3. Panggilan Baru
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.
***
Hola soZa semua, apa kabar nih?
Jumpa lagi dengan si Mas ganteng kalem "Syafiq" ya...
Oh iya, sebelum baca, vote dulu bisa dong😁 mau komen juga boleh..
Happy reading waaakkkk
🧡🧡🧡
"Kenapa Jingga harus ada pada senja?"
"Karena, jika Jingga tidak ada, senja tidak akan memiliki warna."
Pertanyaan absurd yang saya lontarkan pada gadis senja kala itu kembali melintasi benak. Saya tidak menyangka kalau pertemuan itu sedikitnya bisa membuat saya bercengkerama panjang lebar dengan Jingga--begitulah saya memanggilnya. Semua berawal dari senja. Satu peristiwa itu rupanya amat menarik dijadikan topik utama dalam pembicaraan kami.
Usai melaksanakan salat magrib, kami memutuskan pulang bersama menggunakan taksi online. Namun, karena taksi yang saya pesan tak kunjung ada yang mengambil, saya memilih menunggu di warung yang berada dekat dengan lokasi pantai. Lumayan, di sini saya bisa sekalian makan. Dari sore perut saya sama sekali belum diisi, kan? Meski diawal Jingga sempat menolak, tapi akhirnya dia menyerah, dan terpaksa harus ikut menunggu di warung.
Ditemani secangkir teh hangat manis, saya memulai pembicaraan. Tak lupa, deburan ombak yang menabrak batu karang, masih menjadi suara alam paling merdu meski terdengar dari kejauhan. "Oke, kali ini saya serius--"
"Masya Allah, Mas, baru juga bertemu dua kali, masa Mas sudah mau seriusin saya. Apa tidak terlalu cepat?"
Gelas yang sedikit lagi menyentuh bibir langsung saya simpan di atas meja. Sambil menarik napas, netra saya beredar menjelajahi tempat sekitar. Saat ini, ingin rasanya saya meledakkan tawa. Belum selesai saya berbicara, gadis itu sudah main potong begitu saja. Ujungnya, salah paham, kan? Dasar, Jingga.
Diiringi tawa kecil, saya mencoba meluruskan kesalahpahaman yang sedang terjadi. "Maksud kamu seriusin apa? Saya tadi belum selesai bicara, loh."
"O-oh, begitu ya? Ma-maaf, saya kira...."
Kulit wajah Jingga berubah merah. Gelas yang tengah dipegangnya ia simpan, sebelum akhirnya melengos. Saya tahu, dia sedang berusaha menyembunyikan rasa malu yang mungkin sudah mencapai taraf ubun-ubun.
"Terus, apa yang mau Mas katakan?" Jingga kembali bersuara setelah sekian menit tenggelam dalam buaian hening yang menjemukan.
"Kamu kerja di warung nasi sudah berapa lama?"
"Belum lama, baru ada sekitar satu Minggu. Kenapa?"
"Sebelum kerja di warung, sering datang ke pantai?"
Kembali, saya melihat ukiran manis itu. Sambil menggeleng pelan, Jingga menjawab, "orang kecil seperti saya, mana pernah berwisata ke tempat yang jauh dari rumah, Mas."
"Oh, begitu. Memangnya asal kamu dari mana?"
"Saya asli orang Semarang, cuma saya tinggal di bagian perkampungan."
"Wah, bagus dong. Menurut saya suasana kampung juga tidak kalah menakjubkannya dengan pantai."
"Memang, tapi ... saya, kan juga butuh suasana baru. Saya sudah terlalu sering melihat sawah, kebun, sungai dan teman-temannya. Bosan. Makanya saat Bude mengajak saya kerja di warungnya, saya senang, karena saya tau, warung milik Bude lokasinya tidak terlalu jauh dengan pantai ini."
Beberapa kali saya mengangguk, guna merespons kalimat panjang Jingga. "Lantas, apa bedanya dengan suasana pantai, di sini kita cuma bisa menyaksikan ombak, perahu, pohon kelapa, dan saung yang berjejer di pinggir pantai," ungkap saya, selanjutnya.
Belum ada sahutan dari Jingga. Yang terlihat dia hanya diam, sambil memainkan pasir dengan kedua kakinya. Setelah meminum sengah teh miliknya, Jingga baru buka suara.
"Gak papa, toh, saya gak akan datang ke sini tiap hari. Nanti, kalau dilain waktu Mas melihat saya ada di sini, itu artinya saya sedang merindukan langit di kala senja. Karena hanya di tempat ini, saya bisa menikmati senja sepuasnya."
Sebelum menimpali ucapan Jingga, terlebih dahulu saya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah hampir setengah jam saya duduk di sini, tapi belum ada konfirmasi masuk kalau taksi yang saya pesan ada yang mengambil. Sudahlah, saya batalkan saja.
Setelah benar-benar akan pulang, nanti saya akan mencoba memesannya kembali. Untuk sekarang, saya akan memanfaatkan waktu mengulik tentang Jingga. Sayang juga jika waktu ini dilewatkan begitu saja. Kapan lagi saya bisa mengobrol panjang lebar dengan gadis jutek ini.
Berbicara mengenai Jingga, sampai sejauh ini saya masih belum mengerti dengan sikapnya. Dia terlalu misterius. Jingga gadis yang ramah, tapi yang lebih mencolok malah judesnya. Namun, selama mengobrol Jingga cukup asyik diajak bicara. Hanya saja begitu, gaya bicara dan raut wajahnya tidak bisa berubah. Selalu tampak sangar.
"Sebegitu sukanya kamu terhadap senja. Apa yang membuatnya begitu menarik di matamu?"
"Mmm, mungkin ... semua karena jingga. Dengan kemegahan sinarnya, dia berhasil membuat saya jatuh cinta. Pada pandangan pertama." Bersamaan dengan terucapnya tiga kata terakhir, tatapan Jingga mengarah pada saya.
Deg!
Dada saya tiba-tiba bertalu. Takut tidak bisa mengendalikan perasaan, buru-buru saya berpaling. Sambil terus memegang dada, saya berusaha menarik napas demi menenangkan jantung yang masih berdetak abnormal.
Astaghfirullahal'adzim, Allah, lindungi hati hamba-Mu yang lemah ini dari perkara yang bisa memalingkan cinta dari-Mu.
Jingga, kenapa ucapan itu harus terlontar bertepatan dengan lirikan matamu? Apakah kamu senang melihat saya salah paham?
Oke, saya akui, saya memang mengagumi sosok Jingga yang misterius, tapi mustahil jika rasa kagum itu berkembang secepat ini.
"Iya Bude, ini juga lagi di jalan, kok."
Saya kembali menoleh pada Jingga ketika mendengarnya berbicara. Sekarang, dia sedang menerima telepon. Mungkin dari pemilik warung yang menanyakan keberadaannya. Beberapa kali saya melihatnya menghela napas. Begitu sambungan berakhir, tarikan napas panjang dia lakukan.
"Saya harus pulang sekarang, Mas, Bude sudah menelepon. Dia khawatir karena sampai sekarang saya belum kembali."
"Oh, ya sudah, kalau begitu kita pulang sekarang."
"Kita?"
Melihatnya keheranan, saya jadi ikut heran. "Iya, kita pulang."
"Umm, Mas kalau masih mau di sini, silakan, saya gak papa kok pulang sendiri."
"Terus kamu pikir saya akan diam di sini selamanya?"
"Enggak, sih," sahutnya sambil memilin ujung jilbab dengan jari telunjuk. "Ya sudah, mari kita pulang."
"Tunggu sebentar lagi, taksinya baru saya pesan, dan sekarang pasti belum...."
"Mau sampai kapan menunggu di sini? Sudahlah, kita menunggu sambil jalan saja."
Barangkali Jingga sudah biasa menyela perkataan orang. Lihat saja sekarang wajahnya, meski sudah begitu sikapnya tetap santai seolah tak melakukan apa-apa.
"Oh, oke, kalau begitu saya bayar pesanan dulu."
Ketika saya sedang mengambil uang di dompet, tiba-tiba Jingga bertutur, "punya saya dibayarin juga, kan?"
Saat itu pula, saya langsung diam tak berkutik. Apalagi ketika si pedagang menatap horor pada saya. Sungguh, ingin rasanya saya menghilang dari muka bumi. Saya tidak habis pikir kalau Jingga akan seceplos itu.
"Harusnya sih dibayarin, saya kan sudah rela menunggu lama di sini, menemani si Mas makan. Iya, kan?"
"Iya, tanpa kamu minta juga saya akan membayarnya."
"Bagus kalau begitu, itu tandanya, Mas sosok lelaki yang bertanggung jawab. Saya suka," katanya sembari berlalu menjauhi warung.
Suka? Guna menampik spekulasi dalam benak, saya lekas menggeleng.
"Ini, Pakde, semuanya jadi dua puluh lima ribu, kan?"
"Betul, Mas." Si pedagang mulai menerima uang yang saya sodorkan. "Ini uangnya pas ya," ujarnya selepas menghitung uang di tangan.
"Terima kasih, Pakde." Saya bergegas pergi, menyusul Jingga yang sudah berjalan cukup jauh. "Jingga," panggil saya, meminta Jingga berhenti sejenak. Namun, bukannya berhenti, gadis itu malah semakin mempercepat langkah. "Hei, tunggu!"
"Kenapa?"
"Dari tadi saya panggil, kenapa tidak menyahut?"
"Memangnya Mas memanggil nama saya?" Ditanya seperti itu, saya mendadak ingin menggaruk kepala dengan kasar. "Yang si Mas panggil itu Jingga, bukan saya," imbuhnya memasang raut kesal. "Mas jalan di depan."
Memahami maksud dari titahnya, saya pun mulai berjalan mendahului. Setelah cukup jauh, barulah Jingga berjalan membuntuti. "Iya, tapi bagi saya, kamu adalah Jingga," ujar saya, seraya menoleh ke belakang.
Setelah saya berkata demikian, wajah Jingga berubah gusar. "Apa alasan si Mas memanggil saya Jingga? Apa karena saya tidak layak untuk dikagumi, atau keberadaan saya yang memang tidak akan bertahan lama di sini?"
"Bukan," sangkal saya, kemudian memberi jeda beberapa saat. "Kamu memang layak disandingkan dengan jingga, karena kalian sama-sama cantik dan menarik."
Tepat setelah kalimat itu meluncur, dunia seolah berhenti berputar. Susah payah saya menelan saliva, tapi semua terasa tercekat di kerongkongan. Apalagi ketika melihat Jingga menatap saya tanpa kedip. Ah, Jingga, selalu saja seperti itu.
"Berapa usia Mas?"
Dengan dahi berkerut, saya mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan secara tiba-tiba oleh Jingga. "Dua puluh tahun, kenapa?"
"Sudah menikah?"
Tunggu, ada apa ini? Jangan bilang kalau dia mau melamar saya. "Saya masih kuliah, mana mungkin di usia segitu saya sudah menikah. Tapi kalau saudara saya sudah," jawab saya pada akhirnya.
"Saya tidak bertanya soal saudara Mas." Jingga terlihat menengadahkan wajahnya sebentar. "Kalau boleh saya kasih saran, sebaiknya Mas segera menikah."
"Loh, kenapa begitu?"
"Supaya Mas tidak banyak merayu wanita. Mas juga tidak ingin kan, wanita di luaran sana baper akibat rayuan Mas itu?"
Sesaat setelah penjelasan itu berakhir, bibir saya tersungging. "Apa itu kode bahwa kamu juga baper?"
Pertanyaan terakhir dari saya pada malam itu tak sempat Jingga jawab, karena kehadiran sepupunya yang tiba-tiba datang, dengan alasan menjemput. Pada saat itu pula saya merasa kesal sebab tidak bisa pulang bersama Jingga. Ini aneh, dia bukan siapa-siapa, dan kami pun baru dua kali bertemu, tapi otak saya selalu menginginkan lebih dari yang terjadi.
Creng!
Saya terperanjat. Melihat kunci yang sudah tergeletak di lantai, napas saya berembus. Sudah berapa lama kiranya saya melamun? Dari awal keluar kantor, sampai sekarang saya sudah berada di depan kamar kos, sepertinya bayangan tentang Jingga tak mau enyah. Padahal kejadian itu sudah lebih dari satu Minggu, tapi tetap saja saya selalu mengingatnya. Dalam keadaan lesu, saya berjongkok untuk mengambil kunci.
"Makan yuk, Fiq."
Tiba-tiba Syahrul muncul dari arah belakang. Niat saya untuk memasukkan kunci ke lubang pintu pun urung kala Syahrul berjalan mendekat. Berhubung hari ini pekerjaan saya sudah tidak terlalu banyak, saya pun mengiyakan ajakannya.
"Mau makan di warung, atau dibawa ke sini?"
"Di warung saja sekalian. Kalau harus dibawa ke sini, nanti repot. Aku lagi malas cuci piring."
Sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalahkan soal cuci piring. Sebab semua itu masih terbilang mudah untuk dikerjakan. Namun, berhubung di kosan tidak ada teman, saya pun mengikuti saran Syahrul. Walau dalam hati saya teringin makan di sini, tapi ya sudahlah. Harapan saya semoga nanti di warung saya tidak bertemu Jingga. Bisa semakin porak-poranda hari-hari saya seandainya gadis itu kembali muncul.
Selama di perjalanan, saya dan Syahrul tidak banyak berbicara. Kami sama-sama fokus pada jalanan yang dipijak, hingga akhirnya kami tiba di warung yang cukup ramai di sore ini. Sambil menunggu giliran, saya memilih duduk di kursi dekat etalase. Sementara Syahrul, izin pergi ke toilet sebentar untuk membasuh wajah.
"Selamat sore, Mas." Mendapat sapaan itu, saya langsung bangkit dari kursi. "Mau makan?" Tanyanya, terdengar sedikit lebih ceria.
"Mmm, I-iya, Mbak. Makan di sini, ya." Kali ini saya tidak memanggilnya Jingga, sebab saya tidak ingin orang lain heran mendengar panggilan saya untuk gadis ini.
"Oke, menunya apa saja?"
Dengan gugup saya menyebutkan beberapa menu makanan sekaligus air yang dipesan. Bertepatan saat Jingga menyendok nasi ke piring, datang Syahrul, sambil berkata, "assalamualaikum, Mbak cans, apa kabarnya hari ini?"
Fokus Jingga teralihkan sejenak pada orang yang baru saja menyapanya. "Eh, ada Mas Jangkung. Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Mas. Alhamdulillah, kabar saya baik," jawabnya dengan semringah.
Menyaksikan sikap Jingga yang begitu ramah pada Syahrul, dahi saya langsung berkerut. Kenapa bisa seperti itu, sementara pada saya, dia selalu judes. Dan ... apa tadi katanya, Mas Jangkung? Kenapa dia memanggil Syahrul dengan sebutan 'Mas Jangkung'? Sementara 'jangkung' dalam bahasa Sunda itu tinggi.
"Mas sendiri bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, baik banget, Mbak. Apalagi ... setelah ketemu si Mbak, baiknya jadi nambah."
"Ah, Mas ini bisa saja," kata Jingga disertai tawa renyah.
Semakin lama, pembicaraan keduanya semakin asyik. Jingga sepertinya nyaman saat bersenda gurau dengan Syahrul. Pun sebaliknya, raut bahagia yang tercetak di wajah Syahrul begitu kentara. Bahkan, tak tanggung-tanggung Syahrul menghamburkan tawa saat melihat tingkah Jingga yang menurutnya lucu.
Hingga beberapa saat kemudian, saya baru menyadari satu hal. Jangan-jangan gadis yang selalu dibicarakan Syahrul selama ini, adalah Jingga?
Kedekatan yang tampak antara mereka berdua sudah cukup menjelaskan bahwa memang Jingga orangnya. Lebih lagi selama satu Minggu ke belakang lelaki itu tidak pernah absen makan di warung. Mungkin tujuannya untuk itu, ingin bertemu Jingga.
"Mas, ini pesanannya." Kalimat yang meluncur dari bibir Jingga berhasil menarik kesadaran saya. Kini, pandangan dua orang itu sudah mengarah pada saya sepenuhnya.
"Kenapa sih Fiq, dari tadi melamun terus?"
Dengan malas, netra saya segera menatap Syahrul. Lalu melirik Jingga sebentar ketika dia berujar, "lagi mikirin pacarnya kali, Mas?"
Pada saat itu, gelak tawa langsung terdengar menggema. "Mana ada dia punya pacar, Mbak cans," kata Syahrul, di sela tawa yang masih berderai.
"Oh, iya toh? Tak kira pacarnya si Mas banyak, secara kan, Mas ini memiliki kadar ganteng di atas rata-rata."
"Enggaklah Mbak. Malahan selama dia hidup di dunia, belum pernah tuh dia dekat sama yang namanya perempuan."
"Loh kenapa, gak laku ya, Mas?"
"Bukan. Dia terlalu taat, makanya ketampanannya gak berguna."
"Oh." Entah kenapa, setelah Syahrul berkata begitu, tiba-tiba saja raut wajah Jingga berubah datar. "Bagus kalau begitu," imbuhnya seraya melengos.
Tak ingin berlama-lama mendengar nyinyiran Syahrul yang semakin tak terkendali, saya memilih duduk secepatnya. Membiarkan Syahrul melanjutkan aksinya untuk mendekati Jingga.
Syahrul, saya harap, bukan dia gadis yang kamu suka.
🧡🧡🧡
Done ya, comment and vote, please😊
Thank you so much for everything..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro