1. Di Warung Seberang
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidinaa Muhammad.
***
Sudah setengah jam lebih saya diam di kosan hanya untuk menunggu seseorang. Namun, sampai saat ini orang yang ditunggu tak kunjung datang. Padahal saya sudah tidak bisa lagi menahan lapar. Ingin pergi duluan ke warung nasi di seberang jalan, takut dia marah. Menunggu lima menit lagi mungkin tidak masalah.
Sambil menunggu, saya memutuskan untuk membuka laptop barang sebentar. Sekadar menuntaskan beberapa tugas yang saya terima dari para dosen di kampus. Risiko magang di masa perkuliahan memang tidak mudah. Di samping harus bekerja, saya juga tidak boleh melupakan tugas utama saya sebagai mahasiswa.
Terkadang jika sedang banyak pekerjaan di kantor, tugas yang masuk tidak akan sempat saya kerjakan. Belum lagi dengan kesibukan saya yang lain, seperti menghadiri acara kajian di beberapa masjid daerah. Lupa sudah saya pada tugas-tugas kampus. Ingin mengabaikan sejenak kewajiban menuntut ilmu agama, saya takut hidup saya semakin tak terarah. Terlebih Abbah selalu mewanti-wanti agar saya bisa membagi waktu antara urusan dunia dan akhirat. Jadi, mana bisa saya abai?
Biarpun begitu, saya tetap bersyukur sebab masih diberi kesempatan untuk merasakan ini semua. Semoga saja dengan saya magang di sini, sedikitnya bisa mendapat pengalaman dan bisa membaca bagaimana situasi serta kondisi dunia perkantoran yang penuh ujian. Jangan bilang bekerja di dalam ruangan ber-AC itu sangatlah menyenangkan. Justru yang saya rasakan selama magang malah terkesan jenuh.
Ketika laptop masih dalam keadaan memproses, tiba-tiba saya mendengar suara pintu diketuk beberapa kali. Ah, mungkin itu dia. Secepatnya saya bangkit dari kursi, lantas berjalan menuju pintu. Sebelum membuka pintu, saya sempat mengintip di celah jendela, memastikan kalau orang yang datang itu benar-benar Syahrul--teman saya.
Saya mendesah tatkala menyadari bukan sosok Syahrul yang saya lihat di luar. Melainkan tetangga kos yang menempati kamar paling ujung. "Kenapa, Yan?" Tanya saya begitu daun pintu terbuka.
"Eh, Mas, assalamualaikum." Saya menjawab salamnya, lalu kami saling berjabat tangan. "Maaf Mas, mengganggu waktunya." Namanya Yanto, mahasiswa UNNES semester satu. Jadi wajar jika dia memanggil saya menggunakan embel-embel 'Mas'. Sebab usia saya lebih tua darinya.
"Gak papa, Yan, saya juga lagi gak sibuk kok. Ada apa?"
"Ini, Mas, saya tadi ketemu sama Mas Syahrul di jalan, terus dia titip pesan ke saya, katanya Mas Syafiq kalau mau makan, duluan aja. Soalnya dia gak bisa buru-buru pulang. Ban motornya bocor, dan dia harus pergi ke bengkel. Mau menghubungi Mas Syafiq, ponsel milik Mas Syahrul-nya mati," jelas Yanto cukup panjang.
"Oh, begitu. Ya sudah, makasih ya Yan, sudah mau repot-repot menyampaikan pesannya."
Yanto tampak mengangguk. Setelah berbasa-basi sebentar, dia pun memilih berlalu. Saya yang sudah kelewat lapar, bergegas mengambil kunci, lantas mengunci pintu kamar sebelum akhirnya pergi ke warung nasi.
Jarak dari tempat kos ke warung tidak begitu jauh. Dalam waktu lima menit, saya sudah sampai di tempat makan sederhana hanya dengan berjalan kaki. Warung sunda, atau yang sering disingkat warsun. Di sini saya biasa makan. Mau itu pagi, siang, petang, atau malam sekali pun tempat ini akan menjadi tempat makan favorit saya selama tinggal di Semarang.
Alasan pertama saya suka makan di sini, karena hanya ini, satu-satunya tempat yang menyediakan makanan Sunda di daerah dekat kosan saya. Dan alasan kenapa saya begitu menyukai makanan Sunda, karena di rumah, ummah selalu masak makanan itu. Ditambah selera makan saya Sunda sekali, jadi lidah saya kurang cocok jika harus memakan makanan lain.
Alasan kedua kenapa saya memilih makan di warung, ya biar cepat saja. Maklum, anak muda seperti saya suka malas memasak. Jadi, supaya praktis, saya dan Syahrul sepakat untuk membeli makanan yang sudah matang. Memang akan sedikit boros, tapi setidaknya hal itu bisa menghemat waktu. Apalagi dengan jadwal pekerjaan kami yang selalu padat. Jangan kira anak magang tidak akan terlalu banyak pekerjaan. Semuanya sama saja seperti karyawan tetap.
Sebenarnya ummah selalu melarang saya agar tidak terlalu sering makan di warung. Katanya, makan buatan sendiri jauh lebih hemat dan sehat. Namun untuk hal ini, saya tidak terlalu menggubris perkataan ummah. Lagi pula, saya yakin kalau apa yang saya makan selama ini, insya Allah halalan thayyiban.
Meski harga makanan di warung ini terbilang murah, tapi dapat saya pastikan kalau semua bahan makanan yang digunakan higienis, dan tanpa bahan pengawet. Jadi aman dikonsumsi setiap saat. Saya juga bisa bebas memilih menu makanan yang tersedia.
Begitu masuk pintu warung, saya akan langsung disambut oleh seorang wanita yang saya taksir usianya sekitar 40 tahunan. Sudah berumur, tapi penampilannya tidak perlu diragukan. Apalagi dengan make-up yang meng-cover seluruh wajah, membuatnya terlihat seperti remaja.
Dalam hal ini saya cukup risi, tapi melihat sikapnya yang ramah pada setiap pelanggan, saya merasa benar-benar jadi seorang raja apabila makan di sini. Lebih lagi dengan tingkah ceriwis yang selalu ditunjukkannya. Saya yakin, orang-orang yang membeli makan di sini akan terus merasa senang.
"Eh, ada Aa ganteng," sapanya, begitu saya mendekat ke etalase tempat menyimpan macam-macam menu makanan. "Assalamualaikum, Aa."
Seulas senyum diberikan si ibu dengan tulus. Saya senang, di daerah rantau masih ada yang satu suku dengan saya. Jadi, ketika para pegawai di sini memanggil saya 'Aa', saya tetap merasa nyaman. Karena memang ummah dan abbah juga selalu memanggil saya begitu.
"Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Ibu." Seperti biasa, saya akan menjawab salamnya dengan sempurna. Hitung-hitung memberi hadiah berupa doa pada sesama muslim.
"Ke mana aja A, kok baru ke sini lagi?"
Menanggapi ucapannya, otomatis bibir saya mengembang. "Ada, Bu. Hanya saja, selama satu Minggu kemarin jadwal saya di kantor padat merayap. Jadi saya memilih makan di tempat dekat kantor."
"Oh, begitu. Lama gak ke sini, makin ganteng aja si Aa. Kalau gini caranya ... si Ibu bisa makin tersepona dong."
Tersepona? Saking bingungnya, saya sampai mengernyitkan dahi. "Kok, tersepona, Bu?"
"Terpesona maksudnya," ralatnya sambil melengos ke arah dalam. Saya yang baru memahami perkataan ibu itu, cukup tersenyum saja. "Menunya apa aja, A?" Tanya si ibu setelah kembali.
"Seperti biasa saja, Bu."
"Oke." Perempuan yang tidak ku ketahui namanya itu, dengan cekatan mengisi piring di tangan dengan dua centong nasi.
"Telur dadar, keripik kentang, dan capcai," ujarnya, mengabsen menu makanan yang selalu saya pesan. "Ada tambahan lagi?"
"Sudah, Bu, itu saja."
"Gak pakai sayur?"
"Itu, kan sudah ada capcainya, Bu."
"Maksudnya, yang berkuah Aa."
"Oh, gak usah, Bu, lain kali saja. Lagi pula saya gak biasa makan sayur siang-siang begini. Sayur berkuah seperti sayur bening itu cocoknya dimakan pagi-pagi, Bu, biar lebih sedap," jelas saya, membuat si ibu memamerkan giginya.
"Baiklah, minumnya apa?"
"Air bening saja." Saya menjawab sambil menerima piring yang disodorkan ibu tersebut.
"Neng, tolong ambilkan air untuk si Aa!"
Setelah ibu itu berteriak, datang seseorang yang berjalan dari arah dapur. Spontan mata saya menyipit, mencoba mengenali orang tersebut. Sepertinya dia pegawai baru, karena baru kali ini saya melihatnya ada di sini. Tak ingin ambil pusing, langsung saja saya berjalan menuju bangku paling pojok.
Di tengah kenikmatan saya menyantap makanan, perempuan yang disuruh si ibu mengambilkan air untuk saya, datang menghampiri. Tanpa aba-aba, atau mempersilakan lebih dulu, dia langsung menyimpan gelas yang dibawanya ke atas meja. Saya sempat terkejut karena kaget atas perlakuannya.
Dia menyimpan gelas terlalu kencang. Sampai air yang ada di dalamnya tumpah membasahi meja. Tak ada kata maaf, apalagi merasa bersalah. Dia hanya mengelap air yang tumpah menggunakan tissue. Sekilas, saya melihat perempuan itu. Wajahnya tampak keruh. Tak ada sedikit pun senyum di sana. Jangankan untuk tersenyum, melihat ke arah saya saja tidak. Aneh.
Biasanya, kebanyakan wanita jika melihat lelaki bening sedikit, mata mereka tidak akan lepas memandangi. Namun perempuan yang satu ini, seperti malas bertatapan dengan pria. Tidak mungkin kan, jika dia tidak tertarik pada pria?
Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin dia hanya ingin menjaga pandangannya. Ingat kalau yang menjadi tujuan saya datang kemari adalah untuk makan, saya pun kembali menyantap makanan yang masih penuh di piring. Membiarkan gadis itu sibuk dengan pekerjaannya mengelap meja sampai kering.
Sepuluh menit kemudian, saya sudah selesai makan. Alhamdulillah, sekarang perut saya tidak menimbulkan bunyi lagi, karena sudah penuh terisi makanan. Sebelum pulang, saya menyempatkan diri untuk melihat ponsel. Dari pagi satu benda itu hanya menganggur, karena saya sibuk membuat laporan di laptop.
Ada beberapa panggilan masuk yang tak sempat saya jawab. Parahnya, semua panggilan itu berasal dari orang yang sama. Ummah. Masya Allah, pasti dia khawatir, dan sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang saya. Ketahuilah, meski saya sudah dewasa, ummah tetap protektif seandainya saya menghilang beberapa menit saja. Akibat di sillent, saya jadi tidak tahu kalau ummah menelepon sebanyak ini.
Tak ingin membuatnya khawatir berkepanjangan, saya berniat menelepon balik ummah. Sayang, sekarang malah giliran ummah yang tidak mengangkat telepon saya. Di jam sekarang, biasanya ummah sedang beristirahat. Ya sudah, kalau begitu nanti sore akan saya telepon kembali.
Begitu bangkit dari kursi, saya sempat mengedarkan pandang. Tak ada satu orang pun yang tertangkap penglihatan saya. Ke mana orang-orang, kenapa suasana sepi sekali? Saya sudah berdiri di depan meja kasir, tapi si pemilik warung, atau pegawai lainnya tidak terlihat ada di sana.
"Bu? Ibu?" Setelah beberapa kali memanggil, keluarlah seseorang dari bawah. "Astagfirullah," pekik saya, kaget melihat kemunculan gadis jutek itu yang tiba-tiba.
"Kenapa, Mas?"
"Mmm, saya mau bayar makanan yang tadi dipesan. Jadi berapa, Mbak, semuanya?"
"Apa saja menunya?"
Rasanya ingin sekali saya menjitak kepala gadis itu. Sungguh, baru kali ini saya berhadapan dengan seorang perempuan yang kaku seperti dia. Tadi hanya ekspresinya saja yang datar, sekarang gaya bicaranya juga tak kalah datar.
Apakah pemilik warung ini tidak mengajarinya tatacara menjadi pelayan yang baik? "Mas, menunya apa saja?" Teguran darinya cukup menarik kesadaran saya. Secepatnya, saya menyebutkan beberapa menu yang tadi saya pesan. "Minumnya air bening, kan?" Saya mengangguk. "Semuanya jadi dua belas ribu."
"Hah?"
"Kenapa?" Tanya gadis itu ketika melihat saya keheranan. Tanpa berucap, saya menggeleng, lalu menyodorkan selembar uang 20 ribu ke arahnya.
"Harganya sudah naik lagi ya, Mbak?"
"Maksudnya?"
"Maksud saya ... satu Minggu yang lalu, saat saya makan di sini dengan menu yang sama, harganya masih sepuluh ribu, tapi sekarang sudah berubah."
Dia tampak berpikir. Sesaat kemudian, tangannya langsung menepuk dahi cukup keras. "Astaghfirullahal'adzim!" Melihatnya bertingkah seperti itu, tak pelak lagi bibir saya menahan senyum. "Maaf, Mas, saya kurang fokus, jadinya saya salah hitung."
"Tapi gak papa sih, Mbak, kalau Mbak mau harganya segitu."
Tangan yang sedang mengambil uang di laci seketika terhenti. Mendadak tubuh saya kaku seperti papan. Setelah saya berkata demikian, gadis itu malah melayangkan tatapan sengit pada saya. Astagfirullah, ada ya perempuan sejenis itu?
"Di sini saya jualan, bukan mau nipu orang," katanya semakin ketus. "Lagi pula, tadi kan, saya sudah bilang, kalau saya salah hitung. Kurang jelas?"
Tak ingin memperdebatkan masalah sepele, saya hanya bisa mengangguk. Tak lupa, bibir saya akan di-setting untuk senantiasa tersenyum, meski dalam keadaan tegang seperti sekarang. Tidak peduli dia mau beranggapan apa, yang penting saya sudah berusaha memberikan sedekah terindah untuk orang lain.
Selepas mengucapkan kata terima kasih, secepatnya saya meninggalkan warung. Namun, ketika jarak antara saya dan warung sudah mencapai sekitar 3 meter, sayup-sayup saya mendengar seseorang berteriak dari belakang. Begitu tubuh saya berbalik, terlihat si gadis jutek sedang berlari menghampiri.
"Kenapa, Mbak?"
"Punya si Mas, kan?"
Saya sempat menghela napas tatkala gadis itu menyodorkan sebuah kunci ke arah saya. "Oh iya, terima kasih," ucap saya, sambil meraih kunci tersebut, lalu memasukkannya ke dalam saku.
"Lain kali, kalau bawa barang itu jangan ditinggal-tinggal, biar gak ngerepotin orang," katanya, sambil terengah.
"Iya, saya minta maaf, bukan disengaja." Diam sebentar, "lain kali juga kalau kamu gak ikhlas mengantarkannya pada saya, jangan memaksa, toh, nanti kalau saya sadar, pasti akan kembali mengambilnya."
"Saya ikhlas kok," sahutnya cepat.
"Terus, kenapa harus kesal?"
"Enggak, saya gak kesal. Saya cuma capek aja karena harus berlari untuk mengejar Mas, demi mengembalikan itu," elaknya dengan mata tak henti beredar.
"Oh, begitu." Saya kembali diam, sekadar melumat bibir. "Kalau kamu gak mau capek, harusnya tadi kamu gak perlu lari."
Saya lihat matanya mendelik, lalu berdecak kesal. "Makanya, si Mas kalau jalan jangan seperti buto ijo, biar saya ngejarnya gak harus lari-lari. Lagian heran, manusia kok jalannya lebar gitu?" Mendengarnya menggerutu, tawa kecil langsung berderai. Benar-benar lucu gadis ini. "Sudah Mas, saya harus kembali ke warung. Assalamualaikum."
"Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab saya masih diiringi tawa. Setelah gadis itu benar-benar lenyap dari pandangan, saya pun memutuskan meneruskan langkah.
Hai, waaakkkkk, Jingga kembali!!!!!
Bagaimana nih, untuk part awal? Ditunggu komennya ya...
Salam
AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro