Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Panggilan baru 2

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.

***

Hallo soZa, Wellcome to my story'😊

Happy reading

🧡🧡🧡

Sudah malam Ahad lagi. Padahal, rasanya baru kemarin saya melewati malam Ahad, tapi waktu seolah berjalan dari satu angka ke angka lainnya dengan begitu cepat. Bak anak panah yang lepas dari busurnya, hingga melesat ke titik sasaran. Sepertinya sudah menjadi sunnatullah, bahwa hidup di dunia memang seperti ini. Terlalu sibuk dengan apa yang disuguhkan dunia, sampai manusia tidak sadar kalau waktunya di dunia hanya tinggal beberapa saat lagi.

Ah, dunia. Segala keindahannya hanyalah tipuan semata.

Tatkala tengah asyik berbaring di atas kasur, bunyi dari ponsel memaksa saya untuk bangkit. Menggapai ponsel yang tergeletak di atas nakas dengan malas, lalu menatap layarnya sekilas. Begitu membaca nama yang tertera di sana, saya senang bukan main. Dengan segera saya mengangkat panggilan itu setelah sebelumnya duduk di kursi.

"Assalamualaikum, Ummah," sapa saya setelah mendekatkan ponsel ke telinga.

"Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Nak. Kamu apa kabar?"

"Alhamdulillah, Aa baik-baik saja, Ummah. Ummah sendiri bagaimana kabarnya, sehat?"

"Alhamdulillah, Ummah sehat."

"Abbah, bagaimana?"

"Alhamdulillah, Abbah juga sehat. Tapi ... akhir-akhir ini Abbah mu selalu sibuk dengan para siswanya, sampai Ummah sebagai istrinya tidak pernah diacuhkan."

Sebelum menanggapi perkataan Ummah, saya memilih untuk terkekeh sebentar. "Ummah yang sabar ya, kalau Abbah sedang sibuk, Ummah bisa kok telepon Aa. Aa akan selalu siap dua puluh empat jam temani Ummah."

"Bicaramu itu A, seperti orang pengangguran. Ditelepon saja masih banyak yang tidak diangkat, ini sok-sok'an mau temani Ummah? Dua puluh empat jam pula."

"Ya ... tadi, kan Aa cuma mau menghibur Ummah."

"Hm, terserah kamu sajalah, A. Oh iya, kamu sudah makan?" Pertanyaan kali ini tak langsung saya jawab. Sampai suara dari seberang sana kembali terdengar. "Pasti belum, kan?"

"Mmm, iya, Ummah, Aa memang belum makan."

"Kenapa, sekarang sudah mau isya, memangnya kamu mau makan jam berapa?"

Niatnya setelah isya nanti saya baru makan, sepulangnya dari masjid. Biar tidak bolak-balik. Karena biasanya juga seperti itu. Saya dan Syahrul sudah sepakat untuk makan malam selepas isya. Agar di tengah malam kami tidak merasa lapar lagi.

"Habis isya?"

"Iya, Ummah."

"Masya Allah, Aa, berapa kali Ummah bilang, jangan makan lewat dari jam tujuh, nanti kamu susah tidur."

Mengingat hal itu, saya sampai mengulum bibir. Masih jelas dalam ingatan bagaimana kebiasaan saya waktu masih kecil. Bisa dibilang kalau saya ini orang yang paling rewel dalam segala hal. Seperti dalam masalah makan, saya tidak akan pernah makan jika bukan Ummah yang memasak. Dan saya juga tidak akan pernah bisa tidur jika makan lewat dari jam tujuh. Mandi pun akan memerlukan waktu setengah jam lebih, sampai sabun di kamar mandi habis setengahnya. Pokoknya, saya merupakan anak Ummah satu-satunya yang paling merepotkan. Bahkan kebiasaan saya itu terbawa sampai saya SMA.

Beda lagi dengan Syifa, yang akan tetap tidur pulas meskipun baru selesai makan. Mandi juga tidak pernah bersih. Apalagi Syahdan--adik bungsu saya, dia merupakan anak Abbah dan Ummah yang paling bebal. Kalau kata Ummah, Syahdan itu persis seperti Abbah saat masih muda dulu. Banyak tingkah.

Barulah setelah kuliah, dan jauh dari orang tua, kehidupan saya mulai berubah. Dari mulai tidur yang tidak teratur, makan kapan pun saya mau, dan apa pun yang ada asal enak dimakan. Bahkan mandi pun cukup 15 menit pasti sudah selesai. Dalam hal ini, saya bersyukur, karena akhirnya saya bisa membawa diri saya keluar dari zona nyaman.

Namun, tetap saja Ummah akan bawel seandainya saya melakukan suatu hal yang tidak biasanya saya lakukan. Padahal sudah sering saya katakan, bahwa saya sudah berubah. Saya sudah bukan Syafiq yang dulu lagi. Sayangnya Ummah seperti tidak terima anaknya berubah secepat itu. Dan sepertinya Ummah lebih suka saya bertele-tele di kamar mandi.

"A, ingat, makan sebelum isya jauh lebih bagus, supaya jarak antara makan dan tidur tidak terlalu dekat. Jadi lambung kamu punya waktu untuk mencerna makanan yang masuk."

Suara Ummah kembali mengudara. Membuat saya agak terperanjat mendengarnya. Dalam hal ini Ummah benar. Makan malam tidak dianjurkan di atas pukul tujuh. Tapi bagaimana lagi, sempatnya memang sekitar pukul tujuh ke atas. 

"Aa, kamu dengar Ummah, kan?"

"Mmm, i-iya, Ummah, Aa dengar kok." Sesaat, saya melihat jam weker yang tersimpan di atas meja. Waktu menuju azan isya hanya tinggal sepuluh menit lagi, seharusnya saya sudah bersiap untuk pergi ke masjid, tapi berbicara beberapa menit lagi bersama Ummah mungkin tidak apa-apa. "Ummah, bagaimana Syahdan, di pesantrennya dia tidak berbuat ulah terus, kan?"

Belum ada jawaban dari Ummah. Yang saya dengar saat ini hanyalah helaan napas berat yang mungkin menyesakkan. "Begitulah adikmu, masih keras kepala seperti biasa."

Jika sudah begini, kasihan juga Ummah dan Abbah, harus lebih banyak sabar dalam menghadapi Syahdan. Lagi pula, kenapa anak itu tidak pernah berhenti berulah? Kurang apa Ummah dan Abbah dalam mendidiknya agar dia menjadi anak yang baik?

"Ummah, yang sabar, ya. Aa yakin, suatu saat Syahdan pasti berubah."

"Ummah dan Abbah juga berharap begitu."

Ummah tak lagi berbicara, membuat suasana senyap seketika. Hingga sebuah ketukan pintu dibarengi dengan teriakan lantang menyadarkan saya. "Fiq, sudah siap belum, ayo ke masjid!" Saya tahu siapa orang yang berteriak di luar. Syahrul, dengan tidak sopannya dia terus mengetuk pintu keras-keras.

"Astaghfirullahal'adzim, Ummah, sekarang sudah masuk waktu isya, Aa tutup dulu ya teleponnya. Di luar juga Syahrul sudah mengajak Aa pergi ke masjid."

Setelah Ummah mengiyakan, salam pun menjadi penutup obrolan kami malam ini. Tak ingin membuat Syahrul semakin gila, buru-buru saya mengambil sarung yang digantung dalam lemari. Mengganti pakaian dengan baju kokoh, lantas keluar hanya mengenakan celana selutut.

"Maaf ya Rul, saya lama. Tadi Ummah telepon, makanya saya gak sadar kalau azan sudah mau berkumandang."

"Oh, pantas, aku kira kamu ketiduran," timpalnya seraya berjalan. "Eh, ngomong-ngomong soal Ummah, bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, semua yang ada di Bandung sehat."

"Syifa?"

Nama yang disebut Syahrul sukses membuat langkah saya terhenti. "Kamu masih bertanya soal Syifa?"

"Ya ... aku, kan cuma mau tau saja."

"Saya lupa gak tanya soal Syifa," jawab saya setelah menatap sekilas wajah Syahrul.

"Kamu ini, sama saudara sendiri masa lupa."

"Bukan lupa, tapi saya gak sempat tanya. Sudahlah, ayo cepat, kita harus sampai di masjid sebelum azan selesai. Saya belum wudu ini."

Kaki saya semakin melangkah lebar. Meninggalkan Syahrul yang masih berjalan santai di belakang. "Fiq, kamu serius ke masjid pakai celana pendek?"

Sayup-sayup terdengar Syahrul berteriak. Sarung yang ada di tangan langsung saya angkat ke udara, tanpa menimpali ucapan lelaki itu. Semoga saja Syahrul mengerti. Dengan begitu, saya tidak perlu ikut berteriak seperti yang dilakukannya. Tidak sopan jika harus meninggikan suara kala azan masih menggema.

Tepat saat azan berakhir, saya pun sampai di halaman masjid. Tak ingin ketinggalan salat berjamaah, secepatnya saya berjalan menuju toilet untuk mengambil wudu. Belum juga masuk, seseorang menyerobot toilet yang hendak saya gunakan.

"Loh, Rul, kamu mau apa?"

"Mau wudu, sekalian buang air kecil. Kamu wudu di luar saja ya, aku sudah gak kuat!"

"Saya kira kamu sudah wudu."

"Tadi di kosan gak keburu wudu," katanya, bersamaan dengan pintu toilet yang berdentum. Pada saat itu, saya hanya bisa menarik napas pasrah, sembari menggeleng maklum.

🧡🧡🧡

Malam Ahad yang sangat ramai. Warung sunda tempat biasa saya dan Syahrul makan pun terlihat cukup padat pengunjung. Sebelum masuk, lebih dulu saya menelisik sekitar tempat, sekadar mencari bangku yang sekiranya masih dapat diduduki oleh dua pengunjung.

Ada satu bangku tak terpakai di dekat meja kasir. Begitu akan melangkah masuk, mata saya malah menangkap pemandangan cukup menggelikan di dekat etalase. Di sana, sepasang laki-laki dan perempuan tampak berbincang-bincang. Sesekali, tawa renyah meluncur dari bibir keduanya. Bahkan tak jarang si perempuan menyeka sudut matanya akibat air yang keluar disebabkan terlalu banyak tertawa.

Menyaksikan itu semua, saya jadi menyesal datang kemari. Bukan tidak mau makan, hanya saja saya selalu merasa jadi nyamuk jika Syahrul sudah asyik bercengkerama dengan Jingga. Lagi pula, sejak kapan Syahrul ada di sana, kenapa saya tidak menyadarinya?

"Fiq, ayo sini, kenapa malah berdiri di situ? Katanya mau makan."

Sebelum masuk, saya melihat ke arah Jingga barang sebentar. Tepat saat dirinya melenggang pergi, barulah saya berjalan, menghampiri Syahrul yang sudah duduk di kursi. "Mau makan sama apa?" Tanyanya begitu saya mendaratkan tubuh di sampingnya.

Belum juga menjawab, Jingga sudah datang dengan sebakul nasi yang dibawanya. Hingga beberapa menit, saya dibuat terpaku oleh aktivitasnya. Sedikit demi sedikit, ia pindahkan nasi itu ke dalam wadah yang lebih besar. Sesekali, ujung jilbabnya ia gunakan untuk menyeka keringat agar tak menetes. Kasihan, sudah malam begini Jingga masih harus bekerja. Pasti ia sangat kelelahan karena harus bekerja dari sebelum matahari terbit, sampai tengah malam nanti.

"Fiq, ditanya tuh sama Mbak cans!"

Saya terperanjat dari kursi kala bahu saya dipukul keras oleh Syahrul. "Apaan sih, sakit tau."

"Habisnya dari tadi melamun terus, sampai pertanyaan Mbak cans gak kamu jawab."

"Memangnya Mbak tanya apa?"

"Dia tanya, kamu mau makan sama apa?"

Ini anak satu kenapa? Saya, kan bertanya pada Jingga, lantas kenapa malah Syahrul yang menjawab? "Kamu sudah pesan?" Tanya saya pada akhirnya.

"Sudahlah, ini, pesananku sudah ada di hadapan."

Lagi-lagi saya tidak menyadari hal itu. Padahal di depan Syahrul sudah tersedia satu piring nasi lengkap dengan lauk yang memenuhi sisi piring. Ya Allah, sepertinya malam ini saya sudah terlalu banyak melamun, sampai sesuatu yang terjadi di depan mata saja tidak saya sadari. Entah apa yang saya lamunkan, nyatanya dari tadi isi kepala saya hanya diliputi oleh sosok yang kini tengah menyendok nasi ke dalam piring.

"Mas Galem."

Jingga menyebut nama seseorang, tapi saya tidak tahu siapa yang dia panggil. "Hei, Mas, ini lauknya apa saja?" Tanyanya, dengan mata menatap lurus pada saya.

Sebab tak ada yang menyahut, terpaksa saya bertanya, "Mbak bicara dengan saya?"

"Iyalah, kan si Mas yang pesan makan."

Kenapa harus Mas Galem, jadinya saya tidak tahu kalau yang dia panggil itu saya? Walau heran, saya tetap menyebutkan beberapa lauk yang akan menjadi teman makan malam ini. Mengingat sekarang sudah masuk tanggal tua, saya memilih untuk makan seadanya saja.

"Wes, Mas, minumnya apa?" Jingga kembali bertanya setelah saya menerima piring yang dia sodorkan.

"Seperti biasa, Mbak, air bening."

"Oke. Mas Jangkung, minumnya es teh manis, kan?"

Syahrul yang sedang lahap menyantap makanan diam sejenak. "Minum di sini air biasa saja, Mbak cans, es teh manis mah untuk nanti di kosan."

"Jadi, es tehnya dibungkus toh?"

"Betul sekali."

Saya masih belum mengerti, kenapa gadis itu memanggil saya dan Syahrul dengan nama yang aneh. Terlebih nama yang disematkan pada Syahrul. Jangkung?

Sementara Jingga mengambil air, saya menyempatkan bertanya pada Syahrul. "Eh, Rul, kenapa Mbak tadi panggil kamu jangkung?"

"Gak tau, katanya sih karena aku suka makan sama jamur dan kangkung, makanya dia panggil aku jangkung," jelasnya dalam keadaan mulut penuh makanan.

"Oh, jadi jangkung itu semacam singkatan, ya?"

"Mungkin. Tapi...."

"Tapi apa?"

"Menurutku itu bukan sekadar singkatan."

"Lalu?"

"Ada makna tersirat dari panggilan itu. Semacam ... nama kesayangan yang dia gunakan hanya untuk memanggilku," kata Syahrul dengan penuh percaya diri.

Saya yang sudah jengkel padanya hanya memberi tatapan malas. Sebab masih ada satu pertanyaan yang ingin saya ajukan pada Syahrul, niat untuk makan kembali saya urungkan.

"Kalau Galem, artinya apa?"

"Nah, kalau itu ... aku gak tau." Kali ini saya hanya mendesah, kecewa. "Tuh, kamu tanyakan saja langsung sama orangnya. Sana, tanya."

"Gak ah, saya malu."

"Lah, kenapa harus malu? Oke, kalau kamu gak mau, biar aku yang tanya."

Saya kira, Syahrul hanya bergurau. Ternyata dia tidak main-main. Ketika Jingga mendekat untuk mengantar air minum, tiba-tiba Syahrul menanyakan sesuatu yang membuat saya penasaran dari tadi. Hingga akhirnya jawaban yang saya dengar berhasil menghentikan sejenak kerja jantung yang sedang berdetak.

"Galem? Itu juga singkatan, Mas, artinya ganteng kalem."

Haruskah saya bahagia, karena orang yang saya anggap jutek malah memberi panggilan manis untuk saya? Entah, saya bingung bagaimana menanggapinya. Beberapa menit telah berlalu, tapi perasaan saya masih tetap sama. Tak karuan. Bahkan jantung masih sulit dikendalikan.

"Fiq, sebenarnya kamu datang ke sini mau makan, atau cuma numpang melamun? Dari tadi aku perhatikan makananmu masih segitu-gitu saja."

Astagfirullah! Dengan cepat saya mengusap wajah menggunakan kedua tangan. Saat hendak makan, saya tiba-tiba teringat sesuatu. Hingga akhirnya, saya kembali mengabaikan makanan di piring. "Rul."

"Kenapa lagi?"

"Menurutmu, pelayan yang tadi itu bagaimana orangnya?"

"Kok mendadak tanya itu?"

"Hanya ingin tahu saja, apa pendapatmu mengenai perempuan tadi. Soalnya saya perhatikan, dia gak seperti perempuan kebanyakan. Orangnya itu, aneh, jutek, gak pernah senyum. Sama pelanggan malah terkesan seperti berhadapan dengan musuh."

Syahrul mulai terkekeh ringan. Setelah menelan makanan di mulutnya, dia berujar, "pendapat kamu tentang dia itu salah, Fiq. Dia orangnya baik kok, ramah, suka bercanda juga. Kamu beranggapan seperti itu, mungkin karena belum mengenal baik siapa sebenarnya Mbak cans."

Satu suap nasi berhasil masuk ke dalam mulut. Sambil sesekali membawa pandangan ke arah Syahrul, saya mengunyah dengan perlahan. "Memangnya kamu sudah mengenal dengan sangat baik perempuan itu?" Tanya saya, yang dijawab Syahrul menggunakan isyarat kepala. "Lantas, kenapa kamu memanggilnya Mbak cans, apakah itu nama aslinya?"

"Bukan, itu cuma panggilanku padanya saja. Panggilan sayang," kata Syahrul, sedikit membisikkan dua kata terakhirnya. "Aku sendiri gak tau siapa namanya. Soalnya selama ini, dia seperti enggan menyebutkan nama."

Dari tadi Syahrul terus saja membahas pasal panggilan sayang antara dirinya dan Jingga. Menguat sudah dugaanku tentang orang yang Syahrul sukai. Gadis yang membuat cinta itu kembali hadir dalam hatinya, memang benar Jingga!

"Mbak cans. Maknanya apa?"

"Cantik. Bisa kamu lihat, seperti apa kecantikan yang dimilikinya."

Ya, Jingga memang cantik. Wajahnya ayu, seperti kebanyakan orang Jawa. Sayangnya, perilakunya tak seayu wajah yang ia miliki.

"Mas, es tehnya jadi dibungkus?"

Suara itu kembali menyapa pendengaran saya. Syahrul yang semula fokus pada benda persegi panjang, langsung menjadikan Jingga sebagai objek utama penglihatannya. "Iya, Mbak, yang manis ya."

"Oke, Mas. Pakai es, kan?"

"Ya iyalah, Mbak cans. Es-teh-manis," timpal Syahrul, mengeja beberapa kata dengan senyuman. "Namanya juga es teh, pasti pakai es lah, Mbak, iya gak, Fiq?"

Saya hanya menarik bibir dengan terpaksa. "Es teh manis ya, Mbak. Manis, Mbak. Mbak cans, manis." Begitu katanya. Entah kenapa teman saya yang satu ini. Tiap kali datang ke warung, pasti tingkahnya akan sulit dikontrol.

"Terima kasih, Mbak manis," ungkap Syahrul begitu menerima pesanan tehnya.

"Ah, Mas Jangkung, baper nih."

Melihat bibir Jingga terukir manis dengan senyuman, saya langsung melengos, enggan melihatnya lebih lama. Lagi pula, untuk apa berlama-lama menyaksikan semua itu, karena senyum yang ditampakkan Jingga hanya diperuntukkan bagi Syahrul seorang.

Saya salah. Seharusnya dari awal saya menyadari itu. Seharusnya saya tidak perlu berpikir keras mengenai orang yang disukai Syahrul. Dan seharusnya saya tidak boleh berharap lebih pada Jingga. Karena sebuah harapan, hanya akan membawa saya pada kecewa yang teramat besar.

Syahrul sudah memilih, dan pilihannya jatuh pada Jingga. Mestinya saya bahagia. Tapi perasaan saya ... kenapa ... malah tidak enak? Apakah....

Sudahlah, Syafiq, hentikan semua ini!

TBC

Salam

AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro