2. Jingga di Ujung Senja
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.
***
Hai soZa, happy reading, and enjoy this story 🧡
Salam
AzZahra
🧡🧡🧡
Bunyi perut keroncongan yang sudah biasa saya dengar setiap harinya tak begitu saya hiraukan. Sekarang saya memang lapar, tapi saya tidak berniat untuk pergi ke warung sekadar membeli makanan. Beberapa laporan yang memerlukan revisi membuat saya malas beranjak dari kursi. Biarkan saja seperti ini, toh saya sudah meminta Syahrul untuk membelikan makanan.
Kebetulan setelah pulang kerja dia langsung mengajak saya pergi makan. Namun, karena ingat pada pekerjaan yang belum usai, saya menolak ajakannya, dan membiarkan dia pergi sendirian. Setelah sebelumnya saya menitip satu bungkus nasi untuk dimakan di kosan.
Kini, sudah lebih dari setengah jam, tapi Syahrul belum kembali. Padahal saya benar-benar sedang membutuhkan makanan. Perut saya sudah terasa perih, sepertinya maag saya kambuh. Tidak ada pilihan lain selain harus menghubungi Syahrul, dan menyuruh pulang secepatnya.
Dasar anak ini, kebiasaan. Apakah di warung nasi ada acara yang menarik untuk ditonton? Sepertinya tidak. Kalaupun ada, mungkin hanya siaran bola yang selalu tayang satu Minggu dalam sekali. Itu pun hanya tayang di Sabtu malam. Sementara sekarang baru mau memasuki malam Selasa. Ah, Syahrul. Anak itu kalau sudah menemukan sesuatu yang asyik, pasti akan melupakan beberapa hal penting. Dia terlalu ceroboh dan kekanak-kanakan.
Dengan geram saya memencet layar ponsel setelah nama Syahrul terbaca. Belum juga nada sambung terdengar, saya harus mengurungkan niat sebab suara orang yang sedari tadi saya tunggu terdengar beruluk salam dari arah luar.
"Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Sambil berjalan menghampiri pintu, saya menjawab salam Syahrul dengan lengkap.
Handel pintu saya tarik, membuat papan persegi panjang itu terbuka, dan menampakkan sosok jangkung dengan pahatan senyum di bibir. Satu lesung di pipi kanannya begitu terlihat jelas. Menambah manis wajah seorang Syahrul Luthfi Romdoni.
"Pesanan saya mana, Rul?" Tanya saya, to the point. Alih-alih menjawab, Syahrul malah celingukan melihat kamar saya. "Hei, Syahrul!" Begitu saya menegurnya, barulah sepasang mata itu berfokus pada saya.
"Suruh masuk dulu dong," pinta lelaki itu, berlagak layaknya pejabat. Bibirnya berkembang semakin lebar, membuat saya harus menarik napas dalam-dalam.
Setelah mengacak rambut, saya baru menggeser tubuh seraya berkata, "silakan masuk."
"Terima kasih," timpalnya, lantas berjalan bak menteri presiden. "Suatu kehormatan bagi saya karena disambut dengan sangat baik oleh sahabat yang selama ini selalu menemani saya kala sepi."
Saya terhenyak mendengar kata terakhirnya. Apa tadi katanya? Teman kala sepi? Astagfirullah! "Jangan sembarangan kamu! Meskipun selama ini saya gak pernah pacaran, tapi saya masih normal. Jadi mana mungkin saya mau sama kamu," protes saya, benar-benar tidak terima.
Tak lama dari itu, derai tawa memenuhi sudut kamar berukuran 4×3 meter. Apakah perkataan saya barusan ada yang lucu, sampai Syahrul harus menertawakan saya seperti itu? Sungguh sangat menyebalkan. Teman macam apa dia, membiarkan saya menikmati tawa yang sama sekali tidak enak didengar. Dia pikir saya bisa kenyang, hanya dengan mendengar tawa?
"Rul, saya sudah lama menunggu kamu. Sekarang, mana pesanan saya? Saya lapar, pengen makan."
Seketika tawa itu terhenti. "Itu dia Fiq, sebenarnya ... kedatanganku ke sini bukan untuk mengantarkan pesananmu, tapi untuk kasih tau sesuatu."
Sekilas ekor mata saya melirik Syahrul yang tengah duduk di ranjang. "Soal apa?" Tanya saya tanpa menjeda pekerjaan memencet papan keyboard.
Satu detik....
Dua detik....
Hingga lima detik kemudian, saya masih belum mendengar jawaban dari Syahrul. Kembali, saya menengok padanya. Kali ini, saya melihatnya sedang termangu, dengan pandangan menatap lurus pada ubin yang dia pijak.
"Syahrul!"
"Ya?"
"Apa yang mau kamu kasih tau ke saya?"
"Mmm, gini Fiq, tadi ... di warung aku ada sedikit kendala, makanya setelah selesai makan, aku langsung pulang."
Mendengar penjelasan Syahrul, kesibukan saya benar-benar terhenti. Dengan intens, saya perhatikan pria berusia 20 tahun itu tanpa jeda. "Itu artinya kamu gak beli makanan buat saya?" Tanpa menatap ke arah saya, Syahrul menggeleng pelan, membuat napas saya berembus cukup kencang. "Memangnya ada kendala apa, kok sampai gak sempat beli makanan?"
"Mmm, begitulah. Aku sulit menjelaskannya. Yang jelas, kendala yang ku hadapi barusan benar-benar membuatku linglung. Ini seperti sebuah masalah, tapi bukan masalah, karena masalahnya sepele."
Jujur, saya tidak mengerti apa yang dibicarakan Syahrul. Seperti masalah, tapi bukan masalah. Apa maksudnya? "Rul, tolong bicara yang jelas. Saya gak ngerti kamu ngomong apa."
"Apa, kamu gak ngerti?" Saya hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Syahrul. "Ah, semua pasti gara-gara wanita itu," lanjutnya, mulai menekuk wajah.
"Wanita yang mana maksudmu, Syahrul?"
"Pokoknya wanita itu. Wanita, yang sudah berhasil membuat kesadaranku hilang."
Mendengar penuturan Syahrul, sontak saya terkejut. "Jadi tadi kamu pingsan?"
"Siapa yang bilang begitu?"
"Kamu sendiri yang bicara kalau kamu baru saja kehilangan kesadaran."
Lagi-lagi saya harus mendengar tawa menggelegar Syahrul. Bukannya memberi penjelasan, lelaki itu malah asyik tertawa, bahkan sampai terbahak-bahak. Apanya yang lucu, sampai dia harus tertawa seperti itu?
Sekitar dua menit kemudian, barulah tawa itu terhenti. "Bukan begitu maksudku, Syafiq. Haduh, capek aku ketawa mulu. Kamu sih, sering banget bikin lawakan yang gak jelas."
Kenapa jadi saya yang disalahkan? Dia yang tadi bicara tidak jelas, malah saya yang dianggapnya tidak jelas. Dasar aneh. Sudahlah, biarkan saja dia berkata semaunya, saya sudah tidak peduli.
"Fiq."
"Hm."
"Sepertinya aku akan kembali jatuh cinta."
Suasana saat ini sudah cukup hening, karena nada bicara Syahrul sudah tak sekeras tadi. Bahkan raut yang tampak kali ini terlihat seperti orang kebingungan. Saya tidak tahu apa yang menyebabkannya seperti itu. Apa mungkin ini ada kaitannya dengan wanita yang dia sebut? Dan ... apa tadi katanya, jatuh cinta? Lagi?
"Rul." Tak ada sahutan dari Syahrul saat saya memanggilnya. Dia hanya menatap sekilas ke arah saya, lalu kembali fokus dengan pikirannya. "Kamu serius?"
"Sepertinya. Karena aku merasakan getaran yang berbeda saat bertemu dengannya, Fiq."
"Oh, begitu. Jadi ... ceritanya kamu datang ke sini hanya untuk curhat?"
"Bukan curhat, aku cuma cerita pengalamanku ketemu cewek itu. Efeknya luar biasa banget, Fiq. Jantungku benar-benar merespons di luar batas normal."
Aduh, Syahrul, apa bedanya? Mau dibilang curhat, bercerita, atau bahkan pengumuman sekali pun, pasti isinya tetap sama. Memberi tahu kalau dia baru saja bertemu seseorang yang berhasil mencuri hati dan perhatiannya di pertemuan pertama. Begitu, kan?
"Kamu tau sendiri, kan, Fiq, setelah kejadian itu aku gak pernah lagi merasakan jatuh cinta. Tapi begitu ketemu dia, semuanya berubah. Dalam sekejap mata."
Bibir saya tersungging secara refleks, hanya untuk merespons perkataan Syahrul. "Fiq, kamu sahabatku, dan kamu tau bagaimana perjalananku selama ini. Sekarang kamu bilang sama aku, apakah ini pertanda aku sudah sembuh dari trauma itu?"
Diberi pertanyaan seperti itu, saya tak serta-merta menjawab. Kedengarannya pertanyaan yang dilontarkan Syahrul memang sederhana, tapi ketika ingat pada masalah utama dari pertanyaan itu, saya jadi dilema.
Saya tahu betul perjalanan hidup Syahrul seperti apa. Terlebih dalam urusan cinta. Seperti yang dia bilang, selama ini Syahrul memang trauma terhadap kata cinta. Dulu, saat kami masih duduk di bangku SMA, Syahrul sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis. Namun, karena merasa punya segalanya, dia sampai berani menduakan kekasihnya.
Hingga di suatu waktu, ketika Syahrul tengah bersama dengan selingkuhannya, kekasihnya datang memergoki. Dari sanalah semuanya berubah. Saat gadis itu berlari ke luar sekolah, karena ingin menghindari kejaran Syahrul, nasib buruk malah menimpanya. Sebuah truk besar berkecepatan tinggi menghantam tubuh mungil gadis itu, hingga ia meninggal di tempat dalam keadaan mengenaskan.
Saya tidak tahu bagaimana perasaan Syahrul kala itu. Pastinya rasa bersalah yang begitu besar karena sudah menyakiti kekasihnya hingga sang kekasih menemui ajal, menjadi momok yang tak berhenti menghantui. Selama bertahun-tahun, Syahrul berusaha menghilangkan trauma yang dirasakannya, tapi tak ada hasil sama sekali.
Pernah satu kali dia mencoba membuka hati pada gadis yang tak lain merupakan saudara saya sendiri, tapi hal itu malah semakin memperburuk keadaan. Hingga sampai sekarang, Syahrul masih belum bisa melupakan seseorang yang seharusnya tidak dia ingat lagi. Semoga saja gadis yang membuatnya jatuh cinta kali ini, bisa membantu Syahrul menutup luka yang masih menganga lebar.
Karena saya kasihan padanya. Berkali-kali terluka, tapi tak sekali pun dia diberi kesempatan untuk menyembuhkan luka itu. Apakah ini sebuah teguran akibat Syahrul tidak bisa menggunakan hatinya untuk mencintai Tuhan sepenuhnya? Entah, yang jelas saya tidak tega bila melihat wajah melasnya.
"Fiq, kok malah melamun, kamu dengar aku ngomong gak sih?"
"Iya, saya dengar. Dan ... saya juga tau mengenai kisah yang kamu lalui selama ini." Saya baru kembali bersuara setelah termenung cukup lama. "Tapi gadis mana yang sekarang berhasil mencuri hatimu, Rul, tentunya bukan gadis biasa, kan? Secara selama ini kamu sangat sulit membuka hati untuk wanita mana pun. Sekalinya membuka hati, malah pada gadis yang sudah akan menikah."
Kali ini Syahrul tergelak. Bangkit dari kasur, lantas berjalan menghampiri saya. Tangannya ia gunakan untuk merangkul bahu saya. "Awalnya Syifa memang masih singel, kan? Sampai tiba-tiba ada cowok yang lamar dia, dan mengajaknya menikah saat itu juga. Yang benar saja. Perjuanganku selama satu tahun jadi sia-sia akibat semua itu."
"Itu artinya, dia bukan jodohmu."
"Iya, dan aku bersyukur, karena Allah memberi penggantinya dengan cepat. Walau gak seistimewa Syifa, tapi aku yakin, gadis yang sekarang tak kalah luar biasanya. Dia luar biasa, Fiq, luar biasa."
Lagi-lagi saya hanya mampu mengulas senyum. "Syukur kalau begitu. Tapi ingat, jangan disia-siakan seperti yang sudah-sudah, takutnya kamu menyesal lagi," kata saya balik menepuk pundak Syahrul. "Sekarang kamu sudah dewasa, kalau kamu memang suka sama gadis yang baru kamu temui itu, hanya dua pilihannya. Dekati, lalu nikahi. Atau jauhi, kemudian lupakan."
Beberapa saat sepasang mata Syahrul menyoroti saya cukup intens. Tak berselang lama, segaris senyum terbit di bibirnya. "Iya Fiq, kamu tenang saja. Kejadian waktu itu sudah cukup membuatku sadar, kalau wanita gak pantas disia-siakan."
"Bagus. Kalau begitu saya pergi dulu. Kamu mau diam di sini, atau kembali ke habitat asal?"
"Habitat asal. Memangnya kamu pikir aku kera, habitatnya di hutan?" Meski bersungut-sungut, Syahrul tetap berjalan keluar, diikuti saya di belakangnya. "Eh, memangnya kamu mau ke mana?"
"Saya kan belum makan, jadi, mau gak mau saya harus ke warung. Kenapa, mau ikut?"
"Mmm, pengen sih, tapi aku belum mandi. Kamu pergi sendiri saja deh."
Baiklah. Setelah pamit dan mengucap salam pada Syahrul, kami pun berpisah di depan kamar kos. Keluar dari halaman kos, saya tak langsung jalan. Beberapa jenak saya terdiam, memerhatikan kendaraan yang tidak berhenti berlalu-lalang. Setelah jalanan cukup lengang, barulah saya menyeberang.
Namun, ketika jarak saya hanya tinggal beberapa langkah lagi dengan warung, tiba-tiba pikiran saya teralihkan pada satu tempat yang sudah lama tidak saya kunjungi. Berhubung sekarang sudah pukul 5 lebih, saya pun memutuskan pergi ke sana sebentar.
Lapar yang saya rasakan hilang begitu saja tatkala bayangan indah seputar tempat itu melintas tanpa henti. Hari ini alam sedang berbaik hati pada penduduk bumi. Di tempat itu, saya bisa menyaksikan sepuasnya si merah jingga, tanpa khawatir perihal cuaca.
###
20 menit kemudian, saya telah sampai di tempat tujuan dengan menggunakan jasa ojek online. Usai membayar ongkos, secepatnya saya berjalan mendekati area pantai. Iya, di sinilah saya sekarang, di salah satu pantai daerah Semarang yang letaknya cukup dekat dengan kosan.
Masya Allah, indah sekali panorama kali ini. Semburat merah jingga yang berasal dari objek utama bernama mentari, benar-benar memancar kuat. Selagi lembayung bertahan menguasai cakrawala, saya tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan segera, saya mengeluarkan ponsel hanya untuk mengambil beberapa potret dari jingga.
Assalamualaikum, Ummah. Ini, ada hadiah dari Syafiq, untuk Ummah😁
Semoga Ummah suka ya, salam untuk Abbah.
Send....
Begitu pesan terkirim, bibir saya langsung mengembang ke samping. Ummah, dia sangat suka pada waktu terbenamnya matahari. Makanya jika ada kesempatan berkunjung ke pantai, saya akan tetap di pantai hingga matahari terbenam.
Sekali lagi saya mengambil beberapa jepretan. Ketika lensa ponsel diarahkan pada bagian sisi pantai, di sana saya melihat seorang gadis berdiri menghadap laut. Kedua tangannya ia bentangkan, sepoi angin yang meniup hijab lebarnya tak begitu ia hiraukan. Pandangan saya terkunci. Menyaksikan betapa menawannya sosok yang kini tengah menanti kehadiran senja.
Jarak yang ada di antara saya dan gadis itu terpaut cukup jauh. Namun, pantulan dari cahaya matahari yang menyinari wajahnya, berhasil mengalihkan dunia saya. Penasaran, saya pun memilih untuk sedikit mendekatinya.
"Jangan terlalu mengagumi keindahan. Sebab yang indah, belum tentu bisa selamanya bertahan."
Entah ada keberanian dari mana, tiba-tiba saja saya mengatakan itu tepat saat jarak yang tersisa hanya tinggal satu meter. Dalam satu gerakan, kepala si gadis menoleh ke samping. Pada saat itu, mata saya langsung membeliak. Kaget begitu menyadari siapa orang yang kini sedang menatap saya dengan mata tajamnya.
Gadis jutek. Astagfirullah, kenapa dia bisa ada di sini? Salah! Seharusnya saya yang tidak boleh ada di sini. Ah, kalau tahu orang yang sedang berdiri di sini adalah gadis itu, mungkin saya tidak akan pernah menegurnya. Sekarang? Semua sudah terlambat. Dia sudah melihat saya, dan sepertinya dia pun sama terkejutnya seperti saya.
"Mas ngomong sama saya?" Tanyanya tiba-tiba.
"Mmm, memangnya ... selain kamu, di sini ada orang lain?"
The javu. Kejadian tegang kembali saya rasakan kala sorot mata gadis itu semakin menajam. Sekarang bagaimana caranya saya terlepas dari gadis jutek ini? Sungguh, melihat sekilas raut wajahnya saja membuat saya merinding. Dia benar-benar gadis yang dingin, dengan raut wajah datar, tanpa seulas senyum di bibir.
"Kata-kata yang bagus."
Tak percaya atas tanggapannya, saya sampai menghadapkan tubuh sepenuhnya pada si gadis jutek. Siapa sangka, di waktu yang sama saya malah melihat garis manis di bibir ranumnya. Sungguh di luar dugaan. Orang yang saya kira tidak akan mampu tersenyum, ternyata memiliki senyuman yang sangat berefek bagi sistem kerja jantung.
"Tapi ... apa makna dari kalimat yang Mas ucapkan barusan?"
Sebisa mungkin saya menyembunyikan raut terkejut dibalik ulasan senyum. Sebelum menjawab, saya memilih menarik napas lebih dulu. Sekadar memberi ruang pada paru-paru agar bisa bernapas lebih bebas. "Maknanya ... berusahalah untuk bersikap biasa saja dalam mengagumi segala hal. Sebab, kita tidak tahu kapan keindahan yang kita kagumi itu, Allah ambil dari sisi kita."
"Seperti halnya jingga, yang sinarnya selalu membuat mata terpana. Dia indah, tapi keindahannya tidak bisa kita nikmati setiap masa. Ada saatnya di mana jingga pergi, meninggalkan senja dalam jangka waktu yang cukup lama. Jadi, kamu jangan terlalu berharap jingga akan senantiasa ada. Karena bila mendung turut hadir di kala senja, jingga tak bisa berbuat apa-apa."
Dia kembali membawa pandangannya pada satu objek yang perlahan tenggelam. Seolah menelaah kata yang tadi saya ucapkan, gadis itu tak berhenti melihat ke arah saya, dan angkasa yang semakin redup secara bergantian. Tak lama, sebuah pengakuan meluncur dari bibirnya.
"Ah, semua yang Mas katakan terlalu sukar dimengerti. Saya mana paham dengan kata-kata Mas yang berbelit-belit itu. Sudahlah, sebentar lagi azan, lebih baik saya pulang."
Tawa kecil tak dapat lagi saya tahan. Di depannya, saya benar-benar tertawa. Namun, tawa itu tak bertahan lama. Saat melihat si gadis berjalan menjauh, perasaan saya mendadak bingung tak karuan. "Tu-tunggu, Jingga!"
"Mas panggil saya apa?"
Setelah dia berbalik, saya malah semakin bingung. Dan ... kenapa pula saya memanggilnya Jingga?
"Mmm, mau langsung pulang?"
"Iya, kenapa?"
"Naik apa?"
Bibir gadis itu tampak berdecak pelan. Mungkin dia kesal karena pertanyaannya terus dijawab dengan pertanyaan. "Entah. Lihat dulu di depan, ada ojek apa enggak." Menanggapinya, saya cukup mengangguk sekali. "Mas gak mau pulang?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, tak pelak tangan saya mengusap leher. "Saya juga mau pulang kok."
"Oh."
Saya melongo atas respons singkat yang ditunjukkan si gadis jutek. Ah, sepertinya dia kembali menjadi pribadi yang jutek dan menyebalkan. Jingga. Nama itu memang layak disematkan padanya. Karena sikapnya sama persis seperti jingga. Keindahan yang dimiliki hanya mampu disaksikan dalam sekejap mata.
Jingga, di penghujung senja ini, saya melihat ukiran indah di bibirmu. Meski hanya sesaat, saya harap, suatu saat keindahan itu bisa kembali saya saksikan.
Hai waaakkk, maaf baru bisa up. Ide yang selama ini udah ku susun rapi mendadak pada ngalelep🥺🥺makanya harus kembali dari awal.
Untuk soZa, jangan lupa jejaknya ya..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro