mengejar. Selain bukan waktunya, ada alasan lain kenapa saya harus meninggalkan itu semua.
Syahrul.
Bagi saya lelaki itu jauh lebih pantas untuk Jingga. Cintanya yang teramat tulus, akan menjadi modal utama dalam membahagiakan Jingga sepenuhnya. Insya Allah.
Kedua tangan saya mengusap wajah perlahan. Alhamdulillah, meski hati tengah rancu, sedikitnya saya masih bisa berpikir jernih. Semua karena Dia, yang tidak pernah meninggalkan saya. Sekali pun saya menjauh, Dia menjadi dzat yang selalu dekat dengan hamba-Nya yang hina ini. Allah memang Maha Baik, karena-Nya saya bisa melewati setiap keadaan dengan hati yang tenang.
Sebentar lagi jingga hadir, saya harus segera pergi sebelum biasnya tertangkap penglihatan. Bisa repot jika saat senja saya masih di sini. Gara-gara jingga, saya selalu sulit menolak pesonanya yang indah. Rencananya sehabis dari sini saya akan pergi ke masjid terdekat. Melaksanakan salat magrib di sana, sebelum nanti bertolak ke terminal bus untuk pulang ke Bandung.
Semua barang sudah dikemas dari semalam. Satu tas ransel, dan satu tas berisi laptop saya simpan di gubuk tak jauh dari tempat saya sekarang. Tak lupa, dua dus berisi oleh-oleh dan buku juga sudah saya kemas rapi. Ceritanya biar menghemat waktu, makanya semua barang saya bawa ke sini.
Pendengaran saya menajam, tatkala benda yang ada di saku celana berbunyi. Ada telepon, mungkin dari driver taksi online. Begitu melihat layar ponsel, kedua sudut bibir saya tertarik secara refleks. Ternyata dugaan saya meleset. Bukan driver taksi yang menelepon, melainkan orang yang sudah lama tak saling bertukar kabar dengan saya.
"Halo, assalamualaikum," ucap saya setelah berhasil mendekatkan ponsel ke telinga.
"Wa alaikumsalam warahmatullah. Fiq, kaifa haluk?"
Sejenak tawa kecil keluar dari bibir saya. "Ana bikhair walhamdulillah. Om dan keluarga di sana bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, Om, Tante, dan anak-anak semuanya sehat." Suara dari seberang tiba-tiba menghilang. "Oh iya, sekarang kamu di mana, kok kedengarannya seperti ada yang bergemuruh," lanjutnya, membuat saya mengedarkan pandang ke setiap penjuru.
"Saya lagi di pantai, Om."
"Pantas, suaramu kalah sama bunyi ombak," katanya, disusul gelak tawa diujung sana.
Hamparan pasir yang basah tersapu ombak menjadi tempat berdiri saya saat ini. Perlahan, kaki telanjang saya melangkah, menjauhi bibir pantai. "Myesha dan Faeza, mereka jadi dimasukkan ke pesantren, Om?" Seharusnya saya memanggil kakak pada kedua anaknya Om Ghani. Namun, saya sudah terbiasa memanggil mereka dengan nama langsung. Usia mereka yang jauh lebih muda dibanding saya, membuat saya tidak bisa menyesuaikan diri.
"Insya Allah, setelah Faeza lulus dari SMP dan Myesha lulus SD, mereka langsung Om kirim ke pesantren. Oh iya, Fiq, katanya ini terakhir kamu di Semarang, ya?"
"Iya Om, dan ... Insya Allah ba'da magrib nanti saya pulang ke Bandung."
"Wah, bagus, bagus. Tapi sebelum ke Bandung, Om harap kamu bisa mampir dulu ke sini, ya? Kebetulan besok Om juga mau ke Bandung, mumpung anak-anak libur sekolah, Om pengen tengok Ma Eyangmu. Jadi nanti kita ke Bandungnya bisa bareng."
Lagi-lagi deburan ombak harus menjadi soundtrack paling indah di kala hening datang. Duduk di bawah pohon tembakau, sambil menikmati semilir angin yang menerpa. Usulan Om Ghani belum saya iyakan. Ada banyak sekali hal yang perlu saya pertimbangkan sebelum kata 'iya' itu terucapkan. Jika saya mampir dulu ke Yogyakarta, kemungkinan saya baru pulang besok pagi. Padahal saya sudah sangat rindu pada Abbah dan Ummah.
Selain itu, ada beberapa laporan hasil magang yang harus saya serahkan pada Syahrul sebelum mengikuti ujian akhir semester. Tidak, untuk yang satu itu saya bisa mengirimnya via email. Dan ... perihal Abbah dan Ummah, sepertinya saya harus menunda pertemuan kami satu malam lagi.
"Fiq, bagaimana, bisa gak?"
"Oh, iya Om, bisa kok. Sehabis magrib saya langsung meluncur ke sana."
"Oke, kalau begitu Om bisa suruh Najma siap-siap."
Usai berbasa-basi sedikit, Om Ghani pun mengakhiri panggilannya. Tepat saat akan mengambil barang, saya kembali mengurungkan niat sebab mendengar satu suara yang begitu familier. Terlebih dengan panggilan yang dia gunakan, saya sangat yakin pasti gadis itu.
Bagaimana ini, apakah saya harus berpura-pura tuli agar tidak bertemu dengannya? Jujur, saya masih kesal padanya gara-gara insiden Minggu lalu.
"Mas, ada niatan nikah muda gak?"
Dalam keadaan tubuh bergetar, saya berjongkok untuk mengambil dompet yang sempat terlepas dari tangan. "Mmm, kok Mbak tiba-tiba bertanya seperti itu?" Tanya saya tanpa menatapnya sedikit pun.
"Iya, Neng, kok malah nanya begitu? Kalau si Aa siap nikah muda, memangnya kamu mau jadi calonnya?"
"Enggak juga, Bude. Aku cuma mau kasih brosur ini buat si Mas, siapa tahu minat."
Membaca sekilas deretan kata di brosur, napas saya seketika berembus kencang. Nikah masal. Astagfirullah, untuk apa dia memberikannya pada saya? Sudah tahu saya belum ada calon, malah memberi selebaran itu. Maunya apa sih? Brosur yang kini sudah berpindah tangan saya tatap secara bergantian dengan Jingga.
"Maaf, Mbak, saya gak butuh. Lagi pula Mbak, kan tahu sendiri kalau saya belum punya pasangan, jadi untuk apa brosur itu diberikan pada saya?" Wajah Jingga berubah kesal. "Kecuali ... kalau kamu bersedia menjadi calonnya. Seperti yang dibilang bude kamu," imbuh saya pelan, membuat kelopak mata gadis itu terbuka sempurna.
"Tapi saya belum ada niatan untuk menikah, jadi lebih baik Mas cari yang lain saja," timpalnya, sembari merebut brosur yang masih saya pegang.
"Mas Galem! Hei, Mas, kenapa sih dari tadi dipanggil gak nengok-nengok?"
Jingga sudah berdiri tepat di samping saya. Tetesan keringat yang membasahi dahi, dia seka dengan habis sambil berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal. "Kamu sedang apa di sini, kok basah kuyup?" Saya balik bertanya, tanpa mengindahkan pertanyaannya.
"Main," jawabnya, teramat singkat.
"Main air maksudnya?" Jingga mengangguk samar. "Lalu, ada urusan apa sampai kamu memanggil saya?"
Wajah lelah Jingga berganti menjadi melas. "Mmm, sebenarnya ... saya mau minta pertolongan Mas Galem, boleh gak?"
"Minta tolong apa?" Bukannya menjawab, Jingga malah menggigit ibu jari, kemudian meremas setiap jarinya, gusar. "Hei, ada apa, kok kelihatannya panik?" Tanya saya sekali lagi.
"Gini, Mas, tadi ... saya habis main lari-larian sama anak-anak di tepi pantai. Eh, pas saya jatuh, dompet di saku rok saya malah ikut jatuh. Terus dompetnya gak sempat saya ambil, karena terseret ombak. Dan ... sekarang saya mau pulang, tapi saya bingung harus naik apa. Saya sama sekali gak pegang uang sepeser pun untuk bayar ongkos ojek atau angkot," jelas Jingga, lumayan panjang.
"Jadi intinya, kamu mau pinjam uang ke saya?" Sontak dahi saya berkerut saat Jingga menggeleng. "Lantas?"
"Saya mau nebeng, Mas. Mas mau pulang juga, kan?"
"Iya, saya mau pulang, tapi...."
"Nah, kebetulan, saya ikut si Mas saja, biar nanti Mas yang bayar. Mas gak perlu khawatir, nanti setelah sampai warung, saya ganti kok ongkosnya."
Maksudnya, pulang ke Bandung, bukan pulang ke kosan. Ah, gadis itu kebiasaan, selalu saja memotong pembicaraan. Saking gemasnya, saya sampai menggaruk kepala cukup keras. Tak ingin membuang waktu, saya ambil dua lembar uang sepuluh ribuan dari dalam dompet.
"Ini, untuk ongkos kamu pulang, gak perlu diganti."
Ragu, Jingga menerima uang yang saya sodorkan. "Ini serius, Mas?" Tanyanya, masih tak percaya. "Oke, Mas, saya janji, nanti kalau Mas makan di warung, uangnya saya kembalikan."
"Saya, kan sudah bilang gak perlu diganti. Lagi pula saya gak akan mampir ke warung lagi."
"Loh, kenapa, Mas?"
"Maaf, saya buru-buru." Tanpa menjelaskan apa pun, saya berjalan menjauhi Jingga. Mungkin pertemuan terakhir ini terkesan menegangkan, karena saya yang tidak terlalu respect pada gadis itu. Biarkan saja, saya sudah tidak ingin lagi berurusan dengan Jingga.
"Mas, Mas Galem!"
"Satu lagi." Tubuh saya berbalik, menghadap Jingga yang berjalan di belakang saya. "Nama saya, Aslam Syafiq Al Firdaus."
"Lalu?" Kedua alis Jingga hampir tertaut.
"Sekarang, kan kamu sudah tahu nama saya, jadi kamu gak usah panggil saya menggunakan nama aneh itu lagi."
"Maksudnya, nama yang saya sematkan untuk Mas Galem, itu aneh?"
"Syafiq. Panggil saya, Syafiq," ralat saya, penuh penekanan.
Jingga mendengus. "Kalau begitu, Mas juga gak boleh panggil saya Jingga lagi. Karena itu bukan nama saya."
Posisi saya yang menghadap langsung ke barat, membuat bola mata saya berpusat sepenuhnya pada jingga. Bukan, bukan Jingga yang sedang berbicara dengan saya, melainkan jingga yang tengah menguasai cakrawala.
"Lalu, saya harus panggil kamu apa?" Tanya saya, tanpa mengalihkan sedikit pun pandangan dari binar indah di ujung sana.
"Shafa Afsana Fadwah. Panggil saya, Shafa."
Oh, namanya Shafa. "Kalau saya gak mau?"
"Kalau gak mau, berarti saya juga gak mau panggil Mas pakai nama asli."
"Gak punya pendirian," ucap saya, pelan.
"Apa?"
Menatap sekilas wajahnya, saya bergidik. Raut Jingga kini kembali seperti dulu, sangar. "Bukan apa-apa, saya cuma bilang, kamu kalau memutuskan sesuatu itu harus berdasarkan hati nurani, bukan mengikuti orang lain."
"Siapa yang mengikuti orang lain?"
"Kamu."
"Saya gak merasa begitu."
Desahan pelan saya lakukan demi menenangkan sesuatu yang bertingkah nakal di balik dada. Sepertinya saya harus cepat pergi. Kalau tidak, perdebatan yang sedang terjadi antara saya dan Jingga tidak akan menemukan ujung. Lagi pula, sejak kapan saya suka memperdebatkan sesuatu yang tidak penting?
"Segeralah pulang, sebentar lagi magrib. Gak baik seorang perempuan masih berkeliaran di luar menjelang senja seperti ini."
"Peduli apa kamu sama hidup saya? Mau saya pulang tengah malam juga, itu bukan urusanmu."
"Ya sudah, terserah kalau begitu." Jam yang melingkar di pergelangan tangan menjadi objek penglihatan saya kali ini. Tanpa pamit lebih dulu, saya tinggalkan Jingga--maksudnya, Shafa--yang masih sibuk mengeringkan rok basahnya.
Begitu akan meninggalkan gubuk tempat saya menyimpan barang-barang, gadis aneh itu sudah berada di dekat saya sambil memandang bingung barang yang saya bawa. "Mas mau ke mana, kok bawa tas sama kardus?" Tanyanya, mengikuti langkah saya yang hendak pergi ke masjid.
"Pulang."
"Pulang ke ... Bandung maksudnya?"
"Iya, berhubung tugas saya di sini sudah selesai, jadi saya harus kembali ke tempat asal."
Seketika langkah Shafa terhenti. Uang pemberian saya beberapa saat lalu masih berada dalam genggamannya, sambil diremas sekuat tenaga. Tatapannya terlihat kosong, bahkan kelopak matanya tak berkedip sama sekali.
"Are you okay, Shaf?"
Shafa merespons, dengan perlahan dia mulai mengerjapkan matanya. "Mmm, ya. Kalau gitu ... lebih baik saya kembalikan uang ini sama si Mas."
Saya hanya memandang uang yang dipegang Shafa. Dengan dahi berkerut, pertanyaan klise saya lontarkan. "Kenapa?"
"Karena saya gak mau punya utang ke orang lain. Apalagi kalau Mas Galem gak akan ke sini lagi. Bagaimana caranya saya mengembalikan uang yang Mas pinjamkan ke saya?"
Dia masih memanggil saya dengan nama aneh itu. Selepas menyugar rambut, saya pun berkata, "masih ingat apa yang saya katakan tadi? Gak perlu diganti. Uang itu untuk kamu, supaya kamu bisa pulang."
"Tapi Mas, kan...."
"Saya lebih baik kehilangan uang dua puluh ribu daripada harus melihat kamu kenapa-napa!"
Mungkin ungkapan yang saya ucapkan sudah terlalu berlebihan, tapi memang itu yang saya takutkan dari gadis jutek di depan saya. Membayangkan bagaimana kalau dia semalaman di sini, tanpa ada yang peduli? Lalu ada segerombol orang yang berniat jahat padanya. Setidaknya uang 20 ribu itu bisa membawanya kembali ke warung.
"Mas, terima kasih karena sudah peduli pada saya." Walau wajahnya tampak muram, tapi Shafa tetap berusaha mengukir senyum di bibir. "Maaf, kalau selama ini saya banyak menyinggung perasaan Mas Galem."
Nada bicara Shafa terdengar lemah, membuat saya ingin pergi secepatnya dari hadapan gadis itu. "Saya pulang dulu, Mas hati-hati di jalan. Semoga Allah selalu melindungi Mas di mana pun berada," pungkasnya, lantas berjalan menjauh menuju tempat para ojek mangkal.
Di sini, di Pantai Maron, saya berdiri tanpa reaksi. Menatap kepergian Jingga yang menghilang ditelan malam. Semakin jauh dia berjalan, semakin pudar warna yang menjadi kebanggaan. Hingga tak ada yang tersisa dari pertemuaan ini, selain sesak dalam dada, dan nyeri pada hati. Aneh, rasa apa ini? Padahal ceritanya sama sekali belum dimulai, tapi semua harus berakhir begitu saja.
Ya sudahlah, mungkin belum takdirnya. Selamat tinggal, Shafa. Terima kasih karena di akhir kesempatan ini kamu berkenan menyebutkan nama, walau harus saya pancing seperti tadi. Atas semua hal yang terjadi di antara kita, saya tidak akan melupakannya begitu saja. Saya tidak tahu kapan Allah memberi kesempatan untuk bertemu kamu lagi, tapi saya selalu berharap yang terbaik untukmu.
Kamu lihat, dugaan saya tentang kamu tidak salah. Bahwa kamu, adalah Jingga yang tak bisa bertahan lama menghiasi langit dunia. Hadirmu hanya sesaat, sementara pergimu begitu lama. Sampai saya tidak bisa memastikan, kapan kamu bisa kembali.
Yaaaaa berpisah😭😭
Setelah ini, Syafiq akan bertemu siapa lagi, ya? Stay tune terus makanya, bagi yang pinisirin🤭🤭
Salam
AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro