Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilog 2

            Tsani baru tiba dari kamar mandi segera menatap aneh pada suaminya yang sepertinya menyembunyikan sesuatu darinya. Belum lagi ekspresi rekanan Athaya, si Antara sejak tadi menahan tawa. Apa yang direncanakan dua pria itu?

            “Kak, kau tidak sedang meracuni pikiran Antara, kan?” Tsani menyelidik, dia mulai menganalisa perubahan mimik wajah suaminya. Athaya mengerjap, kaget karena dituduh Tsani seolah dia adalah satu-satunya pembuat ulah.

            “Meracuni seperti apa maksudmu, Tsani? Malam ini aku punya banyak bisa.” Balas Athaya ringan seolah tak terjadi apa-apa. “Antara, tolong jaga sebentar istriku. Hati-hati jika kau berdekatan dengannya. Bukan karena aku cemburu, tapi dia memiliki sesuatu yang tak pernah kauduga sebelumnya.”

            Antara terperangah mendengar penjelasan Athaya, ia lalu melempar pandangan penuh tanda tanya pada Tsani. Dan anehnya, Tsani membalas dengan tawa yang tertahan. Dasar, aneh.

            Athaya pamit. Ketika berpapasan, Tsani menahannya sebentar, “jadi, kau sudah sangat percaya pada Antara sampai tak cemburu padanya?” Tsani memasang ekpresi menyayangkan dengan sangat dramatis. Membuat Athaya menautkan alis. “Omong-omong, wajah oriental-latin-nya itu cukup untuk menyihir wanita.”

            “Oh ya?” Athaya nyaris tertawa mendengar Tsani mengancamnya tentang pesona sahabat masa kecilnya. “Kupastikan bahwa hanya wajahku yang mampu menyihirmu.” Athaya tersenyum menggoda dan hal itu membuat Tsani ingin membenturkan kepalanya sendiri di dinding. Keki karena sudah mencari perkara pada suaminya.

            “Oke, pergilah, jangan lama atau sihirmu untukku musnah.”

            Tanpa diduga, Athaya malah mencuri sebuah ciuman di pipi lalu kabur ke luar. Sepertinya Athaya ada urusan hingga meninggalkan acara ini di tengah-tengah. Tsani tak tahu apa itu, yang jelas nalurinya bilang, itu semua berkaitan dengan Antara.

            Setelah Athaya hilang dari pandangannnya, dia melihat Antara. “Kamu ada apa?” lelaki itu tengah memandangi putri presiden yang ada di tengah pesta. Gadis cantik yang jadi pusat perhatian, simpul Tsani. “Berapa lama kau menyukainya?” Tanpa tedeng aling-aling, dia bertanya pada Antara.

            Yang ditanyai segera sadar dan menatap Tsani dengan wajah memerah tapi Antara memutuskan untuk tersenyum, “sepertinya, aku harus memercayai nasehat Athaya.”

            Tsani meringis “percayai saja, tapi yang jelas itu sudah sangat terlambat.” ia melirik lagi gadis yang sempat diperhatikan Antara. “Kau tahu, seorang laki-laki jatuh cinta itu bisa terlihat dari sorot matanya. Jadi, jangan pernah menyangkal itu apalagi berniat membohongiku, seorang wanita itu punya naluri dan perasaan yang halus.”

            Antara tertawa kali ini. “Astaga, jika aku bertemu denganmu lebih dulu, aku akan mencintaimu. Rasanya, duniaku langsung jadi pelangi di dekatmu, Mrs. Nurpati.”

            “Lalu aku akan melihatmu berdarah-darah karena bertarung dengan Athaya?” Tsani menggeleng, “aku kasihan padamu. Sudahlah, kau tak akan bisa mencintaiku, sementara hatimu sudah penuh dengan gadis itu.”

            Antara mengambil napas, “Ya, penuh dengannya hingga tak bersisa untuk diriku sendiri.” Matanya masih terpaku pada Jingga yang kini sedang tertawa dengan lelaki yang datang bersamanya. Ada rasa sesak yang menutup tenggorokannya, membuat udara terhalang menuju paru-paru.

            “Sejauh apa hubungan kalian? Hei, kau harus bercerita.” Desak Tsani. Sang putri presiden berjalan ke arahnya. Membuat ia bisa mengamati lebih jelas. “Lho… dia, kan?” Tsani menatap tak percaya. Dia ingat, gadis yang jadi pusat perhatian di pesta itu adalah gadis yang pernah nyaris menabraknya belasan bulan lalu saat dia bertengkar dengan Claudia.

            “Kau kenal?” Antara malah bertanya.

            “Hei, katakan apa hubunganmu dengannya?”

            Antara mengambil napas dan ia kesusahan menghela udara karena tangan Jingga memegangi lengan si lelaki. “Dia istriku. Mantan istriku. Tapi kami terpaksa berpisah karena sebuah masalah. Itu salahku, aku terlalu tenggelam dalam mimpi buruk dan saat aku sadar, kepergiannyalah mimpi terburuk dalam hidupku.” Entah kenapa, bercerita tentang hubungan asmaranya pada Tsani membuat Antara nyaman. Dia tak segan-segan mengatakan sisi terkelam dalam hidupnya.

            “Kau ingin bicara dengannya?” Tsani mulai menyusun rencana.

            Antara mendengus sarkatis. Memang bisa? “Andai aku mampu.” Lalu ingatannya memutar kejadianya yang beberapa bulan lalu terjadi. saat ia bertemu Jingga di hotol Borobudur, di mana Jingga meresmikan proyek kementrian ESDM yang dimotori oleh perusahaan hasil merger; Nurpati Pesirah Corporation. Jingga mengabaikannya. Kemudian pertemuannya saat lelang amal, Jingga tak membuka obrolan padahal Antara yang memenangkan lelang. Lalu saat di terpaksa ke Riau untuk mengecek kilang minyak bumi, dia bertemu dengan Jingga dan Jingga lebih suka menempel pada pasukan pengawal yang terlatih itu daripada dengannya untuk mendapat perlindungan. Mnegingat hal itu semua, ia menggeleng dan menampilkan senyum paling pahit yang pernah dilihat Tsani.

            “Kalian berbicara serius sekali,” Athaya menggerutu karena kedatangannya tak disambut. Ia mengulurkan sebuah kunci kamar pada Antara. “Ini. Nomer 231, lantai 5.”

            Tsani mulai berpikir keras tentang apa yang sedang direncanakan dua lelaki itu. Saat ini sedang ada pesta pernikahan putri kedua Gubernur Jakarta yang diadakan di GSG Novotel dan Athaya memberi kunci kamar, jangan bilaaang…. “Kak, kamu membooking kamar untuk Antara?”

            “Yeah, presidential suite untuk mereka.” balas Athaya mengerling pada istrinya. Untuk mereka, berarti dia dan dia. Jika dia yang pertama untuk Antara, sipapakah dia yang akan menemani Antara? Oh, Tsani mulai paham.

            “Maksudmu, kau ingin meminta Antara mengajak Jingga ke penthouse hotel ini?” ia menggeleng tak percaya, meremehkan ide suaminya. “Antara, mendengar ceritamu, memang kau yakin bisa mengajaknya? Aku pastikan, dia akan menolakmu. Dan kau akan dipermalukan di pesta ini karena diseret keluar oleh bodyguardnya.”

            “Paspampres, Tsani.” Tegur Athaya.

            “Oh, masa bodoh dengan istilah itu. Paspampres atau bodyguard sama saja, tameng bagi yang membayar.” Ia menatap serius pada Antara, “dia pernah berhutang budi padaku, kau yakin tak mau memanfaatkan kebaikanku ini? Aku jamin dia akan menemuimu.”

            Antara benar-benar bingung karena ulah Mr. dan Mrs. Nurpati. Tak mau dianggap tak mampu, Antara keukeuh pada pendapatnya. “Aku bisa melakukannya sendiri.” Dengan langkah meyakinkan dia menuju Jingga. Hatinya ketar-ketir, takut apa yang dikatakan Tsani jadi kenyataan. Dan memang begitulah yang terjadi. Sebelum sempat menyapa, Jingga menarik lelaki yang bersamanya untuk pergi. Menjauhi Antara yang terpaku dalam diamnya.

            Napas Antara pelan dan berat.

            “Huh, dasar lelaki,” gerutu Tsani di samping Athaya. “terlalu mengandalkan logika, seharusnya dia paham bahwa wanita itu makhluk perasa. Kak,” Tsani menatap Athaya, “suruh saja Antara masuk ke kamar hotel. Dalam waktu kurang dari 15 menit, Jingga pasti menyusulnya.”

            Athaya curiga dengan niat Tsani. Saat wanita itu memiliki niat, dia akan totalitas melakukannya. “Kalau kau berhasil aku akan memberimu hadiah.”

            “Apa?” tantang Tsani, jujur, lama ia tak mendapat hadiah dari Athaya.

            Athaya menimang, “menyisihkan waktu libur untuk si kembar.”

            Tsani berjengit, “hanya untuk si kembar? Lalu aku?”

            “Tsani, mereka masih bayi merah, masak kau cemburu? Pada anakmu sendiri pula.”

            Tsani meringis geli campur malu. Dia segera meninggalkan Athaya dan menghampiri Jingga sebelum gadis itu meninggalkan pesta. Tsani pura-pura keseleo dan menabrak Jingga. Jingga—yang tak tahu apa-apa—buru-buru menolong dan membantu menahan tubuh agar tak terjatuh.

            “Anda baik-baik saja?” Tanya Jingga ramah. Dia menatap Tsani dengan intens, melihat kaki Tsani yang kini tak mampu menyangga tubuh dengan baik. Tentunya semua itu dalam pura-pura, malang sekali nasib Jingga.

            “Aku baik-baik sa—” kalimat itu terpaksa digantung dan Tsani pura-pura (lagi) memasang ekspresi kaget, “bukankah kau Jingga?”

            “Ya?” Jingga menatap heran. Rasanya, dia memang pernah bertemu dengan wanita ini, tapi di mana?

            “Kau pasti lupa padaku. Aku orang yang nyaris kau tabrak. Saat itu kau ngebut dan aku mencoba menyelamatkan orang.” Tsani tersenyum, ia berdoa semoga Jingga mengingatnya atau Athaya akan menertawainya jika ia tak mampu membawa Jingga menemui Antara. “Itu sudah lama, sekitar 16 bulan lalu.”

            “Oh,” Jingga mengingat-ingat dan benar! Dia memang pernah tidak fokus saat mengendara. Pada waktu itu ia mendapat kabar bahwa mobil Mandala remnya blong dan menabrak pohon. “Anda… Kakak yang itu, ya?”

            Tsani mengangguk, bersyukur dalam hati. Mereka berbicara hal-hal sederhana. Mulai dari nama masing-masing, sampai shocknya Tsani karena ada seorang penabrak memberi kartu nama, apa Jingga tak takut diperas. Obrolan mereka alami hingga Tsani tersenyum menyadari misinya yang sebentar lagi berhasil.

            “Oh ya, Jingga. Aku memiliki kawan,” Tsani berkata tapi ragu, sengaja memancing penasaran lawan bicaranya. “Dia sangat penasaran denganmu dan ingin bertemu denganmu.”

            Jingga mengernyit.

            “Maukah kau menemuinya?”

            Lalu senyum Jingga terlihat, “boleh, di mana dia?” matanya melirik sekeliling. Dan yang ia lihat hanya wajah penjilat mulai dari pejabat hingga pengusaha. Mereka berwajah ramah tapi sesungguhnya mereka adalah singa yang rela memakan kambing saat lapar meski si kambing pernah menyelamatkan hidupnya.

            “Dia ada di kamar hotel ini,” sahut Tsani. “maaf, dia tak bisa keluar kamar.”

            Athaya mendekat dan memeluk pinggang Tsani. “Sudah selesai ngobrolnya?” Athaya memasang wajah ingin tahu. “Sebaiknya kita pulang, baby sitter tadi menelponku dan berkata bahwa si kembar berulah.”

            “Padahal ini masih pagi.” Tsani mengerang sambil melirik jam tangan yang jarum-jarumnya menunjuk pukul 9.02 WIB.

            Jingga yang melihat pasangan itu begitu takjub. Cara mereka saling memandang saja sudah membuktikan betapa besar cinta keduanya. Dan perbedaan karakter yang bertolak belakang itulah yang menarik. Athaya terkesan tenang, tak terkalahkan. Mirip batu karang di tengah lautan yang tak akan hilang diterpa gelombang, sementara Tsani mirip dengan gelombang itu sendiri. Jika Tuhan mempertemukan mereka, tentu ada perbedaan yang menyebabkannya jadi serasi. Jingga sadar, mereka tak ubahnya laut yang bergelombang dengan batu atol yang paling keras di dunia. Beda jauh dengan dirinya dan Antara. Yang satu kaca, mudah retak. Sementara satunya lagi adalah salju. Setahu Jingga, kepribadian yang seperti itu memang susah disatukan. Apalagi sekarang. Jingga menahan napas beratnya. Ia mengembalikan fokusnya pada Tsani dan Athaya.

            “Baiklah, sebentar.” Tsani tersenyum pada Athaya lalu mengalihkan pandang pada Jingga lagi. “kawanku ada di kamar 231, di lantai 5. Kumohon, temui dia.” Tsani lalu pamit dan pergi bersama Athaya.

            “Kau yakin Jingga akan menemui Antara?” Athaya tak mampu menutupi rasa ingin tahunya lebih lama lagi. Ia bisa lihat ada sesuatu yang tak bisa ditolak dari seorang Tsani. Iya sikap hebohnya yang ramah. Yang membuat orang di sekitarnya tertarik dan menuruti apapun permintaannya. Dia menunggu Tsani menyahut, tapi alih-alih menjawab pertanyaan suaminya, Tsani hanya menghadiahi senyum simpul yang kalem. Nah, kan… sedetik yang lalu Tsani begitu heboh, sekarang dia pendiam dan manis. Seperti gelombang di lautan saja. Kadang mengalami pasang dan kadang kala surut. Yah, betapa Tuhan itu Maha Rahman hingga menciptakan wanita seistimewa Tsani.

***

            Jingga mengetuk pintu kamar 231 dengan hati-hati. Dia tidak tahu kenapa menuruti ucapan Tsani, gadis yang barusan dikenalnya. Hanya saja, hatinya berkata bahwa ia memang harus menemui kawan Tsani. Dia saja heran kenapa bisa percaya begitu saja pada Tsani. Sudah tiga kali Jingga mengetuk. Tapi tak ada sahutan dari dalam. Ia memberanikan diri untuk masuk. Kebetulan, pintu itu tak terkunci. Namun, baru saja tubuhnya masuk sepenuhnya, ada seseorang menarik pergelangan tangannya dan mengunci pintu dengan segera. Alarm bahaya berdengung di kepala Jingga. Dia memberontak dari pelukan orang misterius dan saat ia berhasil menjauh. Wajah di depannya sama sekali tak asing. Antara menatapnya dengan pendaran mata yang sulit diartikan, luka yang menahun, yang tiada pengobat. Dan Jingga merasa sebagai wanita berdosa saat ini juga. Ia ingin berlari dan memeluk Antara dan menangis di dada lelaki yang dulu begitu hangat untuknya. Namun, mengingat masa lalu mereka yang cukup buruk, Jingga menahan diri agar tak jatuh pada lubang yang sama kedua kali.

            Antara mendekat, mencoba menjangkau tubuh Jingga yang menurutnya terlalu jauh darinya.

            “Jangan,” Jingga mundur, “kumohon, jangan mendekat.” begitu datar, bahkan ekspresi Jingga tak menggambarkan kerinduan seperti ia merindukan Jingga dalam malam-malam panjangnya.

            Antara mendongak kea rah langit-langit kamar yang dicat putih bersih, menahan himpitan emosi yang luar biasa mencekiknya. Rasanya mendengar Jingga tak mau didekatinya saja, dadanya seperti ditimpa berton-ton baja. Hanya sedetik ia merenung lalu matanya menatap Jingga yang ketakutan.

            Ia mengulurkan kunci. “Keluarlah.” Pada akhirnya, ia malah menyuruh Jingga pergi. Jingga diam tak menyahut lalu Antara mendekat, meletakkan kunci kamar itu di tangan Jingga. “ini, pergilah.”

            Antara melangkah menuju kamar mandi. Hendak membasuh wajahnya agar tak terasa panas. Ia heran, padahal ia sudah menghidupkan AC, akan tetapi, mesin pendingin ruangan itu tak berfungsi banyak saat tahu bahwa Jingga menolak berhubungan dengannya.

            “Kata seseorang, kau ingin berbicara padaku. Katakan saja sebelum aku keluar.” Jingga bersuara, tubuhnya belum rileks. Antara berhenti, mengambil napas dan tersenyum kecut. Ia memutuskan untuk membelakangi Jingga. Ia tak mampu melihat Jingga, rasanya dia akan gila saat itu juga. Dan oh, ini memang bodoh. Menarik dirinya dan masuk dalam api.

            “Tidak ada. Pergilah, aku tak memaksamu untuk berbicara denganku sementara kau masih belum berkeinginan bicara.”

            Dengarlah, betapa rumit ucapan Antara. Jingga menahan diri untuk tidak mengumpat. Ia membalik tubuh. Saat itulah ia melihat bahu Antara yang bidang dan tegang. Dua tangan Antara mengepal, membuat otot lengannya terlihat meski memakai tuksedo. Jingga melangkah pelan dan mendekatinya.

            “Aku mendengarmu.” Balas Jingga singkat. Antara menjentikkan jarinya dan lampu kamar padam. Jingga melirik sekitar. Sorot LCD di samping kanannya. Layar proyektornya menampilkan foto-fotonya atau fotonya bersama Antara. Mulai dari foto pertemuan pertama mereka saat di kebun teh. Jingga mencium aroma teh dengan mata terpejam sampai foto hari ini. Semua terangkum dalam tayangan slideshare itu. Dan terakhir, foto yang diambil oleh almarhum ibunya. Ketika mereka ada di kebun strawberry atau ketika Jingga melakukan kompromi di pagi hari dengan Antara, di mana lelaki itu memeluknya. Kehangatan pelukan itu masih terasa sampai sekarang. Ia masih ingat saat Antara mengajaknya kebut-kebutan sepulang dari Ciater. Juga masih sangat ingat bagaimana mantan suaminya itu menolongnya dari cengkraman preman yang hendak memperkosanya. Atau… Ia membandingkan betapa dulu mereka sangat dekat. Ketika Jingga memiliki masalah, Antara sangat memperhatikannya dan membuatnya berangsur-angsur membaik. Waktu telah mempermainkannya. Mengubah kedekatan itu dengan kecanggungan.

            Ah, ini salah, kan? Jingga mengipasi wajahnya. Matanya terasa panas dan airmatanya mendesak ingin keluar. Ia sampai mendongak, menahan aliran airmata agar tak jatuh.

            “Hanya ini yang tersisa.” lampu kembali menyala, Antara berbicara dengan nada rendah, nyaris menggumam. Jari Antara tak lagi mengepal. Dia santai, atau mencoba santai, lebih tepatnya. “Dua tahun lebih, dan rasanya baru kemarin kita bersama. Tapi, melihat matamu saja, aku yakin… bahwa yang kemarin kita lakukan hanya bisa terulang dalam mimpiku.”

            “Kurasa obrolan kita sudah tidak penting. Aku permisi.” Jingga menahan napas di dada yang terasa sesak. Ia segera keluar kamar dengan memanfaatkan kunci yang ada di genggamannya. Baru saja ia menarik gagang pintu sebuah blitz langsung menampar matanya. Dia sadar, dia dalam bahaya sekarang! Banyak wartawan menunggu di depan kamar dan Jingga yakin, mereka semua sedang menunggunya. Kepalang basah, Jingga berjalan keluar dengan tenang.

            “Nona Jingga, boleh kami mewawancarai Anda sebentar?” baru saja Jingga keluar, puluhan wartawan menahannya. Di sini tidak ada pengawal yang bisa menghalangi pencari berita itu. Haissh, bagaimana ini? Jingga frustasi.

            “Apa hubungan Anda dengan Dante A. Xian?”

            “Jika alasannya bisnis, kenapa Anda hanya berdua di kamar hotel pula?”

            “Sumber kami menyebutkan bahwa Anda punya hubungan gelap dengan pengusaha muda itu?”

            Jingga merasa bumi berputar terlalu cepat. Dia sampai mual dan pusing gara-gara mendengar pertanyaan wartawan. Salah menjawab saja bisa diulik jadi gossip terpanas. Ya Tuhan, apa Antara sengaja melakukan ini padanya? yang iapikir bukan lagi harga dirinya tapi kehormatan ayahnya. Apa kata orang jika anak presiden saja berani berduaan dalam kamar hotel. Gilaaa, padahal di dalam kamar tadi dia tidak melakukan apa-apa kecuali melihat tayangan slide foto milik Antara. Apa Jingga harus menjawab pertanyaan wartawan dengan lugas dan gamblang? Tidak, mereka pasti akan tambah mengorek kehidupan pribadinya. Lalu dia harus bagaimana sekarang?

            Seseorang membuka pintu kamar. Antara muncul dan menarik Jingga masuk lagi.

            “Kamu merencanakan ini semua?” Jingga nyaris berteriak. Dia menunggu Antara yang kini sedang mengunci pintu. Begitu membalik Antara menatapnya penuh ketakpercayaan.

            “Tidak.” Balas Antara kaku, dia sedikit tersinggung karena kecurigaan Jingga.

            “Darimana mereka tahu aku di sini jika kamu tidak memberitahu mereka sebelumnya.”

            Antara merapatkan rahangnya. Jingga menuduhnya dan saat ia membela diri, gadis itu tak akan percaya. Jadi buat apa? “Kalau iya kenapa? Sekarang pikirkan kehormatan keluargamu. Kira-kira apa yang dipikirkan wartawan atau public yang tahu kejadian ini? Seorang lelaki dan wanita satu kamar dan mereka normal.”

            Oh…, rasanya Jingga akan mencekik Antara sekarang juga. Tapi, ia tak sanggup memikirkan itu mengingat ada hal yang jauh lebih bermasalah. Dia menatap Antara. “Kau memanfaatkanku.”

            Antara ingin berteriak bahwa bukan dia yang mengundang wartawan, tapi tak jadi dan malah tersenyum miring. “Oke, menurutmu aku memanfaatkanmu, ya?” Antara menatap tajam jingga. Mata cokelat itu benar-benar mengintimidasi Jingga. “Baiklah, aku akan keluar dan bicara dengan wartawan hal-hal yang bisa kita lakukan memenuhi ekspektasi mereka.”

            “Kau gila.”

            Bukankah kau lebih gila, Ji? Antara membatin, mana ada pria yang ingin menyakiti wanitanya dalam keadaan sadar dan terkendali? “Ya, karena itu aku akan melakukannya.” Antara berjalan menuju pintu. Siap membukanya.

            “Jangan! Kumohon… mari kita melakukan penawaran.”

            “Astaga, tak bertemu denganmu 2 tahun saja, kau sudah menjadikan bisnis sebagai otak dalam hidupmu.” Antara tersenyum mengejek.

            “Aku tahu bahwa dalam hidupmu tak ada yang gratis,” Jingga menguasai diri. Ia balas menatap Antara dengan kesal berlipat-lipat. “Sekarang, apa yang kau inginkan dariku?”

            “Itu dokumen pernikahan.” Antara menunjuk beberapa kertas dan buku nikah yang ada di meja. “Tandatangani itu jika ingin aib keluargamu selamat.”

            “Apa aku sudah mengumpatmu hari ini?”Jingga menghampiri benda-benda sialan itu dan menatap penuh benci pada Antara. Yah, pada akhirnya, Antara harus melakukan rencana sesuai arahan Athaya untuk membuktikan bahwa yang menang adalah dirinya, bukan Mandala di depan Raymizard. Walau cara Antara tergolong licik, tapi sungguh, dia juga tak bisa apa-apa dengan hal ini. Bukan dia yang menjebak Jingga. Ini sepertinya ulah Athaya. Pria itu memang raja muslihat.

            Awalnya, dia pikir bisa bicara baik-baik dengan Jingga, memohonnya agar kembali. Tetapi, siapa yang menduga bahwa Athaya sampai mengundang wartawan?

            “Apa aku harus menelpon ayahku dan ia menikahkan aku lewat telepon? Kau tahu, setiap kali denganmu, aku selalu terlibat dalam hubungan aneh.” Jingga membaca satu persatu tulisan dalam kertas. “Dekat denganmu—”

            Ia berhenti karena sekarang Antara mendekat dan berjongkok di depannya. “Dulu, seseorang mengembalikan cincin ini lewat perantara. Dan sekarang, aku ingin memakaikan cincin ini untukmu. Ingat, ini hanya pura-pura agar kau tidak diserang wartawan.” Jingga terpesona melihat cincin berlian yang dulu dibelikan Antara untuknya dan ia kembalikan setelah surat perceraiannya di tangan. Cincin itu masih berkilau dengan aura magisnya. Jantung Jingga berdetak lebih kuat ketika merasai cincin itu masuk di jarinya dan melingkar pas di jari manis. Begitu indah, mendebarkan dan luar biasa. “Nah, untunglah muat. Apa dengan cincin itu Tuhan berkata bahwa kita berjodoh?” dan sialnya lelaki itu menautkan jari-jarinya di jemari Jingga. Kehangatan mengalir namun ego Jingga masih tinggi. Ia benci di mana dia tidak bisa menangkal pesona Antara. Dia tak suka ketika rayuan Antara terdengar begitu halus dan tulus untuknya.

            Hah, boleh tidak menutup mulut Antara yang sombong itu? Atau mengikat tangan Antara yang mengalirkan listrik di sekujur tubuhnya? Yang berani-beraninya membuat dia bergetar dalam kerinduan. Menyengat tapi ini terlalu indah untuk dikatakan sakit.

            “Antara, aku mencintaimu pagi ini, lusa dan tahun-tahun yang akan datang. Maukah kamu menggenggam tanganku? Aku hanya mengijinkan kamu yang mengisi sela-selanya.” Permintaan itu terlontar begitu saja, di luar kendali, tapi ya itulah yang dirasakan Jingga. Ia sudah menahan diri selama bertahun-tahun dan saat Antara memang menyadari kesalahannya, mengemis cinta yang coba ia sembunyikan, masihkah ia diam dan pura-pura bahwa cintanya sudah hilang terbawa angin? Tidak, cinta itu masih terus ada. Mengendap di dasar hati. Dan Antaralah yang mampu meligatkannya ke permukaan.

            “Jingga,” mata Antara menggelap, “kamu dalam masalah yang besar.” dan tak menunggu lama, bibir keduanya pun bertemu. Kali ini sangat manis dan Jingga menyerahkan kembali hatinya pada pria yang sama. Tak peduli pria itu sudah menyakitinya atau tidak, yang ia mau hanyalah Antara.

            “Maafkan aku selama ini,”Antara berbisik di sela-sela ciuman mereka yang sudah berubah jadi kasar dan serabutan. Seakan setelah ini mereka tak bisa lagi berciuman, “maaf jika aku hanya bisa membuatmu meneteskan airmata, maaf karena aku tak memahamimu dan maaf karena aku terlalu takut pada egoku daripada takut tak bisa melihat senyum kamu, Ji.”

            “Maaf?” Jingga mendorong tubuh Antara, membuat Antara heran. “mengeluarkan paku yang tertancap di kayu tidaklah cukup karena tancapan itu masih menyisakan lubang.”

            Antara tersenyum mengecup bibir Jingga, “aku akan memperbaikinya. Berikan aku kesempatan.”

            “Ini bukan tentang kesempatan, Antara.” Jingga tersenyum. Senyum yang membuat dada Antara bergetar. Senyum yang membuat rindu tak berujungnya bertemu tambatan. “ini tentang aku yang mencintaimu.”

            “Jadi, kamu… kamu… memaafkan dan menerimaku?” mata Antara berkaca-kaca, ia segera memeluk Jingga, seerat yang ia bisa. Begitu takut kalau gadis di depannya berubah jadi abu dan semua ini hanyalah mimpi. Tapi tidak…, tubuh yang ada dalam pelukannya berdetak, hangat dan hidup. dia yakin bahwa ini nyata.

            “Aku di sini dan untuk apa jika bukan karena itu?”

            “Ji…,” Antara mengecup puncak kepala Jingga berkali-kali. “Aku ingin memuliakanmu dalam hidupku, menjadikan kamu sebagai satu-satunya untukku dan menua bersamaku.” Itulah janji Antara, seperti janji matahari pada bumi untuk terus bersinar mengawal kehidupan bumi.

***

           

            Mandala melihat berkas-berkas yang ada di depannya. Begitu kaget melihat semua dokumen itu sudah ditandatangi adiknya. Antara tersenyum penuh kemenangan. Dengan kesal, Mandala menyerahkan map hijau itu pada Papanya. Sang Papa membaca sekilas dan menyunggingkan senyum.

            “Sudah selesai.” Raymizard Parawansa bergumam, ia menatap Antara. “kau yakin?”

            “Jika aku tak yakin, aku tak akan menentang badai dan harimau.”

            Mandala menyipit, “maksudmu, Papaku badai dan aku harimau?”

            Senyum Antara tulus, tahu begitu Mandala sudah bersiap menghajar Antara. Tapi di sela oleh papanya.

            “Ini sudah berakhir, Mandala. Kamu kalah. Jadi kamu harus biarkan adikmu rujuk dengannya,” Pak Raymizard menatap Mandala dengan tegas, anak muda itu mengerang. Ini adalah perjanjian dua bulan lalu. Setelah Antara diterima Papanya padahal diabaikan selama setahun terakhir. Akhirnya, Papanya berinisiatif membuat perjanjian. Jika Antara berhasil menyuruh Jingga menandatangani berkas pernikahan, dia akan mengijinkan Antara menjadi menantunya lagi. Kemudian, hari ini Antara datang, menjawab semua perjanjian itu.

            “Papa, seharusnya jangan begini tantangannya. Kau membuat dia besar kepala.”

            “Orang yang menikahi putriku memang harus orang yang besar. mengakui kesalahannya, meminta maaf, berupaya mendapatkan lagi apa yang hilang darinya dan apa itu belum cukup untuk membuktikan kualitas Antara?”

            Mandala hanya diam. Antara yang dipuji hanya mengamati wajah calon iparnya sambil menahan diri untuk tidak tertawa.

            “Adikmu itu bukan anak kecil yang cengeng. Ini sudah 2 tahun lebih dan ia memilih memaafkan Antara, apa kau akan menyiksanya dengan tidak merestuinya?”

            “Tapi bisa jadi, Antara memaksa Jingga, Pa. melakukan tipu daya!”          

            “Jingga tak akan tertipu jika ia tak mau ditipu.”

            Mandala menggersah dan menatap Antara penuh kesal. ‘Aku akan menendang selangkanganmu, Antara. Aku akan melakukan itu. Ingatkan aku saat setelah kau ijab qabul dengan adikku.’ Begitulah maksud tatapan Mandala, tapi Antara hanya tersenyum, begitu geli melihat Mandala yang emosi.

            “Heh, kalian. Segera berpelukan! Tak ada gunanya menyimpan dendam.” Ingatkan lelaki paruh baya itu di balik kacamatanya. Mandala segera mundur jijik sementara Antara menghampirinya, memberi pelukan sambil berbisik.

            “Kau yakin tak mau berdamai denganku?” Antara tersenyum, “omong-omong, aku akan menghamili Jingga.”

            “Yak! Apa katamu!!”

            “Pa, lihatlah, Mandala kekanakkan sekali.” Adu Antara dengan nada konyol. Pak Raymizard geleng-geleng kepala. Antara lupa ya dengan siapa ia berbicara? RI 1.

            “Kau bahkan sudah berani memanggil Papaku dengan Papa juga?!”

            Dan saat itulah Pak Raymizard tertawa. Peduli apa dengan sebutan RI 1, saat ini dia hanyalah seorang ayah dan calon mertua dan dihadiahi adegan paling tidak bergengsi dari anaknya dan calon menantunya. Lagi.

Diam-diam, dia menghela napas. Pak Raymizard tahu kesalahan Antara namun, memaafkan adalah pilihan bijak. Dendam yang dipelihara hanya melahirkan kebencian dan kerusakan. Dia tak mau menghabiskan waktunya dengan hati yang picik dan busuk. Jika Antara sudah meminta maaf, berjanji tidak mengulang kesalahan lagi, berusaha menjadi yang terbaik untuk putrinya, apalagi yang harus ia usahakan? Terlebih, Jingga juga sangat gila pada pemuda itu. Dia memang keras kemauan tapi bukan keras kepala.

“Antara? Kak Mandala?” Jingga tiba-tiba muncul dan kaget melihat dua orang itu dorong-dorongan. Atau tarik-tarikkan. Entahlah, mereka berdua absurd. “Apa yang kalian lakukan?”

“Jingga, kau pilih Antara atau aku?!” Lihatlah, Mandala kekanakan sekali. Kemana sikap tegas dan berwibawanya kemarin?

“Kau memilihku kan Jingga?” Nah, si Antara juga tidak kalah melawaknya. Jingga menarik napas dan menghampiri papanya.

“Maaf kalau aku menyakiti kalian, tapi aku lebih memilih Pak Ray. Ayah nomer satu untukku.” Jingga memeluk pinggang papanya. Kontan hal itu membuat mereka berhenti dorong-dorongan.

“Aku kakak nomer satu untukmu.” Mandala tak terima.

“Aku juga akan menjadi suami nomer satu untukmu.”

Pak Ray terkekeh. “Kalau kalian mau jadi yang nomer satu, kenapa masih berebut tempat? Mandala, kau jadi kakak. Dan Antara jadi suami. Sudah ada porsinya masing-masing, kan?”

            “Oh, Papa, jangan ceramahi aku dengan kultummu.” Mandala menghempaskan tubuhnya di sofa. “Oke, Antara, kita dalam masa gencatan senjata.”

            Istilah apalagi itu? Anak muda selalu begitu, pikir Pak Ray. Dia berjalan mendekati Mandala dan Antara sementara Jingga juga mengikuti langkah papanya. “Dengar, kalian adalah anak yang luar biasa untukku. Dan untuk kamu Antara, aku percayakan putriku padamu lagi. Cintai dia melebihi caraku mencintainya, jaga dia sebaik-baiknya dan bahagiakanlah dia sekuat yang kau bisa.”

            Tanpa diminta pun Antara pasti melakukan itu. Ia menatap Jingga, saat mata keduanya bertemu, musim semi telah dimulai di hati masing-masing. Menciptakan tunas-tunas baru yang hijau, indah dan mengagumkan. Dan Jingga lebih suka menamai itu dengan sebutan cinta lama bersemi kembali.

 

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro